Majelis Rakyat Papua

Revisi sejak 27 September 2012 15.04 oleh Bennylin (bicara | kontrib) (menambahkan Kategori:Papua menggunakan HotCat)

Majelis Rakyat Papua (disingkat MRP) adalah sebuah lembaga di provinsi Papua, Indonesia yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan DPRD. Dalam materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan MRP.

DPRP berkedudukan sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai eksekutif, dan MRP sebagai lembaga representatif kultural orang asli Papua. Sebagai lembaga legislatif, DPRP berwenang dalam melaksanakan fungsi legislatif, yang mencakup legislasi, budgeting (penganggaran), dan pengawasan. Pemerintah provinsi sebagai eksekutif berwenang dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pemberdaya-an masyarakat serta melaksanakan program pembangunan.

Pimpinan

Ketua Umum MRP saat ini [THOMIOS ALBANO BALDA M.Hum, sedangkan wakil ketua umum adalah Ir. Frans A. Wospakrik, M.Sc, mantan rektor Universitas Cendrawasih serta Dra. Hana S. Hikoyabi.

Tugas dan wewenang

Tugas dan wewenang MRP adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRD. Kewenangan yang dimaksud hanya terbatas pada pertimbangan/konsultasi yang terkait dengan masalah "keaslian" bakal calon gubernur sebagai orang Papua dan "moral" dari pribadi yang bersangkutan.
  2. Memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama dengan gubernur. Perdasus diadakan dalam rangka pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang dimaksud seperti Pasal 76 tentang "Pemekaran Provinsi menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta perkembangan di masa datang". Dengan demikian pemekaran wilayah haruslah memperhitungkan faktor adat dan sosial budaya dari orang asli Papua. Hak-hak itu antara lain, hak ulayat, hak dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan potensi sosial budaya sehingga pemekaran tidak menyalahi kesatuan-kesatuan wilayah sosial-budaya dan adat, seperti yang kita temui dalam UU No 45 Tahun 1999 yang asal membedah Papua seperti membagi 'kue tar".
  3. Memberi saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di Tanah Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Hak-hak itu adalah hak ulayat, hak persekutuan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, seperti hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, air serta isinya.
  4. Menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat beragama, dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak-lanjut penyelesaiannya. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menciptakan Papua yang damai sebagai perwujudan dari komitmen semua komponen masyarakat di provinsi ini.
  5. Memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota mengenai hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.