Wahyu kepada Yohanes

Buku terakhir dari Perjanjian Baru
Revisi sejak 29 Agustus 2012 11.33 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (r2.7.2+) (bot Mengubah: th:หนังสือวิวรณ์)

Kitab Wahyu kepada Yohanes adalah kitab terakhir dalam kanon yang menutup sejarah Perjanjian Baru.[1] Kitab ini juga merupakan sebuah kitab Kristen yang berisikan penglihatan, lambang, tanda, bilangan, serta hal-hal yang berkaitan dengan pengajaran Tuhan kepada bangsa Yahudi.[2] Selain itu, Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab yang sulit dipahami dalam Alkitab sehingga menimbulkan banyak penafsiran atasnya.[3] Pada abad 2 Masehi, orang Kristen memiliki pemahaman bahwa kitab Wahyu adalah kode simbolis yang meramalkan orang-orang atau peristiwa-peristiwa tertentu yang mengantar pada akhir zaman.[4] Pada saat itu, sekelompok kaum Montanis pergi ke padang gurun Frigia untuk menyaksikan Yerusalem surgawi turun dari langit, namun mereka semua kecewa dengan penantian mereka.[4]

Malaikat menampakkan diri pada Yohanes. Kitab Wahyu. Manuskrip abad 13. British Library, London.

Ayat-ayat terkenal

  • Wahyu 1:8: (Yesus berfirman:) "Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa."
  • Wahyu 1:17–18: (Yesus berfirman:) "Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, (1:18) dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut."
  • Wahyu 3:20: (Yesus berfirman:) "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku."
  • Wahyu 22:20: Ia (Yesus) yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: "Ya, Aku datang segera!" Amin, datanglah, Tuhan Yesus!
  • Wahyu 22:21: Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin.

Latar Belakang

Penulis

Penulis kitab ini menyebut nama Yohanes,[5][6] sebagai "saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus."[7] Jelas ia tidak menulis secara anonim[8] Sejumlah pakar menganggap penulisnya adalah rasul Yohanes bin Zebedeus.[9] Hal ini juga didukung oleh pendapat Yustinus Martir yang tertulis dalam Dialog dengan Trypho pada tahun 135.[10] Penulis Wahyu memperkenalkan diri sebagai seorang nabi (Wahyu 1:2–3; Wahyu 22:6,9,19).[9] Ia berkarya di Asia Kecil dan merupakan seorang keturunan Yahudi.[9] Pada masa itu umat Kristen disiksa dan dikejar-kejar karena kepercayaan mereka kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah, sehingga dengan menulis kitab ini sang penulis berharap ingin memberi semangat kepada para pembaca dan pendengarnya, dan juga untuk mendorong mereka supaya tetap percaya pada waktu situasi demikian.[9]

 
Peta Anatolia Barat (dahulu termasuk Asia Kecil) menunjukkan pulau Patmos dan tujuh kota yang disebutkan dalam Kitab Wahyu.

Situasi Sosial dan Politik

Domitian
Kaisar Romawi
 
Domitianus
Berkuasa14 September 81 –
18 September 96
PendahuluTitus
PenerusNerva
Pemakaman
Roma
Istri
KeturunanSatu putra (77–81)
Nama lengkap
Titus Flavius Domitianus
(dari lahir hingga 69);
Titus Flavius Caesar Domitianus (dari 69 hingga naik takhta);
Titus Flavius Caesar Domitianus Augustus (sebagai kaisar)
DinastiFlavianus
AyahVespasianus
IbuDomitilla

Setelah kekaisaran Romawi mengalahkan kerajaan Yunani/Greece pada tahun 168 sebelum masehi, maka pemerintah mengharuskan rakyat menyembah dewi Roma.[2] Namun demikian, dewi ini tidak memiliki wujud dan terdapat sebuah pemikiran apabila dewi ini nantinya akan disembah maka akan sulit untuk mendapat dukungan dari berbagai suku bangsa yang berbeda.[2] Oleh karena hal inilah, maka kekaisaran Romawi mulai memberlakukan pemujaan terhadap kaisar.[2] Pada saat itu kaisar Nerolah yang memimpin bangsa Romawi. Ia melakukan kekerasan dan penganiayaan pada orang Kristen hingga akhirnya pada tahun 64 Nero membakar kota Roma dan orang Kristen dijadikan kambing hitam atas kebakaran tersebut.[2]

Pada masa pemerintahan Domitian, kaisar dengan giat melaksanakan pendewaan atas dirinya sendiri.[1] Ia menyebut dirinya sebagai allah, bagi siapa saja yang tidak setia kepada dia akan dinyatakan menghujat allah serta dinilai sebagai penghianat kerajaan.[1] Ia juga membuat peraturan di dalam kerajaan, salah satunya adalah setiap pembesar kerajaan yang ingin berbicara dengannya atau datang memberikan laporan kepadanya haruslah menyapanya dengan Tuhan.[2]

