Suko Sudarso
Suko Sudarso adalah seorang tokoh politik dan pengusaha Indonesia yang lebih dulu dikenal sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Institut Teknologi Bandung (ITB) era 1960-an.
Suko Sudarso | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | 20 Maret 1942 Kota Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda |
Almamater | Institut Teknologi Bandung |
Sunting kotak info • L • B |
Ia lahir di Semarang dan merupakan anak kedua dari pasangan Raden Sudarso Suryomijoyo (mantan Bupati Purwokerto dan Wedana Semarang hingga akhirnya diangkat menjadi Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah) dan Raden Ayu Tuti Amini. Dari kedua orangtuanya ini Suko mendapat darah kebangsawanan Surakarta. Ayahnya adalah keturunan langsung Surahadimenggala I (Bupati ke-10 Semarang sekaligus menantu dari Sri Paduka Mangkunagara I). Nama keluarga Surahadimenggalan yang merupakan keturunan langsung Ki Ageng Pandan Arang I (Bupati pertama Semarang, putra Sultan Demak Adipati Unus) dikenal harum di Semarang sebagai simbol perlawanan pada penjajah saat Perang Jawa. Sedangkan ibunda Suko adalah keturunan langsung dari Surowignyo, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro yang kemudian menjadi bupati pertama Blitar.
Kakak kandung Suko satu-satunya, Raden rara Sri Kusmaning Purwati, menikah dengan Letda.TNI.drg.Raden Djoko Soedibyo Sajjid (mantan Kepala Direktorat Gigi Kementerian Kesehatan Indonesia yang juga salah satu pejuang sentral pertempuran 10 November dan adik dari Guru Besar Kedokteran gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof.drg.Moerniati Sajjid) yang merupakan putra dari seorang saudagar kaya Surabaya dan pendiri Yayasan Pendidikan Mardi Putera, Raden Mohammad Sajjid.
Barisan Soekarno
Suko yang merupakan alumni Teknik fisika ITB ini adalah salah satu tokoh sentral mahasiswa Indonesia pada masa transisi orde lama ke orde baru. Ketika terjadi pergolakan massa mahasiswa secara besar-besaran untuk menumbangkan pemerintahan Presiden Soekarno, ia konsisten untuk berdiri di samping Soekarno hingga akhir kekuasaannya.
Manuver politiknya yang sangat berani pada masa gonjang-ganjing 1966/1967 itu antara lain ialah tampil kedepan sebagai Komandan Barisan Soekarno (duduk sebagai Wakil Komandan adalah Siswono Yudo Husodo), sebuah kekuatan tandingan yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), GMNI dan berbagai elemen nasionalis lain untuk menanggapi gerakan anti Soekarno yang merajalela saat itu. Karena perilaku politiknya yang progressive revolusioner itulah ia sempat merasakan dinginnya penjara Polisi Militer dan mendapat hukuman drop-out (DO) sementara dari bangku kuliah bersama 9 sahabatnya.
Bisnis
Setelah pemerintahan orde baru berhasil mengendalikan situasi nasional, berangsur orang-orang seperti Suko kembali dilirik dan berusaha dirangkul oleh pemerintah. Tercatat dalam sejarah, para sahabat Suko (termasuk Siswono) akhirnya mengisi daftar nama menteri kabinet pemerintahan orde baru. Presiden Soeharto pun berulang kali menawari Suko posisi di kabinetnya, namun Suko tak bergeming dan memilih untuk tetap 'bersuara dari luar'.
Di pertengahan masa orde baru akhirnya tercipta kedekatan antara Suko dan Soeharto, namun bukan dalam hal politik melainkan dalam bidang bisnis. Perusahaan konstruksi Suko sukses mendapatkan berbagai tender strategis dalam pembangunan ibukota Jakarta. Hal ini membuatnya sempat tercatat sebagai salah satu orang dekat keluarga Cendana dan masuk jajaran 10 orang terkaya Indonesia. Salah satu tender yang diberikan Soeharto pada Suko adalah proyek pembangunan jalan tol pertama Indonesia, Jalan Tol Jagorawi.
Sejak akhir 1980-an masyarakat mengenal Suko sebagai pemilik berbagai pusat perbelanjaan modern, Pulau Bidadari (Kepulauan Seribu), Putri Duyung Cottage Ancol, Hotel Pantai Matahari Anyer dan berbagai landmark Indonesia lainnya. Dikisahkan ketika itu keluarga Suko telah memiliki kapal pesiar dan pesawat pribadi sebagai simbol kesuksesan ekonomi mereka.
