Holisme

Pemikiran yang menyatakan bahwa segala sesuatu harus dipandang sebagai satu kesatuan, bukan sekadar kumpulan bagian-bagian yang terpisah.
Revisi sejak 18 November 2012 14.11 oleh Kembangraps (bicara | kontrib)


Holisme adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan kebahasaan, serta segala kelengkapannya harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan bukan merupakan kesatuan dari bagian-bagian yang terpisah. Sistem alam tidak dapat dipahami apabila kita mempelajarinya dengan cara memisahkan bagian-bagiannya: sistem harus dipelajari secara utuh sebagai suatu kesatuan.

Kata "holisme" pertama kali diperkenalkan pada tahun 1926 oleh Jan Smuts, seorang negarawan dari Afrika Selatan, dalam bukunya yang berjudul Holism and Evolution. Asal kata "holisme" diambil dari bahasa Yunani, holos, yang berarti semua atau keseluruhan. Smuts mendefinisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk sesuatu yang utuh sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekedar gabungan-gabungan bagian hasil evolusi.

Gagasan tentang holisme memiliki akar sejarah dari masa lampau. Contoh holisme dapat ditemukan di sepanjang sejarah manusia dan dalam konteks sosial budaya yang paling beragam ditegasakan melalui banyak studi etnologi. Seorang misionaris dari Prancis, Maurice Leenhardt, mencetuskan istilah cosmomorfisme untuk mengindikasikan adanya hubungan timbal-balik yang sempurna antara seseorang dengan lingkungannya. Hal tersebut ditemukan pada masyarakat Melanesia di Kaledonia Baru. Untuk masyarakat di daerah tersebut, seorang individu yang terisolasi tidak memiliki status yang jelas samapai dia menemukan posisinya di lingkungan tersebut. Mengenali individu tersebut bukan berarti dapat mengenal kebudayaan di mana individu tersebut berada. Meskipun begitu, konsep holisme memegang peranan yang penting dalam filsafat Spinoza, Hegel, serta menurut Husserl.

Lawan dari holisme adalah reduksionisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa suatu sistem yang kompleks dapat dijelaskan dengan cara mempelajari hal-hal yang menjadi dasar sistem tersebut (reduction). Misalnya, suatu proses biologis dapat dijelaskan melalui proses kimiawi. Lalu proses kimiawi tersebut dapat diterangkan melalui proses fisika. Akibatnya, proses fisika dapat menjelaskan proses kimiawi yang menjadi dasar terjadinya proses biologis.

Nicholas A. Christakis, seorang ilmuwan dalam bidang sosial dan fisika, menyatakan bahwa dalam beberapa abad terakhir, proyeksi Cartesius dalam ilmu pengetahuan berhasil memisahkan suatu permasalahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan tujuan untuk memperoleh suatu pemahaman. Dan hal tersebut berhasil dalam batasan-batasan tertentu. Namun, menyatukan kembali bagian-bagian kecil tersebut untuk memahaminya sebagai suatu kesatuan yang utuh lebih sulit untuk dilakukan. Hal tersebut akan terjadi di kemudian hari terutama dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan.