Pembicaraan:Aksara Nusantara
Ini adalah halaman pembicaraan untuk diskusi terkait perbaikan pada artikel Aksara Nusantara. Halaman ini bukanlah sebuah forum untuk diskusi umum tentang subjek artikel. |
|||
| Kebijakan artikel
|
||
Cari sumber: "Aksara Nusantara" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · HighBeam · JSTOR · gambar bebas · sumber berita bebas · The Wikipedia Library · Referensi WP |
Wah kalau aksara Sunda Kuna dimasukkan, harus bikin gambar silsilah baru. Kalau menurut saya, aksara Sunda Kuna itu diturunkan dari aksara Pallawa dan bukan Kawi. Karena bentuk ductus (bangun aksara) berbeda. Meursault2004 16:08, 3 Apr 2005 (UTC)
Aksara-Aksara di Nusantara: Karya Seni Kebudayaan (Garonto Passura)
Selama ini berkembang asumsi pengenalan aksara selalu diasumsi sebagai yang menandai masa sejarah atau periode klasik yang diidentikan dengan pengaruh Hindu-Buddha. Secara umum pula bukti tertulis yang merupakan gambaran bunyi aksara ditemukan sebagian besar di Nusantara barat, lalu bagaimana dengan ”minimnya” atau boleh dikatakan tidak atau belum ditemukan sumber tertulis di Nusantara timur yang dapat menggiring perpsepsi bahwa dan Nusantara timur tidak mengalami masa sejarah? Mungkinkah sepanjang periode yang disebut klasik berlangsung, justru di wilayah tetap melangsungkan atau mempertahankan corak budaya prasejarah khususnya kehidupan perundagian yang berlangsung pada akhir masa Epipaleolitik sampai awal Neolitik.
Tidak berarti pula dengan ciri budaya seperti itu masyarakatnya tidak mengenal aksara dan bahasa atau gambaran bunyi yang berfungsi sebagai alat berkomunikasi. Yang di wilayah ini ditemukan sejumlah sisa aktivitas budaya yang ditemukan paling menonjol adalah lukisan cadas -- rock art -- (dengan pengecualian Sumatra dan Jawa) antara lain di Sulawesi Selatan, Muna, Seram, Kei kecil, Flores, Lomblem, Papua, Kalimantan timur dan barat dan secara kronologi dan motif menunjukkan ada runutan yang dapat ditelusuri. Motif-motif lukisan-nya adalah manusia (bagian-bagian tubuh seperti badan, genital telapak tangan, atau telapak kaki) manusia secara utuh tengah memegang senjata dengan posisi tengah berperang, binatang (lipan, babi, anoa, ikan, cumi-cumi), kuda (adakalanya tampil bersama penunggangnya), perahu, dan lambang-lambang tertentu, secara universal disebut geometris (geometrical ornament) berupa garis tidak beraturan, pola segitiga (tumpal) a.l. (anyam)kepang, pilin(berganda) atau double spiral, medalion (bulatan), meander dan swastika.
Lukisan gambar tersebut ada yang dipahatkan secara disemprot sesuatu cairan berwarna (negatif), dicap (positif ) dan digores (dipahat). Sebagian besar tema dipilih mengandung unsur kognitif dan erat kaitannya dengan unsur-unsur kesuburan, persatuan antar sesama, keselarasan dan keseimbangan dengan alam dan Sang Cipta.
Tiada lain gambar atau lukisan adalah visualisasi verbal dalam upaya komunikasi ke generasi sesudahnya diungkapan melalui sentuhan estetika oleh seniman zamannya. Nyata pula bahwa yang digambarkannya bukan sesuatu yang ganjil hal-hal atau objek di luar gagasan masyarakatnya sebagai pendukung budaya. Pengalaman di lingkungan sehari-hari yang dialami secara empiris telah melahirkan gagasan yang dituangkan kepada motif-motif lukisan secara langsung dimengerti dan dipahami oleh keturunannya pada masa kemudian sebagai bagian kebudayaanya. Dengan demikan lukisan cadas adalah juga alat transformasi yang tiada berbeda peran dan fungsinya dengan bahasa. Gambar atau lukisan dengan anekaragam motif-motifnya merupakan bukti paling awal yang menunjukkan telah disepakati cara komunikasi yang mampu menjalin interaksi di antara sesama.
