Rara Mendut: Sebuah Trilogi
- Artikel ini mengenai novel tahun 2008. Untuk Babad Tanah Jawi aslinya, lihat Rara Mendut.
Rara Mendut: Sebuah Trilogi adalah sebuah novel antologi sejarah berbahasa Indonesia karya Y.B. Mangunwijaya (atau "Rama Mangun") yang diterbitkan tahun 2008 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku ini merupakan novelisasi dari cerita bersambung yang dimuat di harian KOMPAS dari 1982 hingga 1987. Trilogi ini terdiri dari tiga bagian yang berjudul "Rara Mendut", "Genduk Duku", dan "Lusi Lindri".
Pengarang | Y.B. Mangunwijaya |
---|---|
Perancang sampul | Iksaka Banu |
Negara | Indonesia |
Bahasa | Indonesia |
Genre | Novel, dewasa |
Penerbit | Gramedia Pustaka Utama |
Tanggal terbit | 1982-1987 (Harian KOMPAS) 2008 (Novel) |
Jenis media | sampul lunak |
Halaman | 802 |
ISBN | ISBN 978-979-22-3583-8 |
Cerita Rara Mendut ini ditulis baru oleh Y.B. Mangunwijaya sebagai cerita roman semi-historis yang dikembangkan dari Babad Tanah Jawi (teks Jawa kuna) "Rara Mendut" dan berbagai sumber. Novel ini juga disertai dengan penggunaan banyak kosakata bahasa Jawa dan juga dibumbui humor khas ala beliau. Novel ini menceriterakan perjalanan hidup seorang perempuan cantik yang hidup pada zaman Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram abad ke-17 (di era Republik Indonesia, kerajaan ini terletak di Pulau Jawa dan berpusat di provinsi Jawa Tengah). [1]
Sinopsis
Rara Mendut
Bagian pertama dari trilogi, menceritakan tentang Rara Mendut yang adalah seorang perempuan rampasan dari Pati yang menolak ketika hendak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna karena cintanya kepada Pranacitra. Dia dibesarkan di kampung nelayan pantai Utara Jawa, dan tumbuh menjadi seorang gadis yang trengginas (pemberontak) dan tak pernah ragu dan gentar untuk menyuarakan isi hati dan pikirannya. Sosoknya dianggap mendobrak tradisi dan tatanan di lingkungan istana Kesultanan Mataram di mana perempuan diharuskan bersikap serba halus dan serba patuh, tetapi ia tak pernah gentar. Bagi Rara Mendut yang pemberani, lebih baik menyambut ajal di ujung keris Sang Tumenggung Wiraguna daripada terpaksa melayani nafsu panglima tua tersebut.
RINGKASAN CERITA NOVEL SEJARAH RORO MENDUT
Kekuasaan telah membunuh Mendut dan Pronocitro di ujung keris sakti Panglima Perang Mataram, Tumenggung Wiroguno. Sekali lagi kita melihat, absurditas cinta mati sia-sia. Sebuah tema yang terus berulang, tercampakkan dan hanya hidup dalam legenda.
Menurut cerita Romo Mangun, Mendut adalah simbol kekuatan daerah pesisir (Pantai Utara) yang ditaklukan oleh kekuasaan Mataram, simbol kerajaan dan budaya pedalaman, yang agraris dan cenderung otoritarian. Para ahli sastra, sarjana dan satrawan sepakat bahwa Mendut adalah pejuang emansipasi perempuan. Dia berani menolak hasrat berahi seorang Panglima, walaupun dengan itu, dia harus menanggung resiko membayar pajak upeti seperti layaknya sebuah daerah ataupun orang-orang yang takluk oleh kekuasaan Mataram.
Mendut hanyalah seorang anak nelayan dari desa Teluk Cikal yang kebetulan hidup dalam kekuasaan Adipati Pragolo II, sang keris penguasa Kadipaten Pathi. Dan sebelum jatuh ke tangan Tumenggung Wiroguno, Mendut telah pula diculik oleh prajurit Adipati Pragolo II, saat sedang asyik-asyiknya membantu pamannya di pesisir pantai. Mendut di bawa begitu saja karena kecantikkannya. Keceriaan remajanya dirampas dan dipingit dalam Puri Kadipaten Pathi. Tapi sebelum keremajaannya dinodai oleh Adipati Pragolo II, Kadipaten Pathi, keraton serta purinya telah habis dirangsek oleh Tumenggung Wiroguno, utusan Kerajaan Mataram. Sebab diduga Kadipaten Pathi akan memberontak terhadap kekuasaan besar Kerajaan Mataram, dengan mencoba memerdekakan diri dan enggan membayar upeti menghadap Istana Mataram di Karta.
Jadilah Mendut seperti barang pampasan perang Kerajaan Mataram. Mulanya di persembahkan pada Ingkang Sinuhun Susuhunan Hanyokro-Kusumo, Senopati Ingalogo Mataram Abdurrahman Sayyidin Panotogomo (Sultan Agung), tapi karena Tumenggung Wiroguno berkenan pada Mendut, Sultan Agung Mataram menyerahkannya pada Tumenggung Wiroguno.
Pemberontakan Mendut pada awalnya ditanggapi dengan lunak. Tapi lama kelamaan, Tumenggung merasa kesal dan jengkel. Pajak yang tadinya ditetapkan setiap bulan ditekan menjadi setiap minggu. Mendut tak kehilangan akal, kemudian menjual semua perhiasannya untuk dijadikan modal berjualan puntung rokok.
