Diaspora Jawa di Aceh

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 6 Agustus 2012 10.22 oleh NextJi (bicara | kontrib)

Suku Aneuk Jawoe adalah sebuah suku yang tersebar di Provinsi Aceh. Suku Aneuk Jawoe merupakan penduduk Jawa yang bermigrasi ke Aceh, sebagian telah bercampur dengan suku asli yang ada di Aceh baik dari garis nenek, kakek, bapak atau dari garis keturunan ibu dan sebagian lagi masih memiliki keturunan asli . Dari segi bahasa, bahasa Aneuk Jawoe masih dianggap salah satu dialek dari bahasa Jawa ngoko yang telah bercampur dengan bahasa-bahasa setempat sehingga tidak sama persis dengan bahasa jawa ngoko di jawa, walaupun keduanya masih bisa saling memahami. Tidak seperti masyarakat jawa pada umumnya Suku Aneuk Jawoe sudah tidak mengenal tingkatan bahasa (register/undhak-unduk basa) namun register tersebut ada pada intonasi suaranya.

Nama

Nama "Aneuk Jawoe" merupakan sebutan berasal dari bahasa Aceh yang secara harfiah berarti "anak jawa" atau keturunan jawa walaupun secara umum mereka tetap menyebut sebagai Suku Jawa.

Sejarah Masa Kesultanan

Kerjasama dan perpindahan penduduk secara tradisional sebelum kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidak banyak sumber yang didapatkan namun Pada tahun 1511, Portugis berkuasa di Malaka. Kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah mengirimkan pasukannya untuk mengusir Portugis.Pasukan Demak itu dipimpin oleh Pati Unus. Ia dibantu oleh armada dari Aceh. Usaha mengusir Portugis di Malaka ini gagal karena kalah persenjataan dankekuatan pasukan, kekalahan ini menguras banyak persediaan , kapal banyak yang mengalami kerusakan serta banyaknya pasukan yang terluka, sebagai kamp pasukan terdekat, Aceh menjadi tempat persinggahan untuk memulihkan kekuatan dan banyak dari pasukan demak tidak kembali ke jawa dan mendirikan perkampungan seperti kampung jawa di banda aceh dan lainya terutama di pesisir utara dan tengah aceh seperti Bireun, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Besar, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang hal ini dibuktikan banyak kampung jawa sudah berdiri sebelum adanya program transmigrasi tahun 1964.

Sejarah Masa Penjajahan

Berawal dari penakhlukan Sultan Iskandar Muda terhadap Kota Medan pada sekitar tahun 1612 Masehi bahwa juga diceritakan Sultan Iskandar Muda mendirikan kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Percut, Sigara-gara, Kota Rengas dan Kota Jawa yang ikut membuka kran perpindahan penduduk dari tanah deli ke aceh, aceh sebagai daerah terakhir yang bisa ditakhlukan penjajah yang diduduki secara de jure sejak Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda tahun 1903, dan akhirnya Kesultanan Aceh runtuh tahun 1904, menjadi tempat pelarian yang aman oleh banyak pekerja paksa dari deli yang sudah diduduki belanda terlebih dulu. Pasca runtuhnya Kesultanan Aceh tahun 1904, Belanda mulai mendirikan perkebunan seperti perkebunan Kopi, Tebu dan Teh di Aceh yang banyak mendatangkan pekerja dari jawa dan kebanyakan dari keturunannya masih menetap sampai sekarang dan dilanjutkan kemudian oleh penjajahan jepang yang juga mendatangkan pekerja dari jawa.

Sejarah Pasca Kemerdekaan

program transmigrasi di aceh yang pada 1964 dimulai dengan menempatkan 100 KK warga transmigran di Blang Peutek Padang Tiji Kabupaten Pidie. Namun, warga transmigran di kawasan kaki Gunung Seulawah itu tidak bertahan lama. Ini disebabkan, karena setahun kemudian, 1965, terjadi tragedi nasional dengan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia. Program transmigrasi di Pidie itu pun bubar. Lalu, sejumlah warga transmigran di situ meninggalkan UPT Blang Peutek, dan mereka pun eksodus dan mencari penghidupan baru di Saree Aceh Besar. Sebagian di antaranya bahkan bekerja di PT Socfindo di Aceh Barat. Dan, sebagian lagi berpindah ke Sigli dan menjadi masyarakat Pidie. Transmigrasi di Aceh, setelah Blang Peutek, tidak lantas berhenti. Pada 1973 pembukaan kawasan baru pun dirintis di Aceh Utara. Lalu, pada tahun 1975/1976 program transmigrasi kembali hadir di Aceh dengan ditempatkan 300 KK warga transmigran di Cot Girek yang hambir bersamaan bilangan tahunya dengan penempatanan Petani Tebu di Silih Nara dan Karyawan Pabrik Gula Mini (PGM) Silih Nara yang didatangkan pekerja dari Pulau Jawa. Ketransmigrasian di Aceh telah memacu lahirnya sentra sentra produksi dan sentra ekonomi baru. Ini adalah dampak sangat positif akibat keterpaduan pembangunan multisektor di sebuah daerah. Lahirnya kawasan ekonomi Patek Aceh Jaya, Jantho Aceh Besar, Jagong Jeget Aceh Tengah, Trumon Aceh Selatan, Peunaron Aceh Timur, Subulussalam, dan lainnya.

Penyebaran

Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan Suku Aneuk Jawoe sebesar 15,87% diseluruh aceh yang penyebarannya tidak semuanya terkonsentrasi kecuali yang didatangkan melalui Program Transmigrasi seperti kawasan ekonomi Patek Aceh Jaya, Jantho Aceh Besar, Jagong Jeget Aceh Tengah, Trumon Aceh Selatan, Peunaron Aceh Timur, Subulussalam, dan banyak perkampungan yang sudah ada sebelum adanya program transmigrasi.

Bahasa

Bahasa Jawa tetap digunakan dengan berasimilasi dengan bahasa lokal yang ada di Aceh jadilah bahasa “jawoe”. Tidak banyak perubahan cuma beberapa konsonan dan vokal dan sedikit dialeknya yang telah menyesuaikan dengan bahasa lokal dan telah hilangnya letupan dental /b, /d, /th seperti layaknya orang jawa di pulau jawa. Dari segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek Bahasa Jawa. Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan dari Suku Aneuk Jawoe, terutama yang tinggal pada mayoritas suku lokal sudah tidak bisa berbahasa jawa lagi namun sudah menggunakan bahasa suku lokal di daerahnya, seperti menggunakan Bahasa Gayo, Aceh dan lain sebagainya.


Lihat Pula