Yahudi Kaifeng adalah komunitas Yahudi di Cina yang paling lengkap catatannya. Mereka tinggal di dalam kota Kaifeng di provinsi Henan. Meskipun di antara penduduk Cina umumnya mereka tidak begitu menonjol, mereka telah menarik minat banyak pengunjung Eropa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang pusat budaya Yahudi yang paling jauh letaknya ini. Meskipun orang Yahudi di Cina biasanya menyebut diri mereka Youtai (ata Youtai ren/犹太人; ren=orang) dalam bahasa Mandarin standar — juga istilah untuk Yahudi pada umumnya dalam bahasa Mandarin pada masa kini — komunitas ini telah lama dikenal oleh tetangga-tetangga mereka orang-orang suku Han sebagai pemeluk Diao jin jiao (扚筋教), yang artinya lebih kurang, agama yang tidak makan urat. (Lihat Kosher)

Yahudi Kaifeng
(יהדות מזרח Yahadut Mizrah)
Yahudi Kaifeng, akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Daerah dengan populasi signifikan
Bahasa
Mandarin Chinese dan beberapa Ibrani (modern)
Judeo-Persian (historic)
Agama
Yudaisme dan Agama asli Cina
Kelompok etnik terkait
Han Chinese, Yahudi Ashkenazi, Yahudi Sephardi, lainnya Jewish ethnic divisions.

Sejarah

Berkas:Jews of K'ai-Fung-Foo, China.jpg
Yahudi Kaifeng, akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20

Menurut catatan-catatan sejarah, sebuah komunitas Yahudi dengan sebuah sinagoga telah hadir di Kaifeng sejak paling kurang abad ke-12 (Dinasti Song) hingga akhir abad ke-19. Sebagian laporan malah menyebutkan bahwa sesungguhnya mereka telah hidup di sana sejak abad ke-9.

Orang menyimpulkan bahwa leluhur orang Yahudi Kaifeng berasal dari Asia Tengah. Keberadaan kelompok keagamaan dan etnis yang tidak terputus ini, yang berlangsung selama lebih dari 700 tahun dalam lingkungan sosial-budaya yang sama sekali berbeda dan yang kuat didominiasi oleh prinsip-prinsip moral dan etis Kong Hu Cu, adalah sebuah gejala unik, bukan hanya di dalam sejarah Cina, tetapi juga di dalam peradaban Yahudi selama beribu-ribu tahun.

Pengelana Italia abad ke-13 Marco Polo mungkin pernah mendapatkan laporan tentang komunitas-komunitas Yahudi di Cina. Keberadaan orang Yahudi di Cina saat itu tidak banyak diketahui oleh dunia hingga Matteo Ricci secara kebetulan bertemu dengan seorang Yahudi dari komunitas Kaifeng pada awal abad ke-16. Saat itulah penelitian orang Eropa terhadap orang Yahudi di Kaifeng dimulai, umumnya dilakukan oleh para misionaris Eropa.

 
Gambaran sinagoga di Kaifeng.

Ricci mendapatkan kunjungan dari seorang Yahudi Tionghoa muda bernama Ai Tian (艾田) pada 1605, yang menjelaskan bahwa ia menyembah satu Allah. Tertulis dalam catatan bahwa ketika ia melihat sebuah gambar Kristen tentang Maria dengan Yesus yang masih kanak-kanak, ia percaya bahwa itu adalah gambar Ribka dengan Esau atau Yakub, tokoh-tokoh dari Perjanjian Lama. Ai menyatakan bahwa ia berasal dari Kaifeng, dan di sana ada banyak orang Yahudi. Ricci mengutus seorang Yesuit Cina untuk mengunjungi Kaifeng. Belakangan orang-orang Yesuit lainnya juga mengunjungi kota itu. Belakangan ditemukan bahwa komunitas Yahudi itu mempunyai sebuah sinagoga ("Libai si, 禮拜寺"), yang menghadap ke timur, dan memiliki banyak bahan tertulis dan buku-buku.

Orang Yahudi di Cina tampaknya "sangat menderita" dan tercerai-berai pada masa pemberontakan Taiping pada tahun 1850-an. Tercatat bahwa setelah tersebar ke mana-mana, mereka kembali ke Kaifeng, namun jumlah mereka tetap kecil dan menghadapi banyak kesulitan.

