Öri Moro’ö

Revisi sejak 29 Mei 2012 10.18 oleh Botrie (bicara | kontrib) (Robot: Perubahan kosmetika)

Öri Moro’ö terletak di sebelah barat Pulau Nias. Sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani karet, kakao/coklat, dan sawah. Kata Öri berarti negeri, merupakan gabungan beberapa kampung. Sebuah Öri dipimpin oleh Tuhenöri dan memiliki wakil minimal 3 orang. Tuhenöri merupakan pangkat adat yang berarti tunggul negeri. Masyarakat Nias memandang Tuhenöri ibarat tunggul yang berdiri kokoh kuat dalam suatu negeri dan berkewajiban mempertahankan hukum adat, budaya dan segala tradisi negeri itu sendiri. Moro’ö merupakan nama sungai besar yang ada di Nias.

Nenek Moyang Moro’ö

Ada lima orang nenek moyang Moro’ö, yakni: (1) Sondrani Balugu Uku Gulö, (2) Manofugabua Zebua, (3) Falakhi Denawa Waruwu, (4) Fahandrona Hanakha Hia, dan (5) Balugu Burusa Zai. Karena memiliki 5 nenek moyang, maka Moro’ö dijuluki Si Lima Ina (5 puak marga): Gulö, Zebua, Waruwu, Hia dan Zai.

Kelima nenek moyang ini bermukim di Ombölata Luha Mangonia yang sekarang sudah berganti nama menjadi Hiligoe. Di dekat Ombölata Luha Mangonia ada sungai besar yang belum bernama ketika kelima nenek moyang ini tiba di Mangonia. Setiap kali mereka memasak makanan, sisa-sisa air masakan mereka mengalir ke sungai tersebut. Oleh karena itulah mereka menamai sungai itu Moro’ö yang merupakan padanan dari dua kata moroi = dari, gö atau ö = makanan. Dengan demikian, Sungai Moro’ö berarti Sungai Dari Makanan. Kisah lain menceritakan bahwa sungai tersebut baru bernama saat 5 puak itu berpisah. Ketika 5 puak ini berpisah, mereka mengadakan pesta besar. Air sisa makanan mereka mengalir ke sungai dekat kediaman mereka. Maka, mereka menamainya Moro’ö yang berarti Idanö (Sungai) Moroi (dari) atau Ö (makanan).

Berdasarkan penuturan F. Matias Zebua, istilah Moro’ö bermakna heroik. Pada waktu Si Lima Ina berperang melawan Lahömi (untuk memperebutkan tanah perbatasan) hanyalah Falakhi Denawa Waruwu yang berani menerima tombak 9 ruas (9 roiroi) dari Balugu Uku untuk digunakan sebagai alat perang melawan Lahömi. Menurut Tageli Gulö, Falakhi mampu duduk di atas tombak tanpa terluka. Si Lima Ina berhasil memenangi perang tersebut sehingga mereka menyebut diri sebagai Moroiö yang berarti beruas-ruas. Dengan kata lain, istilah Moro’ö ada kaitannya dengan tombak 9 ruas (9 roi-roi) yang digunakan Falakhi Waruwu untuk memerangi musuh.

Raja Pertama Öri Moro’ö

Pada suatu ketika, kelima nenek moyang Moro’ö sepakat untuk menentukan kedudukan dan struktur organisasi adat di antara mereka. Lalu mereka menentukan aturan penentuan kedudukan, yakni dengan menombak babi. Jika tombak mengenai rahang bawah sebelah kanan (simbi kambölö) dialah yang berhak menjadi Raja atau pemimpin yang disebut Tuhe. Penombak yang mengenai simbi sebelah kiri dia berhak menjadi wakil yang disebut Tambalina. Penombak yang mengenai tulang punggung dekat leher babi (söri) dia berhak menjadi nomor tiga (Sangotölu) dalam kedudukan adat. Penombak yang mengenai samping kanan babi berhak menjadi nomor empat (Sango’öfa) dalam kedudukan adat; sedangkan penombak yang mengenai samping kiri babi dia berkedudukan nomor lima (Sangolima) dalam struktur adat.

Usai menentukan aturan, lalu mereka membawa seekor babi di tepi Sungai Moro’ö. Babi itu mereka sembelih menjadi lima bagian. Babi sembelihan itu mereka gantung untuk ditombak. Dalam atraksi menombak itu, Balugu Uku berhak menjadi Tuhe karena tombaknya mengenai simbi kanan; sedangkan Manofugabua Zebua berhak menjadi Tambalina karena tombaknya mengenai simbi kiri. Falakhi Denawa Waruwu berhak menjadi Sangotölu karena tombaknya kena di söri babi. Tombak Fahandrona Hanakha Hia kena di samping kanan babi sehingga berhak menjadi Sango’öfa; sedangkan Balugu Burusa Zai menombak samping kiri babi sehingga berhak menjadi Sangolima. Demikianlah kisah terbentuknya struktur kepemimpinan adat Öri Moro’ö.

www.postinus.wordpress.com