PDI-Perjuangan
Ketika arus reformasi bergulir, Suko memutuskan untuk kembali mengenakan 'jaket politik'nya. Kiprahnya sebagai Wakil Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDI-Perjuangan (duduk sebagai Ketua Balitbang adalah Kwik Kian Gie) sangat berperan dalam usaha memenangkan partai banteng moncong putih itu pada Pemilu 1999.
Dalam suasana politik yang gonjang-ganjing di tahun 1998, ia mengatur pertemuan Megawati Sukarnoputri dengan Kepala Staf Sosial-Politik TNI, Letjend Susilo Bambang Yudhoyono. Pertemuan berlangsung dalam suasana yang menegangkan di Salemba, kantor sosial-politik ABRI. “Waktu itu pertemuan berlangsung di ruang gelap, semua lampu dimatikan agar tak ada staf yang tahu,” ujar Suko mengenang masa sulit itu.
Pada Sidang Umum MPR 1999 Suko ikut merancang “kelompok pelangi” untuk mendukung Megawati duduk sebagai RI-1. Suko yakin benar bahwa Fraksi TNI yang dipimpin SBY, lebih mendukung Megawati ketimbang Abdurrahman Wahid. Ia sudah mengatur agar Megawati bisa bertemu Akbar Tandjung (Partai Golongan Karya) dan Matori Abdul Djalil (Partai Kebangkitan Bangsa). “Kalau pertemuan ini mulus, maka bergabunglah tiga pilar: TNI, Golkar, dan PKB,” kata Suko. Tapi Mega menolak apabila ada syarat yang diajukan kepadanya. “Wah, hilang muka saya di depan teman-teman,” jelas Suko. Seperti dicatat sejarah, akhirnya Megawati kalah dalam pemungutan suara dari Abdurrahman Wahid.
Suko sempat ditawari Megawati untuk duduk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian RI di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia justru menolak dan mengajukan nama Kwik Kian Gie untuk menduduki jabatan tersebut. Ketika banyak orang berkomentar sinis bahwa sahabatnya itu adalah keturunan Tionghoa, Suko menanggapi singkat, "Saya kenal dia sejak masa sekolah di Semarang. Dia 'Cina', tapi nasionalis Indonesia,". Selain itu Suko juga berperan dalam penunjukan sahabatnya yang lain, Bondan Gunawan sebagai Menteri Sekretaris Negara RI.
Hubungan Suko dengan Megawati retak setelah Suko merasa tidak dibela oleh PDI-Perjuangan dalam kasus dana Bulog yang melibatkan Suwondo dan lainnya di zaman Presiden Abdurrahman Wahid itu. Ia dituding ikut mendapat kucuran dana Bulog yang akhirnya tak terbukti di persidangan dan Suko dinyatakan tidak bersalah sama sekali pada kasus tersebut. Dan kerenggangan hubungan keduanya (Suko dan Megawati) mencapai puncak ketika ia mengajukan konsep pemisahan kepala pemerintahan dan kepala negara saat Megawati menjadi Presiden RI. Ia sarankan Megawati hanya menjadi kepala negara karena tak memiliki pengalaman di birokrasi. “Ini prinsip politik saya. Mega tak tahu pekerjaan seorang dirjen,” kata Suko.
Partai Demokrat
Setelah tempat di belakang layar Megawati bukan lagi miliknya, Suko akhirnya merapat ke SBY. Sejak itu ia masuk dalam jajaran nama-nama 'barisan sakit hati' PDI-Perjuangan bersama Arifin Panigoro, Roy B.B. Janis, Laksamana Sukardi dan beberapa tokoh lainnya. Suko kemudian ikut berperan dalam pendirian Partai Demokrat, ia adalah tuan rumah dari pertemuan awal para tokoh politik dalam pembahasan perlu tidaknya pendirian partai politik baru bagi SBY untuk maju dalam bursa calon presiden. Mereka yang hadir dalam pertemuan itu kemudian tercatat sebagai pendiri Partai Demokrat yang sukses mengantar SBY mengalahkan Megawati dan PDI-Perjuangan pada Pemilu 2004. Ia menuturkan, “Sampai detik terakhir, sebelum Mega memutuskan menggandeng Hasyim Muzadi, SBY masih berharap menjadi wakil presidennya Mega,”. Kiprahnya selama menjadi tim khusus calon presiden SBY ini membuatnya kembali sering terlihat di publik dengan image baru sebagai 'orang Cikeas' yang sangat dekat dengan figur seorang SBY.
Setelah Presiden SBY dilantik, Suko diberi tanggungjawab untuk memimpin Gerakan Indonesia Bersatu (GIB). GIB adalah sebuah organisasi massa yang mendukung jalannya roda pemerintahan yang bersih dan menjaga 4 pilar kebangsaan (Pancasia, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika). Nama yang ikut aktif disana adalah Heru Lelono.
