Fadjroel Rachman
Fadjroel Rachman (lahir 1964) adalah aktivis mahasiswa tahun 1980-an yang pernah menjalani kehidupan di balik terali penjara karena aktivitas politiknya menuntut Soeharto turun dari kursi kepresidenannya dalam aksi 5 Agustus 1989 . Karena dianggap sebagai orang-orang berbahaya, Fadjroel bersama lima rekannya dipindah-pindah dari penjara satu ke penjara lainnya. Dari tahanan Bakorstanasda, ia dipindah ke penjara Kebonwaru, dipindah lagi ke penjara kaum kriminal kelas berat di Nusakambangan, dan terakhir di Sukamiskin tempat Soekarno pernah dipenjarakan. Intelektual Sosialis Indonesia ini juga menekuni dunia media massa dan puisi-puisi perjuangan.
Aktivitas kemahasiswaan dan pengembaraan intelektual
Fadjroel Rachman yang lahir pada tahun 1964 ini, saat kuliah di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) telah memulai mengembangkan bakat intelektualismenya dengan bergulat dengan buku-buku politik, sosial, dan ekonomi. Ia ikut membangun kembali aktivitas politik mahasiswa di ITB yang nyaris lumpuh setelah "pembersihan" pasca-1978. Pengembaraan intelektual itu mengantarkannya menjadi aktivis pers mahasiswa dengan mengelola majalah kampus Ganesha.
Di kampus, Fadjroel juga aktif dalam kegiatan puisi sehingga ia pun ditunjuk menjadi Presiden Grup Apresiasi Sastra ITB. Dunia intelektual, aktivis, perpuisian, dan media massa itu digelutinya sampai kini. "Saya bukan penyair. Saya suka menulis, baik esai maupun puisi," kata Fadjroel. Dari latar belakang keluarganya, Fadjroel jauh dari dunia politik. Persentuhannya dengan "dunia" yang lain terjadi secara kebetulan saat ia diajak oleh seorang kawannya melihat kehidupan pemulung di Tegallega, Bandung. Tuturnya, "Di situ saya mulai terbuka bahwa dunia tidak seindah di ITB ataupun di keluarga saya." Fadjroel mencoba mengabstraksikan realitas masyarakat miskin yang disaksikannya dengan mencari penjelasan dari buku-buku Sritua Arief dan teori ketergantungan Gunder Frank sampai fisikawan dan filsuf Karl Raimund Popper yang memperkenalkan metodologi sains untuk ilmu-ilmu sosial.
Pergaulan dengan buku-buku itu mengantarkan pergaulannya dengan sejumlah budayawan dan intelektual ternama seperti almarhum Soebadio Sastrotomo, Mochtar Lubis, dan Soedjatmoko. Perkenalannya dengan Soedjatmoko begitu mengesankan sehingga mengukuhkan niatnya untuk terjun dalam kegiatan intelektualisme dan aktivisme, dua dunia yang menurut Fadjroel tidak boleh dipisah-pisahkan. Atas usulan Soedjatmoko pula ia terlibat dalam Forum Pemuda Asia Pasifik di Tokyo sampai sekarang. Selama hampir tiga tahun Fadjroel melakukan penjelajahan intelektual melalui kelompok-kelompok diskusi maupun pers mahasiswa sebelum terjun sebagai aktivis. Pada tahun 1987-1989, tiga tahun setelah kuliah, Fadjroel bersama-sama dengan para aktivis mahasiswa lainnya melakukan advokasi untuk petani Kacapiring dan Badega.
Di penjara, berpuisi dan menolak tawaran keluarga Soeharto
Fadjroel bersama 20 aktivis mahasiswa lainnya sempat ditahan dua hari di polres. Dalam aksi itu kepalanya bocor dan harus mendapatkan tujuh jahitan. Ia dan kawan-kawannya baru dibebaskan setelah sekitar 5.000 mahasiswa di Bandung berunjuk rasa ke polres menuntut pembebasan mereka. Peristiwa itu justru memperteguh aktivisme Fadjroel.
Masih pada masa represif Soeharto, ia ditunjuk menjadi komandan lapangan dalam aksi long march sejauh 60 kilometer dari Kampus ITB menuju Cicalengka. Aksi itu sempat dibubarkan oleh polisi dengan menghujani peserta aksi dengan peluru karet. "Saya sempat dikejar-kejar pembantu rektor saya, Indra Djati. Ia mencoba mencegah kami mengambil start dari Kampus ITB," katanya.