Setelah kuasa politik pemerintahan kekaisaran Romawi stabil, misalnya sistem transportasi yang maju, jaminan keamanan bagi masyarakat, serta jaminan keamanan perdagangan, maka tercetuslah sebuah istilah dalam sejarah politik Romawi yaitu Pax Romana.[2] Pax Romana merupakan sebuah istilah yang dipakai oleh rakyat untuk mengucapkan tanda terimakasih pada kaisar.[2] Setiap tahun juga telah ditetapkan bahwa rakyat wajib untuk membakar kemenyan untuk menyembah kaisar dalam kuil.[2] Orang-orang Kristen yang hidup pada masa ini mengalami tekanan dari para pembesar pemerintah.[2] Namun demikian, demi iman kepercayaan mereka yang terus mereka pertahankan mereka rela untuk dianiaya dan dibunuh.[2] Hal ini menyebabkan banyak orang Kristen yang menjadi martir.[2]

Apokaliptik

Kitab Wahyu merupakan sebuah kitab yang mengutarakan pemikiran serta kesusasteraan apokaliptik.[9] Pemikiran dan jenis sastra apokaliptik sebetulnya sudah berkembang di kalangan orang-orang Yahudi sejak zaman para Makabe (abad ke-2 SM) sampai akhir abad ke-2 Masehi (sekitar tahun 200).[9] Kesusasteraan apokaliptik dalam kitab Wahyu diperlihatkan dengan adanya berbagai macam bentuk penglihatan.[9] Penglihatan yang disampaikan terutama menyangkut pada zaman terakhir.[9] Pada zaman terakhir ini, kuasa-kuasa jahat akan menindas umat yang setia pada ajaran agama, tetapi pada akhirnya kejahatan itu akan dihancurkan dan umat yang beriman akan diselamatkan.[9] Kristus akan menang melawan kejahatan dan membebaskan semua umat beriman.[9]

Penglihatan-penglihatan dalam kitab Wahyu penuh dengan kiasan dan lambang yang sulit untuk dipahami.[9] Namun demikian, kiasan dan lambang dalam kitab Wahyu tidak dapat dimengerti secara harafiah.[9] Lambang tersebut tidak dapat digambarkan atau dikhayalkan sebagai suatu kenyataan.[9]

Memahami Kitab Wahyu

Dalam memahami Kitab Wahyu, terdapat tiga macam pandangan teologis yang sangat menentukan cara pendekatan untuk memahami Kitab Wahyu antara lain pandangan profetis, pandangan spiritualistis, dan pandangan historis-kritis.[3]

Pandangan Profetis

Pandangan profetis menganggap Wahyu sepenuhnya merupakan nubuatan tentang akhir zaman, terutama jika dihubungkan dengan Kitab Daniel dan bagian-bagian eskatologis lain dalam Alkitab.[3] Pandangan profetis terbagi dalam tiga aliran yaitu pandangan preteris, pandangan futuris, dan pandangan historis.[3] Pandangan preteris berusaha memahami Kitab Wahyu dengan melihat peristiwa-peristiwa pada abad pertama, misalnya mengenai penganiayaan terhadap gereja yang digambarkan seperti metafora "ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi" (Wahyu 17:5).[3] Hal lain lagi yaitu Harmagedon (Wahyu 16:6) dipandang sebagai penghakiman Allah atas orang-orang Yahudi yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Romawi yang digambarkan sebagai binatang.[3] Pandangan futuris menganggap semua atau sebagian besar nubuat Wahyu adalah mengenai peristiwa yang akan terjadi pada masa depan, menjelang kedatangan Kristus kedua.[3] Pandangan futuris juga mempercayai bahwa kesengsaraan dahsyat akan terjadi yakni periode tujuh tahun, ketika orang percaya di seluruh dunia akan mengalami penganiayaan dan kesyahidan serta akan disucikan dan dikuatkan olehnya.[3] Pandangan futuris ini pertama kali dimunculkan oleh dua orang penulis Katolik yaitu Manuel Lacunza dan Ribera.[3] Pandangan historis menganggap Wahyu sebagai nubuat untuk rentang waktu dari abad pertama hingga kedatangan Yesus yang kedua.[3] Secara politis, simbol-simbol dalam kitab ini dimaknai sebagai nubuat mengenai perpecahan tahap demi tahap dan kejatuhan kekaisaran Romawi, timbulnya perpecahan di Eropa Barat dan bangkitnya kerajaan Islam di Timur.[3] Secara gerejawi Wahyu dipahami`sebagai nubuat mengenai perluasan gereja, bahwa setelah penganiayaan yang dialami, gereja terus berkembang hingga menaklukkan seluruh dunia.[3]