Suko juga berperan dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu. Ia turut menyumbang beberapa nama untuk menduduki jabatan menteri.
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
Suko bertahan di Partai Demokrat hingga dirinya gagal diajukan sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat. Karena berbagai alasan kekecewaan, ia merapat pada Muhammad Jusuf Kalla pada Pemilu 2009. Dengan partai yang diketuainya, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), bersama Choirul Anam dan Alwi Shihab ia berjuang untuk memuluskan langkah JK meraih posisi RI-1. Namun akhirnya sejarah mencatat JK mengalami kekalahan telak pada Pemilu itu. PKNU pun hanya berhasil finish di urutan 12 dari 38 partai politik yang terdaftar, dan sayangnya hanya 9 partai (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, PKB, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani Rakyat) yang berhak menduduki kursi parlemen.
Kehidupan Saat Ini
Kini Suko mengaku lebih senang menjadi 'teman seorang presiden'. Disamping kesibukannya sebagai pengusaha yang memiliki banyak perusahaan (termasuk perusahaan di bidang energi), ia kini aktif memimpin Komunitas Nasionalis Religius Indonesia (KNRI). Selain itu Suko bersama Taufiq Kiemas, Siswono dan beberapa sesepuh kaum nasionalis Indonesia lainnya juga masih aktif duduk sebagai anggota Dewan Kehormatan Presidium Alumni (PA) GMNI. Pengagum fanatik Bung Karno ini berpesan agar pemimpin Indonesia berikutnya sebelum mencalonkan diri lebih transparan dan membuat sketsa siapa saja yang akan menjadi pembantu-pembantunya. Ia merasa telah dua kali ikut 'menjadikan' Presiden, namun belum memenuhi harapannya yaitu Kesejahteraan Rakyat Indonesia.
“Saya masih yakin Presiden SBY mau mendengar suara civil society, para purnawirawan dan TNI, demi keselamatan serta kemajuan bangsa dan negara ke depan. Saya melihat, Presiden SBY berkeinginan menyatukan energi, pandangan, dan gagasan bangsa ini untuk membangun Indonesia ke depan. Itu harus kita sadari, dan jangan lupa kita menghadapi masalah bersama yang bukan main kompleksnya,” ujarnya.
Generasi Penerus
Salah satu figur dari keluarga besar Sudarso yang mencoba ikut terjun di dunia politik adalah Raden Mochammad Bagus Pratomo Ryagede. Cicit pria tertua Raden Sudarso Suryomijoyo yang dikenal sebagai tokoh pemuda dari Temanggung ini adalah seorang mahasiswa Teknik perminyakan di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta (kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal I Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan) yang tengah merintis langkah sebagai aktivis GMNI layaknya Suko ketika muda.
Bagus mendirikan Komisariat GMNI UPN "Veteran" Yogyakarta pada tahun 2010 dan duduk sebagai Ketua Komisariat nya hingga saat ini. Komisariat yang ia dirikan itu mengubah peta politik mahasiswa di Yogyakarta dengan menghadirkan figur-figur baru nasionalis dari kalangan mahasiswa Teknik Perminyakan yang terkenal dengan karakter keras mereka.
Selain mulai aktif di dunia politik, Bagus juga dikenal sebagai seorang aktivis dakwah kampus. Hal ini bagi sebagian orang dinilai sebagai bentuk representasi sikap politik kakeknya (Suko) yang belakangan terlihat ingin menyatukan golongan nasionalis dan agamais.
Di lingkup keluarga, ia juga telah dipercaya untuk menduduki jabatan Ketua Garda Mangkunagaran (organisasi pemuda Pura Mangkunagaran Surakarta Hadiningrat) Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Posisi yang menurut dia membuat hidupnya seimbang diantara ajaran Islam yang lugas, doktrin GMNI yang radikal dan piwulang Jawa yang penuh kesantunan.
Pada tahun 2003 Bagus mencetuskan sebuah manifesto politik yang ia beri nama MANIS. MANIS adalah akronim dari Militerisme, Agamisme, Nasionalisme, Intelektualisme dan Sosialisme. Ideologi yang ia rumuskan ini bertumpu pada keyakinan bahwa Indonesia akan mencapai kesejahteraan umum jika golongan militer, rohaniawan, nasionalis, intelektualis dan sosialis telah berada dalam satu koridor visi dalam membangun bangsa.
Buku
- Bung Karno: Islam-Pancasila-NKRI Penerbit: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia
- Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia
- Gymnastik Politik Nasionalis Radikal Penerbit: RajaGrafindo Persada