Aktivisme Fadjroel tidak bisa lagi ditoleransi oleh penguasa Orde Baru saat ia bersama kawan-kawannya menolak kedatangan Rudini yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Meski Rudini pada waktu itu datang ke ITB pada masa liburan, aksi penolakan tersebut diikuti tidak kurang dari 300 orang. Spanduk-spanduk menolak Rudini dan tuntutan agar Soeharto turun digelar. Rudini meninggalkan kampus meski buntutnya Fadjroel bersama lima rekan lainnya ditangkap. Seluruh perjalanan aktivisme Fadjroel dan aktivis mahasiswa saat itu dibongkar, termasuk rencana mengadakan demo serentak mahasiswa dari berbagai kota ke Istana Merdeka. Ia bersama lima rekannya mendekam di ruang tahanan Bakorstranasda selama satu tahun sebelum akhirnya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Di balik empat penjara yang dijalaninya, Fadjroel meneruskan kegiatan berpuisi dan penjelajahan intelektualismenya. Ia menuliskan puisi-puisinya di atas potongan kertas, menyelundupkannya ke luar penjara dengan dimasukkan di sela-sela sol sepatu. Puisi-puisi yang dituliskan di balik terali penjara itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan puisi Catatan Bawah Tanah. "Mochtar Lubis berminat menerbitkan puisi-puisi yang tercantum dalam pledoi saya, kecuali dua puisi yang dianggap terlalu keras pada waktu itu," kata Fadjroel. Semasa dalam penjara, Fadjroel sempat ditawari oleh petinggi militer maupun keluarga Soeharto untuk minta maaf dengan janji jabatan dan sekolah ke luar negeri. Fadjroel menolak berkompromi.
Karier dan gerakan mahasiswa 1998
Ia memilih meniti karier sebagai asisten manajer di Grup Bukaka, tetapi hanya bertahan selama tiga tahun. Ia kemudian merintis usaha sendiri bersama kawan-kawannya sembari melanjutkan aktivisme dan melanjutkan kuliahnya di pascasarjana Universitas Indonesia (UI) bidang studi ekonomi. Ia kembali terjun menjadi aktivis dengan statusnya sebagai anggota presidium Forum Wacana UI, ikut terjun bersama ribuan mahasiswa, kembali menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya pada tahun 1998. Ketika para aktivis berlomba-lomba masuk partai politik, Fadjroel memilih tetap di luar. Menyikapi pemilu 2004 Fadjroel justru sangat giat menulis dan mengampanyekan golput. Fadjroel mengaku bahwa pada saatnya nanti ia akan terjun dalam partai politik bila kelak lahir partai politik yang dimotori oleh para aktivis Prodem seperti Akbayan di Filipina. Itu hanya mungkin, menurut dia, bila keberadaan partai politik lokal diberi tempat. Selama partai seperti itu tidak ada, ia akan memilih tetap di luar dan golput. Tetap dalam aktivisme, tampil di koran, televisi, acara-acara diskusi, dan tentu saja berpuisi.
Pranala Luar
- (Indonesia)Puisi Sejarah Lari Tergesa
- (Indonesia)Sosialisme Fadjroel Rachman
- (Indonesia)Sikapnya Terhadap Agresi Israel
- (Indonesia)Tuan Presiden, Tangkaplah Pembunuh Munir
- (Indonesia)Belajar dari "Intelektual Orde Baru"
- (Indonesia)Fadjroel: Tokoh dan Buku
- (Indonesia)Merdeka dari Hukuman Mati
- (Indonesia)Amerika Latin Melawan Neoliberalisme
- (Indonesia)Bumi Manusia, Bumi Para Koruptor
- (Indonesia)Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar
- (Indonesia)Merayakan Matinya Reformasi
- (Indonesia)Pengkhianatan Cendekiawan
- (Indonesia)Senjakala Dasasila Bandung
- (Indonesia)Luka Papua, Luka Indonesia
- (Indonesia)Bersama (Siapapun)Kita Tetap Menderita
- (Indonesia)Bersama Kita Reshuffle Kabinet
- (Indonesia)Ariel Heryanto tentang Fadjroel
- (Indonesia)Di Bawah Bendera Oposisi
- (Indonesia)Oposisi Sosial dan Kelas Menengah
- (Indonesia)Dunia Intelektual dan Dagang
- (Indonesia)Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Politik Nilai
- (Indonesia)Kepemimpinan Politik Kaum Muda
- (Indonesia)Resensi Novel Mahadewa Mahadewi (1)
- (Indonesia)Resensi Novel Mahadewa Mahadewi (2)
- (Indonesia)233 Tahun Kesunyian
- (Indonesia)Partai Sosialis Indonesia dan Perjuangan Ideologi Sosialisme Kerakyatan
- (Indonesia)The Third Way dan Jalan Baru Partai Sosialis Indonesia
- (Indonesia)Jalan Sosialisme Kerakyatan
- (Indonesia)Sutan Sjahrir Memorial Lecture 2006
- (Indonesia)Debat Liberalisme: Fadjroel Rachman vs Rizal Mallarangeng
- (Indonesia)Puisi2 Tuan Marx dan Engels
- (Indonesia)Bush dan Kepentingan Kita
- (Indonesia)Kritisisme di Jantung Demokrasi