Sejarah Kota Padang tidak lepas dari pengaruh kedatangan orang-orang asing yang kemudian menetap dan membangun kota Padang.

Kemudian pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat, mendorong terbentuknya struktur pemerintahan yang efektif untuk dapat memberikan layanan kepada masyarakatnya.

Masa Awal

Menurut tambo pada masyarakat, kawasan kota ini dahulunya merupakan salah satu kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang.[1] Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan daerah pesisir pantai barat Sumatera berada di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung.[2] Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bahagian dari kedaulatan kesultanan Aceh.[3][4]

Masa Kolonial

Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris di tahun 1649,[5] kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak.[6] Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pantai barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau, selanjutnya di tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, hal ini diketahui dari surat regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung, yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini.[7] Walaupun pada tanggal 7 Agustus 1669, terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC, namun dapat diredam oleh VOC. Peristiwa ini dikemudian hari diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.[8]

Peranan kota Padang sebagai kawasan pelabuhan dalam mendistribusikan hasil bumi dari pedalaman Minangkabau terus meningkat, dengan membuat beberapa kontrak dagang dengan penguasa Minangkabau, Belanda mendapatkan keuntungan yang banyak dalam monopoli perdagangan tersebut, tercatat sejak tahun 1770 diberangkatkan dari pelabuhan Muara sebanyak 0.3 milyar pikul lada dan 0.2 milyar gulden emas per tahunnya.[9]

Awal Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai walikota pertama kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia, Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda,[10] yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[11]

Rujukan

  1. ^ Colombijn, Freek. Paco-Paco (Kota) Padang. hlm. 56. 
  2. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  3. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  4. ^ Abdullah, Taufik. "Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau Traditional Literature" (PDF). Diakses tanggal 2010-03-30. 
  5. ^ Keane, A.H., (1892). Eastern geography: A geography of the Malay peninsula, Indo-China, the Eastern archipelago, the Philippines, and New Guinea. E. Stanford. 
  6. ^ Colombijn, Freek, (1996), Padang, Cities (Elsevier), Vol. 13, Issue 4, August 1996, hal. 281-288, doi:10.1016/0264-2751(96)00010-8. (Jurnal berbayar)
  7. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  8. ^ Pemda Tingkat II Kotamadya Padang, (1995), 326 tahun Padang kota tercinta, 7 Agustus 1669-7 Agustus 1995: gerbang pariwisata Indonesia kawasan barat, Pemda Tingkat II Kotamadya Padang bekerja sama dengan PT. Buana Lestari.
  9. ^ Jacobs, E.M., (2006), Merchant in Asia: the trade of the Dutch East India Company during the eighteenth century, CNWS Publications, ISBN 90-5789-109-3.
  10. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.
  11. ^ Husein, Ahmad, (1992), Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau 1945-1950, Volume 1, Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau, ISBN 978-979-405-126-9