Kupu, Dukuhturi, Tegal

desa di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah


Kupu adalah sebuah desa di kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Indonesia.

Kupu
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenTegal
KecamatanDukuhturi
Kode pos
52192
Kode Kemendagri33.28.13.2002 Edit nilai pada Wikidata
Luas-
Jumlah penduduk-
Kepadatan-

Demografi

Mata pencaharian di Kupu, Dukuhturi, Tegal banyak bergerak di sektor agraris dan sektor ekonomi tersier. Mayoritas penduduk memeluk agama islam

Sarana Prasarana

Sekolah

  • SD Kupu 01
  • SD Kupu 02 Inpres.
  • 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah).
  • MTs Almunawarah Kupu.
  • 1 Sekolah Diniyah

Tempat Ibadah

Aksesbilitas

Transportasi Angkutan Desa Jurusan Tegal - Jatibarang yang rutenya dimulai dari Terminal Tegal - Desa Tunon - Desa Kalinyamat - Desa Dukuhturi - Desa Kupu - Desa Ketanggungan - Desa Gumalar - Desa Besole - dan terakhir ke Jatibarang.

Pertanian

Desa Kupu terbelah menjadi dua bagian oleh aliran sungai Kemiri. Di sebelah barat dikenal dengan sebutan Kupu Kulon dan di sebelah Timur dikenal dengan sebutan Kupu Wetan. Satu sebutan lagi adalah Kupu Dukuh karena letaknya dipisahkan oleh tegalan yang cukup luas dan berada paling timur yang berbatasan dengan Desa Pengarasan.

Pada tahun 80-an, pertanian di Desa Kupu cukup maju. Dari hasil pertanian seperti bawang merah, cabai, padi telah meningkatkan taraf hidup masyarakat petani. Bahkan nilai jual atau sewa tanah pada waktu itu boleh dibilang tinggi karena banyak dari desa-desa lain seperti Sidakaton dan Sidapurna banyak yang menggarap lahan di Desa Kupu. Hal ini pula didukung oleh irigasi yang tertata rapi sehingga di saat musim kemarau tidak kekurangan air. Selain itu adanya kelompok tani dimana setiap hari ada mantri pertanian yang berkunjung ke sawah-sawah untuk memberikan penyuluhan.

Pada waktu itu juga banyak perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanian seperti obat-obatan, pupuk sampai alat-alat pertanian yang mengadakan pertemuan dengan para kelompok tani dalam rangka promosi/uji coba seperti penggunaan pestisida untuk hama ulet, penyubur tanaman salah stau produknya adalah N-Fix, benih padi dll banyak yang diujicobakan di persawahan desa Kupu. Bukan hanya itu saja, pernah dari siswa SMA dari Kalimantan pernah mengadakan PKL mengenai bercocok tanam bawang. Kurang lebih selama sebulan terjun mencari solusi untuk diterapkan di tanah Kalimantan yang katanya kondisi tanahnya berpasir.

Kemudian pada pertengahan tahun 1990-an, pernah ada tim peneliti dari PBB yaitu WHO yang diketuai/ anggotanya pada waktu, salah satunya yaitu Ir. Misha Kishi dari Jepang yang mengadakan penelitian terkait penggunaan pestisida bagi para petani. Perlu diketahui bahwa sejak adanya pestisida dalam produk pertanian Indonesia, ekspor hasil pertanian keluar negeri menurun drastis dikarenakan banyak negara tujuan eskpor menolak produk pertanian Indonesia yang mengandung pestisida. Pestisida sendiri adalah bahan kimia yang apabila dikonsumsi secara terus menerus akan membahayakan kesehatan dan mengakibatkan kanker.

Dengan dasar itulah WHO mengadakan penelitian di berbagai daerah di Seluruh Indonesia termasuk di Desa Kupu. Beberapa orang petani diwawancarai mengenai akibat bersentuhan langsung dengan pestisida. Ditemukan kasus yang pernah di liput oleh RCTI yaitu kasus Bapak Wajad yang mengalami kelumpuhan yang diakibatkan oleh pestisida. Selain itu beberapa petani yang lain ada juga yang merasakan penglihatannya mulai berkurang akibat seringnya terkena semprotan pestisida. Umumnya, keluhan yang sering dirasakan oleh para petani akibat penggunaan pestisida adalah pusing-pusing, mual-mual dan ada juga yang mengalami muntah-muntah.