Pandangan Spiritualistis

Pandangan ini menekankan makna spiritual di balik pewartaan Kitab Wahyu.[3] Penglihatan-penglihatan yang dipaparkan dalam kitab ini dipahami sebagai ungkapan kebenaran rohani yang kekal, yang selalu dinyatakan di sepanjang sejarah.[3] Dalam pandangan ini, pewartaan kitab Wahyu selalu dimaknai secara alegoris.[3] Gambaran-gambaran yang ada di dalamnya dianggap sebagai alegori peristiwa-peristiwa di akhir zaman.[3]

Pandangan Historis Kritis

Pandangan ini memahami Kitab Wahyu dengan pendekatan historis-kritis.[3] Menurut pandangan ini, pesan kitab Wahyu tidak mungkin dipahami tanpa analisis historis atas latar belakang penulisannya.[3] Bahasa-bahasa apokaliptis yang digunakan dapat dipahami apabila latar belakang konteksnya lebih dahulu diketahui.[3] Pandangan historis-kritis memahami kitab wahyu dalam konteks historis abad pertama dalam sastra apokaliptik Yahudi dan Kristen.[3]

Muatan Teologi

Eskatologi

Pemahaman eskatologis kitab ini terdapat dalam Wahyu 1:7, di sana digambarkan mengenai peristiwa kedatangan Kristus yang kedua kalinya.[11] Selain itu, eshkatologi kitab ini juga bukan lagi peristiwa masa depan yang dinantikan, melainkan peristiwa masa kini yang mendemonstrasikan kuasa Allah, karena Yesus berkata "Aku datang segera".[3] Selain itu, tema kerajaan Allah dalam kitab Wahyu dipengaruhi oleh pengertian kerajaan seribu tahun.[11] Sebelum adanya kerajaan seribu tahun, pasti akan ada kesusahan yang besar, namun kesusahan tersebut akan hilang ketika Kristus mengalahkan sumber kesusahan.[11]

Etika

Dasar etika Kristen dalam kitab Wahyu dikemukakan dalam Wahyu 1:5, "...memang Tuhan menyelamatkan umatnya dari tanah Mesir, namun sekali lagi membinasakan mereka yang tidak percaya."[3] Secara simbolis dan tipologis, pengalaman Israel ini merupakan ilustrasi bagi gereja.[3] Dalam Yesus, Allah telah menyelamatkan umatnya dari dosa-dosa mereka pada masa lalu, namun mereka yang tidak percaya akan dibinasakan.[3] Berita ini merupakan dasar perintah di mana orang beriman dipanggil untuk menarik garis pembatas dengan orang yang tidak beriman, sebab semua akan dihakimi berdasarkan perbuatannya.[3] Perbuatan memiliki arti sebuah respons yang tepat terhadap karya keselamatan Allah dalam Yesus, yang telah diterima oleh orang-orang percaya.[3]

Eklesiologi

Eklesiologi kitab Wahyu mencerminkan bahwa jemaat terdiri dari saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan dalam satu keluarga Allah.[3] Semua anggota jemaat disebut sebagai hamba-hamba atau pelayan-pelayan.[3] Bahkan malaikat pun disebutkan sebagai sesama hamba (Wahyu 22:9).[3] Gagasan dasar ini menjelaskan struktur jabatan gereja yang diduga telah diterapkan di Asia Kecil pada akhir abad pertama.[3] Satu-satunya jabatan khusus dalam kitab Wahyu adalah nabi, namun tidak menunjukkan bahwa jabatan tersebut dilembagakan.[3] Dilihat dari sudut pandang ekumenis, penulis Wahyu sangat memperhatikan situasi jemaat lokal, sebab jemaat itu merupakan komponen yang menentukan masa depan gereja secara keseluruhan.[3]

Referensi

  1. ^ a b c Merrill C. Tenney. 1995. Survei Perjanjian Baru. Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas. Hal. 473.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Peter Wongso. 1999. Eksposisi Doktrin Alkitab: Kitab Wahyu. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara. Hlm. 1.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Bambang Subandrijo. 2010. Menyingkap Pesan-pesan Perjanjian Baru 2. Bandung: Bina Media Informasi. Hlm. 135-150.
  4. ^ a b Dianne Bergant & Robert J. Karris (eds). 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 477.
  5. ^ Wahyu 1:1–4
  6. ^ Wahyu 22:4
  7. ^ Wahyu 1:9
  8. ^ Willi Marxsen. Introduction to the New Testament. Pengantar Perjanjian Baru: pendekatan kristis terhadap masalah-masalahnya. Jakarta:Gunung Mulia. 2008. ISBN:9789794159219.
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m C. Groenen. 1984. Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.394-398.
  10. ^ Dave Hagelberg. 1997. Tafsiran Kitab Wahyu. Yogyakarta: Yayasan Andi. Hlm.1.
  11. ^ a b c (Indonesia)Donald Guthrie. 1992. Teologi Perjanjian Baru 3. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 156-157

Pranala luar

Templat:Link FA