Aceh

provinsi di Pulau Sumatera, Indonesia

Nanggröe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan propinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di bagian Utara, Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Nanggroe Aceh Darussalam
Berkas:Lambang Nad.jpg
Lambang NAD
Motto: "Pancacita"
(Bahasa Sansekerta): "Lima Cita-Cita”
Berkas:Lokasi NAD.jpg
Hari Jadi:
Ibukota:Banda Aceh (Dahulu Kotaraja)
Gubernur:Abdullah Puteh
Wilayah
 - Total:

55.390 km²
Daerah Tingkat II
 - Jumlah:

17 Kabupaten dan 4 Kotamadya
Penduduk
 - Total:
 - Kepadatan:

+/- 4.500.000
80/km²
Suku Bangsa:Orang Aceh, Orang Gayo, Orang Alas, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Jawa dll.
Agama:Islam
Bahasa:Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia, dll.
Zona Waktu:(WIB)
Lagu Kedaerahan:Bungong Jeumpa, Piso Surit
Berkas:Aceh.jpg
Peta Aceh

Kondisi dan Sumber Daya Alam

Kondisi Alam

Keanekaragaman Hayati

Sumber Daya Alam

Potensi Daerah

Sosial Kemasyarakatan

Suku Bangsa

Provinsi NAD terdiri dari Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Jawa, dll.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia

Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyakya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya

Agama

Mayoritas penduduk di provinsi NAD memeluk agama Islam. Selain itu provinsi NAD memiliki keistimemawaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.

Pendidikan

Dalam hal pendidikan, sebenarnya propinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban.

Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) terakhir, yaitu pada tahun 2005, ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.

Permasalahan Sosial

Gerakan Aceh Merdeka

Aceh hingga kini masih didera konflik berkepanjangan yang disebabkan keinginan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin memisahkan Aceh dari Indonesia.

Penerapan Darurat Militer di Aceh

Pemerintahan

Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan kota dan 17 kabupaten

  1. Aceh Barat
  2. Aceh Barat Daya
  3. Aceh Besar
  4. Aceh Jaya
  5. Aceh Selatan
  6. Aceh Singkil
  7. Aceh Tamiang
  8. Aceh Tengah
  9. Aceh Tenggara
  10. Aceh Timur
  11. Aceh Utara
  12. Bener Meriah
  13. Bireuen
  14. Gayo Lues
  15. Nagan Raya
  16. Pidie
  17. Simeulue
  18. Banda Aceh, kota
  19. Langsa, kota
  20. Lhokseumawe, kota
  21. Sabang, kota

Daftar Gubernur

No. Periode Nama Gubernur Keterangan
1 1945 - 1946 Teuku Nyak Arif
2 1947 - 1948 Teuku Daud Syah
3 1948 - 1951 Daud Beureuh Gubernur Militer
4 1951 - 1952 Danu Broto
5 1952 - 1953 Teuku Sulaiman Daud
6 1953 - 1955 Abdul Wahab
7 1955 - 1956 Abdul Razak
8 1957 - 1964 Prof. Dr. Ali Hasyimi
9 1954 - 1966 Nyak Adam Kamil
10 1966 - 1967 H. Asbi Wahidi
11 1968 - 1978 A. Muzakir Walad
12 1978 - 1981 A. Madjid Ibrahim
13 1981 - 1986 Hadi Thayeb
14 1986 - 1991 Prof. Dr. Ibrahim Hassan
15 1991 - 1993 Prof. Dr. Ibrahim Hassan
16 1993 - 1998 Syamsudin Mahmud
17 1998 - 2005 Abdullah Puteh Nanggroe Aceh Darussalam
18 2005 - 2009 Pjs Azwar Abu Bakar

Perekonomian

Tenaga Kerja

Pertanian & Perkebunan

Hutan & Ikan

Industri

Wisata

Jasa

Energi

Pertambangan

Transportasi

Komunikasi

Ekspor & Impor

Keuangan & Perbankan

Seni dan Budaya

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. NAD mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti

  • Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
  • Tradisi Meuseukee Eungkot (wilayah Aceh Barat)
  • Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)

Musik

Tarian

  • Tari Seudati
  • Tari Saman
  • Rapai Geleng
  • Rateb Meuseukat

Literatur

Makanan Khas

Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik dan muskat yang langka. Disamping itu emping melinjo asal Bireuen, dodol coklat asal Sabang serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi NAD.

Sejarah

Under Dutch rule, the Acehnese began to forge cooperation with other areas in Indonesia and were involved in various national and political movements. The Islamic merchant organization Serikat Islam, established in Surakarta in 1912, came to Aceh about 1917. This was followed by Muslim social organization Muhammadiyah in 1923. The organization constructed a Muslim school in Kutaraja, now Banda Aceh, in 1929. And in 1939, the Great Indonesia Party (Parindra) opened a branch in Aceh, becoming the first political party in the area. In the same year, ulema established PUSA, an anti-Dutch organization. And Aceh became increasingly involved in Indonesia's national movement. When the Volksraad, or parliament, was established, Teungku Nyak Arif was appointed the first representative from Aceh. (Nyak Arif was later appointed Aceh's first regent by Indonesia's first governor of Sumatra, Moehammad Hasan). The Acehnese, like many others in Indonesia and Southeast Asia, welcomed Japanese troops when they landed in Aceh on March 12, 1942, because of Japan's promise to free them from the shackles of colonization. But the way Japan ruled Aceh did not differ much from the Dutch. Japan again recruited uleebalang to fill the positions of Gunco and Sunco, or district and subdistrict heads. This angered the ulema, and again deepened the division between the ulema and uleebalang. Rebellions against Japanese rule broke out in a number of areas, including one in Bayu, near Lhokseumawe, in 1942 led by Teungku Abdul Jalil, and in Pandrah, Jeunieb, in 1944.

Lihat Pula

Pranala Luar