Sejak adanya penelitian dari WHO, kondisi pertanian di Desa Kupu mengalami penurunan hasil panen. Banyak faktor yang menyebabkan menurunnya hasil pertanian diantaranya adalah dikuranginya zat-zat yang ada dalam pestisida dan pupuk serta kondisi tanah yang telah tercemar oleh racun pestisida sehingga unsur hara yang terkandung dalam tanah menjadi kurang subur. Hal ini tentu mengakibatkan tingkat kesuburan tanah dan tentunya berakibat pada tanaman yang ditanam. Selain itu tidak teraturnya musim tanam, artinya bahwa yang seharusnya musim tanam padi, masih ada saja petani yang menanam palawija, bawang dan lain-lain sehingga memudahkan hama untuk berkembang biak.

Ditambah lagi kondisi pengarian yang rusak akibat tidak dirawat dan telah dimakan usia sehingga disaat musim hujan banyak limpahan air yang sering menggenangi sawah dan sebaliknya di saat musim kemarau terjadi kekurangan air. Perlu diketahui pula bahwa disaat musim kemarau banyak warga khususnya para petani di desa Ketanggungan dan desa Kupu serta mungkin desa-desa lain merasakan susahnya mendapatkan suplai pengairan untuk mengairi ladang/sawah mereka.

Kondisi saluran air dari Desa Gumalar, Ketanggungan sampai ke Kupu mengalami kerusakan dan pendangkalan karena banyak tumpukan sampah bercampur lumpur sempanjang aliran. Bahkan kondisi ini diperparah dengan tidak terawatnya pintu air karena hilang dicuri orang. Suplai air yang diperoleh dari pintu air Desa Lumingser tidak dapat memenuhi kebutuhan pengairan sawah yang ada di desa Ketanggungan dan desa Kupu sehingga disaat kemarau banyak petani yang menggunakan Diesel untuk menyedot air tanah sebagai solusi pengairan sawah mereka.

Dahulu pernah ada proyek pemerintah yaitu menyediakan mesin diesel untuk mengatasi masalah pengairan, namun proyek tersebut tidak berjalan dengan semestinya karena kondisi mesin yang tidak bisa tertahan lama dan akhirnya rusak. Sampai sekarang diesel beserta bangunannya sudah tidak ada lagi, hanya menyisakan pipa sumur air yang masih tertanam dalam tanah.

Memprihatinkan memang kondisi pertanian masyarakat desa Kupu. Petani selalu dirugikan dan tidak pernah untung. Disaat panen, hasil panen mereka harganya rendah bahkan untuk balik modal saja tidak cukup. “Gemah ripah loh jinawi” apakah pantas disandang oleh bangsa ini jika kondisi pertanian kita begini? Bagaimana hasil pertanian kita bisa bersaing dengan negara lain kalau sistem pengairannya juga amburadul? Penduduk di desa banyak pemuda yang enggan terjun ke dunia pertanian, mereka lebih memilih bekerja di Jakarta. Mungkin kondisi yang sama juga melanda desa-desa yang lain. Diperkirakan 15-20 tahun mendatang banyak tanah sawah yang menganggur tidak bisa ditanami karena tiadanya sumber air. Sekarang saja banyak pemilik sawah yang sengaja menelantarkan sawahnya karena tidak adanya modal untuk mengolah, ditambah lagi kondisi pengairan yang sangat memprihatinkan.

Saat ini, hamparan sawah di Desa Kupu seakan-akan hidup segan mati tak mau. Kondisi jalan sawah sudah mulai rusak, sarana jembatan yang menghubungkan dengan Kapubaten Brebes (desa Lembarawa) juga rusak ditambah para pemilik sawah yang tidak lagi mampu mengelola sawahnya.

Pada tahun 2008 ada kabar bahwa akan ada mega proyek jalan Tol Pejagan-Pemalang (Bakrie Group) yang dalam site plannya pintu masuk melalui Desa Kupu tepatnya di perbatasan sawah antara Desa Sidakaton Dukuh, Lembarawa dan Desa Kupu. Namun sampai saat ini proyek yang sempat santer terdengar kini nyaris tidak terdengar lagi padahal tahap pemetaan/ pematokan sudah dimulai. Namun kini patok-patok yang sudah dilakukan oleh pemerintah/ Bakrie Grup kini telah hilang dicabut oleh masyarakat setempat karena sampai saat ini belum ada kejelasan penggantian tanah yang terkena proyek jalan tol tersebut.