Nyata bahwa masyarakat yang konon “tidak mengenal budaya tulis” itu justru yang mendasari kemampuan di dalam upaya menyampaikan pengetahuan tentang realitas yang tersimpan di dalam gagasan, selanjutnya dituangkan melalui lukisan-lukisan cadas sehingga merasakan maknanya dan terbukti komunikatif melampaui kurun waktu berabad-abad.
Gambar atau lukisan tersebut digolongkan ke dalam kategori jenis pikto-grafik seperti peradaban Mesir Purba dan Tiongkok kuno berupa gambar atau lukisan konkrit dan melalui perkembangan waktu beralih kepada Ideografik berbeda hal dengan Nusantara yang mengambil bentuk Silabik (suku kata). Rock art diindonesiakan lukisan cadas adalah sakah satu perwujudan karyaseni manusia masa prasejarah yang sarat simbol dan lambang yang dapat disejajarkan dengan fungsi bahasa yaitu sebagai media komunikasi budaya yang bersifat simbolis dengan melalui perlambangan tertentu yang dipahami masyarakat pendukung budaya. Karena itu selain arkeologi murni salah satu pendekatan yang dipakai meneliti serangkaian simbol lukisan cadas yang sarat mengandung pesan-pesan tersembunyi yakni linguistik struktural sebab bila dikontemplasikan dapat difahami maknanya. Adakah itu merupakan bukti bahwa peran dan fungsi lukisan cadas khususnya masyarakat Nusantara tengah dan timur tiada berbeda dengan peran dan fungsi bahasa tulisan dengan kata lain aksara yang dikenal lingkungan masyarakat Nusantara bagian barat?
Kemampuan dasar tersebut kian terpupuk tatkala mencerna ragam hias aksara yang diindikasikan sebagai inovasi asing. Bedanya gambar atau lukisan tersebut tidak berbunyi sekalipun dapat dibaca, dimengerti dan dipahami sebab disertai tanda bunyi.
Barangkali lukisan cadas atau rock art dikategorikan piktografik menandai gejala paling awal melahirkan seni keahlian menggores yang berkembang di seluruh belahan dunia sesungguhnya prototipe pengetahuan aksara pada masa-masa kemudian. Motif-motif yang tetap bertahan dan diimposisi ulang sebagai motif dasar pada kain (tenun) ikat, unsur ataupun komponen bangunan, alat atau benda upacara pun alat-alat sehari-hari. Tradisi menggambarkan atau melukiskan sebagai upaya menuangkan pengalaman empiris secara lebih konkrit ditemukan pada naskah-naskah prasen masyarakat Bali dengan media daun tal isinya tentang kisah-kisah klasik sebagai puja-sastra antara lain saduran epos Mahabharata, Ramayana dan Bharatayuddha oleh para pujangga lokal atau cerita-cerita rakyat yang bertaut kepada ajaran kehidupan.
Disesalkan bahwa sampai kini kita masih belum ditemukan bukti-bukti adanya gaya aksara yang termasuk kategori ideografik, sebelum menapaki aksara jenis silabik yang diwujudkan berupa sukukata. Kategori yang tergolong aksara ideografik agaknya tertancap sebagai ciri aksara Tiongkok kuno, ataukah aksara Cina jenis ini tidak sempat berkembang di Nusantara karena meskipun para musafir Cina kala itu termasuk yang kerap berkunjung ke Nusantara.
Namun sejarah mencatat pula bahwa mereka datang lebih banyak bertujuan keagamaan bagi pengetahuan mereka sendiri, yakni mencatat dan menterjemahkan teks-teks agama Buddha yang terdapat di Nusantara. Setelah selesai mengerja-kannya naskah itu dibawa pulang kembali ke negerinya. Itukah sebabnya aksara Tiongkok kuna maupun aksara Cina kuna tidak memasyarakat di Nusantara seperti aksara pengaruh India. Betapapun aksara Cina tidak lagi melukis sesuatu benda konkrit seperti pada awalnya namun berlandaskan kepada kategori silabik seperti halnya aksara Katakana, Hiragana di Jepang, India dan sebagian Asia Tenggara daratan termasuk Nusantara.