Tiga prasasti Yahudi yang bertulis ditemukan di Kaifeng. Seorang peneliti Katolik pada awal abad ke-20 memperlihatkan bahwa manuskrip-manuskrip Ricci menunjukkan bahwa hanya ada sekitar 10-12 keluarga Yahudi di Kaifeng pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, dan bahwa mereka konon telah tinggal di sana selama 500-600 tahun. Juga dinyatakan di dalam manuskrip-manuskrip itu bahwa ada jauh lebih banyak orang Yahudi di Hangzhou.

Selain sejarahnya yang panjang, komunitas Yahudi Kaifeng mempunyai ciri-ciri menonjol lainnya: Meskipun hidup hampir terisolasi dan tanpa hubungan apapun dengan diaspora Yahudi di luar Cina, komunitas ini masih mampu mempertahankan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan Yahudi selama ratusan tahun. Namun, meskipun mereka tidak mengalami diskriminasi ataupun penganiayaan dari pihak orang-orang Tionghoa, suatu proses asimilias yang bertahap berlangsung terus. Hingga abad ke-17, asimilasi orang-orang Yahudi Kaifeng berlangsung secara intensif dan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan perubahan-perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan agama dan ritual Yahudi, tradisi sosial dan bahasa, serta perkawinan campuran antara Yahudi dengan kelompok-kelompok etnis lainnya, seperti orang-orang Han, dan minoritas suku Hui dan suku Manchu di Cina. Pada tahun 1860-an, sinagoga Yahudi di Kaifeng runtuh karena telah lama tidak dipelihara. Akibatnya, kehidupan keagamaan Yahudi, bersama-sama dengan identitas Yahudi di dalam komunitas itu, berakhir.

Yahudi Kaifeng sekarang

Orang-orang Yahudi di Cina hampir tidak dikenal oleh masyarakat Tionghoa hingga awal abad ke-20, meskipun kehadiran mereka telah dipersaksikan di negara itu selama lebih dari 700 tahun.

Orang-orang Yahudi Eropa yang tinggal di Shanghai pada awal abad ke-20 dilaporkan pernah mengadakan penelitian di Kaifeng, namun tidak banyak memberikan hasil.

Dengan meningkatnya minat terhadap dunia Barat di kalangan para intelektual Cina pada masa ini, kehadiran orang-orang Yahudi, dan Yudaisme, mulai disadari oleh para sarjana di Cina. Pokok ini perlahan-lahan berkembang menjadi suatu bidang penelitian tersendiri ketika Republik Rakyat Cina dibentuk pada 1949.

Karena buruknya syarat-syarat untuk penelitian tentang agama (sebagai akibat dari atmosfer politik), penelitian tentang orang-orang Yahudi Kaifeng dan Yudaisme di Cina berhenti hingga permulaan tahun 1980-an, ketika pembaruan politik dan ekonomi dilaksanakan. Pembentukan hubungan diplomatik antara Cina dan Israel pada 1992 mempercepat penelitian dalam bidang ini di kedua negara. Penelitian tentang orang-orang Yahudi di Cina mendapatkan hat baru di seluruh dunia melalui peninjauan kembali terhadap pengalaman-pengalaman sekitar 25.000 pengungsi Yahudi di Shanghai pada masa Nazi.

Dalam tahun-tahun belakangan, penelitian tentang sejarah dan budaya orang-orang Yahudi Kaifeng dilakukan tidak hanya di Cina, tetapi juga di negara-negara lain. Minat akademik yang meningkat dalam pokok-pokok terkait akan berlanjut pada masa depan yang dapat dibayangkan.