Tiga sungai terbesar di Wilayah Tegal adalah Kali Gung, Kali Ketiwon dan Kali Kemiri. Apabila ditelusuri sumber air dari Kali Kemiri berasal dari cabang kali-kali kecil yang kemudian menyatu dengan Kali Kemiri. Anak sungai Kemiri dapat dilihat dari pertigaan sungai yang disebut Sarajiwa/Surajiwa (perbatasan Sidapurna, Sidakaton, Kupu) dan di Desa Gumalar berlanjut sampai Desa Lumingser masih terlihat jelas melalui googlemap. Dari Desa Gumalar genangan air sungai belum mulai tampak, hanya terlihat aliran kecil dan masih terlihat batu kali dan cadas/wadas. Genangan air mulai terlihat di perbatasan antara Desa Gumalar dan Ketanggungan sampai ke Pintu Air Sidapurna atau masaraka sekiar menyebutnya dengan nama Pintu Seng.

Di Desa Kupu terdapat sebuah jembatan yang melintasi Kali Kemiri. Jembatan tersebut dulu waktu zaman penjajahan Belanda dikenal dengan sebutan “Brug Ireng”. Penamaan “Brug Ireng” konon menurut cerita orang-orang dahulu jembatan itu berwarna hitam (di cat hitam) dan informasi mengenai penamaan “brug ireng” penulis sendiri belum pernah mendengar versi lain selain sebutan itu. Bila melihat pondasi yang ada, dahulu jembatan tersebut terbuat dari kayu jati. Sampai saat ini di bawah jembatan masih terlihat (orang tegal bilang) “jongos”, yaitu glondongan kayu jati yang masih tertanam kokoh seperti berbentuk pondasi jembatan.

Sekitar Tahun 1980-an jembatan mulai rusak dan bertepatan juga dengan masuknya Sutet (Saluran Udara Ekstra Tinggi) yaitu aliran listrik Jawa-Bali yang melintasi di Kupu, maka sekitar tahun 1982 dibangunlah jembatan yang sampai sekarang kita lewati bersama. Dengan wajah yang baru, jembatan ini tidak berwarna hitam lagi sehingga tidak ada penamaan yang jelas. Meskipun demikian, orang-orang masih ada yang menyebutkan “Brug Ireng” meskipun warnanya sudah tak hitam lagi dan orang-orang mulai mengganti dengan nama sebutan “Brug Santo”.

Sejak pertama kali berdiri, jembatan di cat berwarna kuning. Maklumlah waktu itu Soeharto yang lagi berkuasa dan waktu itu pula seluruh perangkat desa di bawah naungan kuningnya beringin maka tak heran segala yang berbau pembangunan di cat berwarna kuning. Pernah juga di cat berwarna hitam, hal ini mungkin untuk mengingatkan identitas bahwa sebenarnya jembatan ini yang dulu dikenal oleh banyak orang adalah “brug ireng”, namun tak berlangsung lama kemudian di cat lagi berwarna kuning. Sebutan warna “Brug Ireng” kini sudah tidak populer dulu lagi, kini masyarakat khususnya bagi generasi sekarang lebih memilih menyebut dengan nama “Brug Santo”.

Mengapa dinamakan “Brug Santo”? Bagi msyarakat Desa Kupu, pasti banyak yang mengenal Bapak Santo. Dia adalah “sang penunggu” jembatan. Tingalnya persis di sebelah kanan (dari timur) perempatan dengan membuka kios dagangan sembako (dulu) dan sekarang kiosnya dijadikan bengkel. Dahulu kios tokonya Bapak Santo paling rame dan sering dijadikan “tongkrongan” dan boleh dibilang perempatan tak pernah ada sepinya.

