Hamengkubuwana VII

sultan Yogyakarta
Revisi sejak 2 April 2007 23.29 oleh Andri.h (bicara | kontrib) (+pranluar)

Hamengkubuwono VII (4 Februari 1839 - 1921) adalah nama salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta. Pada masa kepemimpinan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, seluruhnya berjumlah 17 pabrik. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang pada Sultan untuk menerima dana sebesar Rp.200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih.

Masa kepemimpinannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan dan karenanya putra-putranya diharuskan mengenyam pendidikan modern, bahkan hingga ke negeri Belanda.

Tahun 1920 dalam usia 80 tahun, Sultan turun tahta dan mengangkat putra mahkotanya sebagai penggantinya.


Konon turun tahtanya Hamengkubuwono VII masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang seharusnya menggantikan Hamengkubuwono VII secara tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas sebab akibat kematiannya . Dicurigai adanya keterlibatan pihak belanda yang tidak setuju dengan pengangkatan putera Mahkota pengganti ayahanda Hamengkubuwono VII yang notabene selalu melawan aturan-aturan yang dibuat oleh Belanda.

Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota menunggu sampai sang raja atau ayahanda meninggal dunia tetapi dalam sejarah ini berbeda karena pergantian Hamengkubuwono VII ke Hamengkubuwono VIII sang ayah masih hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah di asingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton diluar keraton Yogyakarta.

Dengan besar hati Hamengkubuwono VII mengikuti kemauan sang anak (mikul dhuwur mendem djero) yang secara politis telah menguasai kondisi didalam pemerintahan kerajaan, Didalam pengasingannya sang Raja pernah bersabda " Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya" kita tidak tau maksud dari perkataan raja tetapi yang jelas raja Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat.Karena kepercayaan masyarakat Jawa tempo dulu suatu kebanggan kalo mereka meninggal di rumah sendiri .

Versi lain mengatakan Hamnegkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda dan madeg pandito (harfiah menjadi pendeta/pertapa) di pesanggrahan (semacam villa atau istana kecil) Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini 2007 awal bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya bdulu pernah berdiri hotel ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Pranala Luar

Didahului oleh:
Hamengkubuwono VI
Raja Kesultanan Yogyakarta
1877-1921
Diteruskan oleh:
Hamengkubuwono VIII