Telah dikatkaan bahwa dalam penampilannya, orang-orang Yahudi Kaifeng tidak dapat dibedakan dari tetangga-tetangganya yang bukan Yahudi. [1]

Situasi keturunan Yahudi di Kaifeng saat ini sangat kompleks. Di dalam kerangka Yudaisme rabinik masa kini, hanya garis keturunan Yahudi lewat ibu sajalah yang diakui. Seorang Yahudi adalah seseorang yang berpindah menjadi Yahudi atau yang ibunya adalah seorang Yahudi, sementara orang-orang Yahudi Cina mengakui hanya garis keturunan patrilineal. Oleh karena itu mereka tidak diakui sebagai Yahudi oleh komunitas-komunitas yang lainnya dan dengan demikian tidak berhak mendapatkan kewarganegaraan Israel secara otomatis di bawah Undang-undang Kepulangan ke Israel. Oleh karena itu kedutaan Israel di Beijing telah menolak permintaan keturunan orang-orang Yahudi Cina untuk melakukan aliyah. Kebanyakan dari komunitas Yahudi Kaifeng tidak menyadari garis keturunan mereka, namun karena mereka tidak mempunyai sumber-sumber informasi, kebanyakan dari mereka tidak sadar apa arti garis keturunan itu sesungguhnya.

Sementara sikap resmi terhadap keturunan komunitas Yahudi Kaifeng cukup baik, perlakuan yang mereka terima dari sesama warga negara mereka tidak selalu demikian. Di Kaifeng juga terdapat suatu komunitas Muslim yang dinamik, yang sangat kohesif, setelah bertahan selama 50 tahun menghadapi isolasi dan perlakuan bermusuhan yang didukung resmi oleh negara (pada umumnya, dapat diduga, karena hubungan antara etnis Hui, Uyghur, dan Kazakh dengan pemerintah Cina). Pada masa itu, keturunan Yahudi Kaifeng dilindungi dan ditolong oleh orang-orang Muslim, sehingga mereka umumnya sulit dibedakan dari komunitas Muslim. Hal ini berubah dengan dibukanya Cina, ketika kaum Muslim Kaifeng memulihkan hubungannya dengan orang-orang Muslim di negara-negara lain. Komunitas itu menerima bantuan dari negara-negara Muslim dan mengambil sikap anti Israel, anti Yahudi yang berlaku di tempat lain. Masjid Kaifeng menyebarkan propaganda anti Israel “Yerusalem yang direbut”, sementara penduduk Muslim setempat mengembangkan sikap yang kian bermusuhan terhadap orang-orang Yahudi. Karena sedikit orang Yahudi di luar Kaifeng yang pernah berkunjung ke kota itu, sikap kebencian ini ditujukan kepada para keturunan orang-orang Yahudi Kaifeng. Ada desas-desus tentang rencana pogrom, dan informasi tentang hal ini konon disensor oleh pemerintah Cina. Karena situasi ini, banyak keturunan orang Yahudi Kaifeng yang lebih suka mengaku sebagai etnis Han.

Sensus terakhir mengungkapkan sekitar 400 orang Yahudi resmi di Kaifeng, namun jumlah itu patut dicurigai. Sulit kita memperkirakan jumlah orang Yahudi di negara manapun, namun di Cina hal ini hampir tidak mungkin. Angka-angka bias berubah semata-mata karena perubahan sikap resmi pemerintah. Misalnya, jumlah etnis Manchu pada masa Dinasti Qing terakhir diperkirakan 2 juta orang; setelah kejatuhan Dinasti Qing, orang-orang Manchu —yang kuatir akan mengalami penganiayaan —praktis menghilang dan hanya 500.000 yang tercatat dalam sensus berikutnya. Ketika kebijakan resmi mengenai kaum minoritas berubah, memberikan mereka hak-hak untuk dilindungi, jumlah etnis Manchu melompat hingga 5 juta orang. Jumlah orang yang dapat mengklaim etnisitas Yahudi di Kaifeng dan sekitarnya bias mencapai hingga ratusan ribu orang. Sejauh ini, kebanyakan komunitas Yahudi di luar negeri tidak peduli terhadap mereka yang dianggap sebagai keturunan Yahudi Kaifeng.

Keturunan Yahudi Kaifeng menemukan teman dalam diri orang-orang Kristen setempat dan dilindungi oleh mereka. Orang-orang Kristen semakin bertambah kekuatannya di Cina, dan mereka memperlihatkan minat dan sikap yang baik terhadap orang-orang Yahudi. Sisa-sisa dari sinagoga dan Jalan Yahudi dikumpulkan dan dibangun menjadi gereja-gereja Kristen yang baru.

Lihat pula

Pranala luar