Di alun-alun Mataram Istana Karta, tepatnya di tengah pasar rakyat, Mendut membuka warung puntung rokoknya. Sambil diiringi tarian erotis penuh gerakan kebebasan ala budaya pantai utara, Mendut menghisap rokok dan bekasnya dijual pada setiap pengunjung yang mau membeli. Tentu saja harganya lebih mahal dari rokok biasa, karena rokok tersebut sudah tersentuh dan dihisap oleh Mendut, yang menurut anggapan rakyat banyak, Mendut adalah seorang Putri Selir Mataram dari Tumenggung Wiroguno.
Di pasar itulah, Mendut mengenal Pronocitro pada pandangan pertama. Cinta mulai bersemi di dada masing-masing dua insan yang sedang jatuh cinta. Pronocitro pun kemudian tahu tentang cerita Mendut sebagai Puteri Boyongan dari Kadepaten Pathi. Sedangkan Pronocitro sendiri adalah seorang pengembala yang lari dari keinginan ibunya Nyai Singa Barong, seorang saudagar armada dagang di Pekalongan, yang menginginkan putranya meneruskan bisnisnya. Terdamparlah Pronocitro di Mataram dan menemukan Mendut sebagai jodohnya.
Dengan ketampanan dan keperkasaan tubuhnya, Pronocitro akhirnya dapat masuk ke dalam Puri Wirogunan sebagai pemelihara kuda. Awalnya Wiroguno tidak mencurigai keberadaannya, sebagai kekasih gelap Den Roro Mendut, tapi akhirnya hubungan mereka berdua tercium juga oleh Wiroguno.
Suatu malam Pronocitro dan Mendut merencanakan untuk kabur, karena sebelumnya mereka sudah tahu bahwa, Wiroguno akan menangkap basah mereka saat berduaan. Dengan bantuan dayang-dayang Puri Wirogunan, yang setuju dengan hubungan Mendut-Pronocitro, akhirnya mereka berhasil mencuri start, sebelum Wiroguno dan pasukannya datang menyergap.
Wiroguno kalang-kabut dan bersama pasukannya mencoba mengejar dan menangkap mereka hidup-hidup. Setelah pencarian siang dan malam, akhirnya Mendut dan Pronocitro dapat terkejar dan tersudut di Muara sungai Oya-Opak. Mereka sudah terkepung dan sulit berkutik lagi. Namun Pronocitro dengan gagah berani tampil ke depan menghadapi seorang Panglima Mataram. Dia tahu kalau kekuatannya tidak sebanding dengan Tumenggung Wiroguno, tapi cinta telah menuntunnya untuk berani disaat-saat yang begitu mendesak. Perkelahian tak dapat dihindari dan kemenangan sudah dipastikan akan berpihak pada Wiroguno. Disodorkanlah keris sakti Wiroguno ke hadapan tubuh Pronocitro, namun secepat kilat Mendut telah berdiri tepat di hadapan Pronocitro. Keris Wiroguno tertancap menusuk jantung Mendut dan tembus ke dada Pronocitro. Mereka rubuh bersimbah darah. Tubuh mereka hanyut dihemapas ke muara sungai menuju samudera, tempat asal mereka dulu.
Cinta telah menyatukan mereka dalam satu nafas, kehidupan dan kematian. Sedangkan kekuasaan memang selalu menyiratkan kekuataan senjata dan darah, lalu melupakan nilai-nilai kemanusiaan tentang cinta dan kasih sayang.
Genduk Duku
Bagian kedua dari trilogi, menceritakan tentang Genduk Duku, sahabat erat dan boleh juga dibilang adik dari Rara Mendut yang membantunya menerobos benteng istana Mataram dan melarikan diri dari kejaran Tumenggung Wiraguna. Setelah kematian Rara Mendut dan Pranacitra, Genduk Duku menjadi saksi perseteruan diam-diam antara Tumenggung Wiraguna dan Pangeran Aria Mataram, putra mahkota yang kelak bergelar Sunan Amangkurat I dan yang sesungguhnya juga jatuh hati kepada Rara Mendut, perempuan rampasan yang oleh ayahnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma, dihadiahkan kepada Tumenggung Wiraguna, panglimanya yang berjasa tersebut.
Lusi Lindri
Bagian terakhir dari trilogi, menceritakan tentang Lusi Lindri, anak Genduk Duku yang dipilih menjadi anggota pasukan pengawal Sunan Amangkurat I oleh Ibu Suri. Lusi Lindri menjalani kehidupan penuh warna di balik dinding-dinding istana yang menyimpan ribuan rahasia. Sebagai istri perwira mata-mata Mataram, ia menjadi tahu banyak dan bahkan terlalu banyak tentang politik dan intrik-intrik jahat yang terjadi di dalam istana. Semakin lama akhirnya nuraninya semakin terusik melihat kezaliman junjungannya. Akhirnya dia membulatkan tekad, lebih baik memilih untuk mati sebagai pemberontak daripada hidup nyaman bergelimang kemewahan.
Film layar lebar
Setelah kepopuleran cerita bersambung Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya yang dimuat di harian KOMPAS pada tahun 1982, tahun 1983 kisah roman ini diadaptasi menjadi sebuah film berjudul "Roro Mendut" yang disutradarai oleh Ami Prijono, dibintangi antara lain oleh Meriam Bellina, Mathias Muchus dan W.D. Mochtar, aktor-aktor yang populer saat itu di Indonesia.