Saking seringnya orang menyebut nama “Brug Santo” sebagai tempat nongkrong, tempat menunggu angkutan atau tempat bermain, maka lama-kelamaan nama yang dulu dikenal dengan sebutan “Brug Ireng” perlahan-lahan mulai menghilang bahkan jarang terdengar lagi. Kini bila orang jauh menanyakan tentang Desa Kupu atau alamat orang Kupu, maka “Brug Santo” sering dijadikan patokan atau ancer-ancer dan tentunya hal ini sangat memudahkan pencarian alamat atau orang yang dimaksud.

Inilah secuil cerita tentang penamaan “Brug Santo” yang merupakan jembatan yang ada di Desa Kupu yang menghubungkan antara Kupu Kulon dan Kupu Wetan. Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa sejarah penamaan suatu tempat tentu ada sesuatu yang melatarbelakanginya baik itu berasal dari orang atau peristiwa-peristiwa tertentu sebagaimana cerita tentang penamaan “Brug Ireng” yang berubah menjadi “Brug Santo”. Kira-kira pada tahun 2007, salah satu pondasi penyangga "Brug Santo" roboh akibat diterjang derasnya arus air pada waktu musim penghujan.

KONDISI DESA KUPU DISAAT DITINGGALKAN SEPARUH WARGANYA

Pada tahun 2011 jumlah penduduk masyarakat desa Kupu Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal berjumlah ± 6.000 (enam ribu) jiwa. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mata pencaharian masyarakat Desa Kupu salah satunya adalah para pedagang Wartegan yang merantau di Jabodetabek. Kini masyarakat yang berprofesi menjadi petani sudah dapat dihitung dengan jari, mereka telah meninggalkan profesi sebagai petani lantaran sudah banyak yang jatuh bangkrut karena selalu merugi dan merugi bahkan lahan sawahpun banyak yang sudah berpindah tangan. Kalaupun masih memiliki, sawahnya disewakan ke orang lain dengan nilai sewanya hanya kisaran ratusan ribu per tahun. Hampir 40 persennya masyarakat desa Kupu adalah perantau, maka tidak heran banyak rumah-rumah yang “suwung” (rumah yang tidak berpenghuni) dan akan ada penghuninya lagi pada saat-saat mudik lebaran. Itupun tidak semua anggota keluarganya mudik. Kalaupun ada penghuninya, paling-paling dihuni oleh 2 atau tiga orang dan umumnya adalah orang tua (nenek-kakek) dan cucunya yang tinggal bersamanya. Boleh dipilang penduduk desa Kupu dalam satu keluarga inti (dalam satu rumah) pasti ada yang merantau. Meskipun banyak masyarakat yang merantau, kondisi Desa Kupu masih tertinggal jauh dengan desa-desa di sekitarnya. Kurangnya fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung kemajuan sebuah desa terutama perputaran ekonomi masyarakat desa. Jika melihat desa-desa lain seperti Sidakaton, Sidapurna, Dukuhturi, Ketanggungan dll meskipun masyarakatnya sama-sama perantau, namun kondisi desa-desa tersebut telah lebih maju dalam hal penyediaan fasilitas-fasilitas yang memacu perkembangan sebuah desa (selain Puskesmas Kupu dan Pasar Kupu). Di desa-desa tetangga sudah ada fasilitas tenaga medis seperti bidan, dokter umum, fasilitas internet, bengkel motor, pom bensin mini, pengisian air isi ulang, penyewaan CD/Komik/rental PS, dan pusat-pusat perbelanjaan skala kecil (pasar dan toko-toko) sebagai sarana perputaran ekonomi di desa dan tersedianya sarana transportasi (angkutan desa) dalam menunjang perpindahan barang dan jasa. Coba tengok saja kondisi desa Kupu sekarang, fasilitas yang dikelola swasta (pribadi) dari mulai fasilitas internet belum tersedia, bidan praktek belum ada, praktek dokter umum (baru ada tapi belum menunjukkan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan masyarakat setempat), pom bensin mini belum tersedia, tempat penyewaan CD/Komik/rental PS juga belum tersedia, dan pusat-pusat perbelanjaan juga masih sedikit sehingga para pembeli sering dikenakan harga yang tinggi karena merasa tidak ada saingan. Harga Aqua gallon yang umumnya dipasaran seharga Rp.13.000 dijual menjadi Rp.15.000 ribu. Sebelumnya pernah ada di beberapa blok terdapat toko kelontongan yang boleh dibilang cukup komplit untuk menyediakan