Sadako Sasaki

Revisi sejak 7 September 2012 15.59 oleh ZéroBot (bicara | kontrib) (r2.7.1) (bot Menambah: ta:சடாகோ சசாகி)

Sadako Sasaki (佐々木 禎子, Sasaki Sadako, 7 Januari 194325 Oktober 1955) adalah gadis Jepang yang masih berumur dua tahun ketika bom atom dijatuhkan tanggal 6 Agustus 1945, di dekat rumahnya di sekitar jembatan Misasa, Hiroshima, Jepang. Sadako dikenang akan kisahnya yang mencoba melipat seribu bangau kertas (千羽鶴, Senbazuru) menjelang kematiannya; kisah akan harapan yang selalu dikenang dan diangkat dalam budaya populer.

Berkas:Sadako Sasaki 2008 01.JPG
Patung untuk mengenang Sadako Sasaki di Hiroshima.

Riwayat

Sadako berada di rumahnya saat ledakan terjadi, sekitar satu mil dari Ground Zero. Bulan November 1954, leher dan bagian belakang telinga Sadako membengkak. Bulan Januari 1955, bercak ungu bermunculan di kedua kakinya. Akhirnya, ia didiagnosa menderita leukemia (ibunya menganggap itu sebagai "suatu penyakit akibat bom atom").[1] Ia mulai dirawat di rumah sakit pada tanggal 21 Februari 1955, dan dinyatakan bahwa ia hanya punya sisa hidup—paling lama—sekitar setahun.

Beberapa tahun setelah serangan bom atom, meningkatnya kasus leukemia mulai terlihat khususnya pada anak-anak, dan awal 1950-an telah jelas bahwa leukemia adalah dampak pancaran radiasi bom atom.[2]

Tanggal 3 Agustus 1955, sahabat Sadako, Chizuko Hamamoto datang menjenguknya ke rumah sakit. Chizuko memotong secarik kertas emas agar berbentuk persegi dan melipatnya menjadi burung bangau kertas, berdasarkan suatu cerita kuno dari Jepang bahwa siapapun yang melipat seribu bangau kertas maka permohonannya akan dikabulkan oleh para dewa. Menurut versi terkenal dari kisah tersebut, Sadako merasa tak mampu mencapai jumlah 1.000, sehingga ia hanya mampu melipat sampai 644 sebelum meninggal, dan teman-temannya melanjutkan usahanya sampai genap berjumlah 1.000 lalu mereka menguburkan semuanya bersama Sadako. Versi ini diambil dari buku Sadako and the Thousand Paper Cranes. Menurut eksibisi yang berada di Museum Monumen Perdamaian Hiroshima dinyatakan bahwa akhir bulan Agustus 1955, Sadako berhasil mewujudkan cita-citanya dan melipat bangau kertas lebih banyak lagi.

Sadako kekurangan kertas meskipun punya banyak waktu luang selama di rumah sakit. Ia menggunakan kertas obat atau kertas apapun yang didapatkannya, termasuk ke kamar pasien lainnya untuk meminta kertas dari bingkisan para pembesuk. Chizuko juga membawa kertas dari sekolah untuk digunakan oleh Sadako.

Selama dirawat di rumah sakit, kondisinya semakin memburuk. Sekitar pertengahan Oktober, kakinya membengkak dan berubah warna menjadi ungu. Setelah keluarganya memaksanya untuk makan, Sadako meminta nasi yang dicampur teh dan berkata "rasanya enak" yang merupakan kata-kata terakhirnya. Dengan keluarga di sekelilingnya, Sadako meninggal di pagi hari tanggal 25 Oktober 1955 pada usia 12 tahun.

Peringatan

Setelah kematiannya, para teman sekelas dan sahabat Sadako menerbitkan kumpulan surat untuk menggalang dana demi pembangunan suatu monumen untuk mengenangnya dan seluruh anak yang meninggal dunia karena dampak bom atom. Tahun 1958, sebuah patung Sadako yang memegang burung bangau emas dipajang di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima, yang juga disebut Genbaku Dome. Di kaki patung ada plakat yang berbunyi sebagai berikut:

これはぼくらの叫びです これは私たちの祈りです 世界に平和をきずくための
(Kore wa bokura no sakebi desu. Kore wa watashitachi no inori desu. Sekai ni heiwa o kizuku tame no.)
"Ini adalah seruan kami. Ini adalah doa kami. Untuk membangun kedamaian di dunia."

Patung Sadako juga terdapat di Taman Perdamaian Seattle. Sadako telah menjadi simbol dampak perang nuklir. Sadako juga merupakan pahlawan wanita bagi para gadis di Jepang. Kisahnya dituturkan di beberapa sekolah di Jepang saat peringatan serangan bom atom di Hiroshima. Sebagai dedikasi untuknya, rakyat Jepang memperingati tanggal 6 Agustus sebagai Hari Perdamaian.


Galeri

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Sasaki Fujiko. "Come back to me again, Sadako".
  2. ^ Radiation Effects Research Foundation (former Atomic Bomb Casualty Commission) "Leukemia risks among atomic-bomb survivors" Accessed 2011-10-30

Pranala luar