Sejak awal kehadirannya pada sekitar abad II Masehi di Nusantara jenis aksara dengan katagori silabik memicu dayacipta (local genius) dengan kekhasannya dan mencapai puncak perkembangannya pada awal abad VIII Masehi, termasuk ragam variasinya di dalam kancah perkembangan lokal, khususnya di bagian barat kepulauan Nusantara. Perkiraan batasan periode sepenuhnya didasarkan analisis dengan metode palaeografis karena sebagian besar data sumber tertulis umumnya tidak bertanggal, antara lain dituliskan pada lempeng atau lembaran kertas emas ataupun perak pesannya berupa teks-teks pendek berbahasa Sanskerta (mantra) biasanya ditemukan ditanam pada sumuran-sumuran bangunan suci (peripih).
Pada pertengahan abad VIII Masehi ditemukan beberapa teks-teks yang mencantumkan pertanggalan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna, kekhasan itu nampak pada gaya aksara yang cenderung agak membulat dan miring ke kanan 15°. Abad IX –X Masehi perlahan-lahan gaya itu membulat menjadi lebih tambun menuju persegi sehingga pertemuan garis yang membentuk sudut-sudut pada bagian-bagian aksara ter-tentu nampak menonjol.
Gaya pahatan aksara-persegi ini selanjutnya mendasari gaya aksara-aksara di Jawa Timur (abad XI-Masehi) dengan berbagai variasinya juga, baik yang dipahatkan tipis dan halus, bahkan berpadu dengan inovasi gaya Bali sekalipun yang dipahatkan menonjol ke luar, sangat tebal dengan ukuran cukup besar acapkali raya dengan hiasan (sulur-suluran) sehingga bentuk aksaranya sulit dipahami yakni aksara Kwadrat, khusus dipakai menuliskan semboyan-semboyan tertentu, prasasti yang beraksara kwadrat lebih sering dipahatkan pada prasasti-prasasti pendek dan sangat khas pada masa Kadiri.
Gaya ini kemudian menjadi dasar menuju perkembangan aksara abad IX Masehi penanda utama adalah hadirnya serif (=kuncir) yang ditemukan di bagian kepala aksara-aksara khusus aksara terbuka ke atas. Tanda ini tidak ditemukan pada aksara aksara di India. Tampaknya remeh namun kehadiran kuncir di sini justru merupakan petunjuk paling penting yang secara tegas (significant) tentang inovasi selain pengaruh India yakni Kamboja. Pemakaiannya mendominasi aksara-aksara prasasti-prasasti yang ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali bahkan menjadi ciri khas hingga ke masa Singhasari-Majapahit. Di Asia Tenggara Daratan tanda kuncir dikenal oleh hampir serempak pada aksara-aksara yang berkembang di Asia Tengara Daratan seperti Campa, Birma, Kamboja juga Muangthai (Siam), kecuali Filipina. Tetapi tidak ada di India. Maka dikatakan bahwa tapak walas aksara di Nusantara atau Dwipantara tiada terlepas landasan pengetahuan setempat (Kartakusuma 2003).
Aksara adalah seni yang merupakan bagian dari sejarah kesenian bahwa seni adalah kegiatan yang terjadi oleh proses “cipta-rasa-karsa” tidak sama tetapi tidak seluruhnya berbeda dengan science dan teknologi, maka cipta dalam bidang kesenian mengandung pengertian terpadu antara kreativitas (invention) dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa (emotion, feeling) (Bandem 1981; Sedyawati 1994) Namun logika, daya nalar, mengimbangi emosi dari waktu ke waktu dan kadang-kadang dalam kadar cukup tinggi; rasa, timbul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa; tetapi karsa bersifat personal atau kolektif, tergantung dari lingkungan.
Kesenian berkaitan dengan bahasa, organisasi sosial, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem kepercayaan dan sistem pengetahuan. Penampilan ekspresif kesenian yang berhubungan erat dengan kebudayaan adalah aksara yang pada masa lalu dinyatakan melalui alat gores, alat pahat atau dengan gambaran-gambaran tertentu. Aksara sebagai salah sebuah karyaseni berkembang selaras kreativitas zaman, sehingga tiap-tiap jenis dan gaya aksara tampak memiliki keunikan zaman dimana individu/kelompok masyarakat pemangku budaya itu hidup.
—tulisan ini dipindahkan dari artikel aksara—