berbagai kebutuhan, namun karena daya beli masyarakat yang menurun maka banyak toko kelontongan yang tutup karena tidak adanya perputaran uang dari masyarakat setempat. Faktor utamanya pada waktu itu adalah karena kondisi pertanian yang terpuruk. Hal ini sangat berpengaruh sekali terhadap kondisi perekonomian di wilayah desa Kupu. Pada tahun 80-90 an kondisi pertanian di desa Kupu boleh dibilang mengalami kemajuan yang cukup pesat dari hasil pertanian bawang merahnya, yang kemudian di susul dengan hasil panen cabe merah, kedelai dan padi. Waktu itu harga bawang bisa disetarakan dengan harga emas. Harga bawang merah pernah mencapai harga tertinggi Rp. 15 ribu rupiah per kilo. Lumayan bukan? Dan pada saat harga bawang merah anjlok pernah mencapai harga terendah Rp. 50 rupiah per kilo. Melihat kondisi pertanian yang dari tahun ke tahun baik dari segi produksi maupun harga jual selalu menurun dan petani selalu merugi, berpengaruh terhadap perekonomian karena daya beli masyarakat desa Kupu juga ikut menurun. Hal demikian telah banyak warga desa Kupu yang beralih profesi dari petani mencoba menjadi pedagang Warteg di Jakarta. Melakoni usaha ini juga ada juga yang berhasil dan banyak pula yang bangkrut. Salah satu ciri desa/daerah yang maju adalah tersedianya berbagai fasilitas dan banyaknya aktifitas sebagai dampak dari banyak munculnya fasilitas-fasilitas yang mampu secara mandiri memenuhi kebutuhannya sendiri. Berkembangnya sebuah desa tidak terlepas dari tingkat perekonomian masyarakat di suatu wilayah. Tingkat kemajuan yang dicapai setiap desa tidaklah sama. Banyak faktor yang mempengaruhi terhadap tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu desa, yaitu : 1.Potensi desa, yang mencakup potensi sumber daya alam, potensi penduduk warga desa beserta apartat desanya. 2.Adanya interaksi antara desa dengan kota atau rural interaction, mencakup di dalamnya perkembangan komunikasi dan lalu lintas. 3.Lokasi desa terhadap daerah-daerah disekitarnya. Suatu desa dapat dikatakan sebagai desa yang maju yaitu ketika desa tersebut sudah mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Hal ini ditandai dengan kemampuan masyarakatnya untuk mengadakan interaksi dengan masyarakat luar, melakukan tukar-menukar barang dengan wilayah lain (fungsi perdagangan) dan kemampuan untuk saling mempengaruhi dengan penduduk di wilayah lain. Dari hasil interaksi tersebut, masyarakat dapat menyerap teknologi baru untuk memanfaatkan sumberdayanya sehingga proses pembangunan berjalan dengan baik. Desa Kupu yang secara administratif merupakan wilayah yang masuk dalam Kabupaten Tegal dan merupakan daerah agraris (pertanian), namun hampir semua penduduknya telah meninggalkan profesi sebagai petani. Dengan ditinggalkannya sawah sebagai tempat bercocok tanam, maka banyak sawah yang terlantar. Beralihnya profesi sebagai pedagang Warteg tentu akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian desa. Disaat mudik lebaran, terasa ada aktivitas penduduk karena adanya transaksi-transaksi ekonomi. Coba bayangkan apabila dalam satu orang membawa uang dari Jakarta minimal 2 juta, maka dari separuhnya jumlah penduduk desa Kupu minimal setengahnya dari uang yang didapat dari hasil merantau untuk dibelanjakan di daerah. Maka jika melihat hal demikian, tentu kondisi di desa terasa hidup karena adanya perputaran ekonomi yang sangat cepat dan hal ini tentu akan sangat perpengaruh terhadap kemajuan suatu desa. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, setelah itu desa kembali sepi bagaikan desa mati yang tak ada aktivitasnya karena ditinggalkan separuh dari warganya untuk mengadu nasib di Jakarta. Kondisi seperti ini mungkin juga sama dengan kondisi desa-desa di Indonesia yang warganya perantau. Meminjam konsep “Balik Ndeso Mbangun Ndeso” apabila dapat diterapkan pada setiap masing-masing daerah, niscaya kemajuan desa akan diperoleh dan predikat desa tertinggal akan ditinggalkan.

PUSKESMAS KUPU LULUS AKREDITASI TINGKAT JAWA TENGAH DI BIDANG PELAYANAN (Sumber Radar Tegal)

DI tengah maraknya cibiran dan sindiran miring terkait pola pelayanan puskesmas diberbagai pelosok desa, seakan mampu dijawab melalui peningkatan pelayanan prima oleh puskesmas Kupu yang ada diareal Kecamatan Dukuhturi. Meski saat ini berstatus bukan sebagai Puskesmas Inti alias hanya sebagai puskesmas II, tidak membuat semangat pengabdian personil kendur.

Pemerintah Kabupaten Tegal telah menunjuk Puskesmas Kupu sebagai duta dari 5 puskesmas lainnya diwilayah Kabupaten Tegal untuk maju dalam proses akreditasi tingkat Provinsi Jawa Tengah. Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk mengubah pola kerja personil menuju profesional guna mendukung pola pelayanan terbaik bagi masyarakat. Menurut Kepala Puskesmas Kupu, M Amin Maskur SKM didampingi ketua akreditasi Misroyo mengakui, untuk mengubah pola kerja personil menuju Standart Operasional Prosedur (SOP) telah dirintisnya sejak tahun 2009 silam. "Kami pun sempat mendapat bimbingan dari Balai Pelatihan Kesehatan dan diberi semacam instrumen yang harus diisi sebagai pendukung Standart Operasional Prosedur. Jadi pada saat itu kami dituntut belajar sekaligus berbuat". Lewat beberapa kali pertemuan melalui pembinaan itulah akhirnya terbentuk tujuh kelompok kerja atau pokja. Ketujuh kelompok kerja itu meliputi pokja pelayanan masyarakat, pokja administrasi, pokja kesehatan ibu dan anak, pokja pemberantasan dan pencegahan penyakit, pokja kesehatan lingkungan, pokja promosi kesehatan, dan pokja gizi. "Induk dari semua pokja itu ada di bagian administrasi. Dan disetiap kegiatan masing-masing pokja diharuskan ada SOP-nya," terang keduanya. Berangkat dari kemauan keras semua person yang ada, membuat Puskesmas Kupu menjadi satu-satunya puskesmas ke II yang dipercaya pemkab untuk mewakili Kabupaten Tegal diajang akerditasi tingkat Jawa Tengah. Hal ini bisa dilihat dari 5 puskesmas, 4 diantaranya merupakan puskesmas Inti. Puskesmas yang dimaksud adalah Puskesmas Talang, Adiwerna, Slawi, dan Tarub. "Secara bertahap kami mulai memberlakukan penerapan penilaian kinerja di masing-masing pokja dengan melakukan kriteria secara periodik disertai monitoring untuk mengetahui pencapaian target. Kepuasan pelanggan menjadi cambuk kami untuk lebih meningkatkan pola pelayanan selanjutnya," tegasnya. Dan diakuinya, dari penilaian yang sempat dilakukan pihak Provinsi Jawa Tengah dipertengahan Juni 2012 lalu berembus angin segar bahwa standarisasi Puskesmas Kupu dinyatakan lulus. Terpisah plt Kabag Tata Usaha Puskesmas Kupu, Suranto tak menampik ditengah upaya membudayakan pelayanan prima pada masyarakat, masih ditemui kendala terkait keterbatasan sarana dan prasarana yang ada sekarang. "Kondisi yang ada sekarang kami masih kekurangan lokal untuk mendukung pola pelayanan di laboratorium. Minimal harus ada tambahan satu lokal agar pola pelayanan antara administrasi dan pemeriksaan pasien tidak bercampur disatu ruangan," tuturnya. Dengan pola pelayanan yang bersahabat, tak heran setiap harinya puskesmas ini selalu dibanjiri warga yang tersebar di 7 desa masing-masing Kupu, Ketanggungan, Pengarasan, Lawatan, Sidakaton, Sidapurna, dan Dukuhturi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang diinginkannya. Selain cepat, pola pelayanannya pun terkesan ramah membuat pasien merasa seperti dirumah sendiri.

(Imam Bukhori, 8-4-11 / 7-9-11)