Seni Didong

Revisi sejak 13 Maret 2013 13.54 oleh Evawestari (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ' '''Seni Didong '''adalah salah satu jenis kesenian tradisional masyarakat Gayo yang masih bertahan hingga zaman modren ini, mempunyai social interest yang tinggi dari...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Seni Didong adalah salah satu jenis kesenian tradisional masyarakat Gayo yang masih bertahan hingga zaman modren ini, mempunyai social interest yang tinggi dari setiap lapisan masyarakatnya. Kesenian Didong adalah perpaduan antara seni tari dan seni suara dengan unsur sastra berupa syair-syair sebagai unsur utamanya, berkembang dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berada di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.

Latar Belakang

Salah satu unsur kebudayaan yang sangat berperan dalam kehidupan manusia adalah kesenian. Kebudayaan, oleh Koentjaraningrat diartikan sebagai “budi” atau “akal”,1 sehingga tidak heran jika kemudian kebudayaan dan kesenian kerap dijadikan salah satu tolok ukur dan menjadi indikator untuk mengetahui tingkat peradaban suatu komunitas. Aktualisasi dan pengungkapan ekspresi kerap menggunakan media yang berbeda-beda, rasa keindahan diekspresikan melalui bentuk kesenian, baik seni tari, seni pahat, seni suara dan lain-lain sebagainya. Kesenian dalam kosmos peradaban manusia adalah suatu bentuk penyangga kebudayaan, agar kebudayaan tersebut tetap eksis di tengah masyarakat pemiliknya.

Keberlangsungan komunikasi dalam komunitas masyarakat, tetap terjaga dan lestarinya nilai-nilai kearifan budaya dari satu generasi ke generasi merupakan satu proses panjang yang membutuhkan satu media tranformasi yang tidak saja dekat dengan audiennya juga merupakan bagian terpenting dalam kebudayaannya. Disinilah letak sebuah unsur kebudayaan menjadi penting, baik sebagai media komunikasi antar sesama maupun sebagai media informasi kepada orang lain di luar lingkungannya.

Esensi komunikasi yang hakiki adalah bagaimana sebuah pesan dapat sampai kepada orang lain (komunikan), media yang digunakan untuk tercapainya hal tersebut ada bermacam macam. Dalam dunia modren penggunaan alat dan sarana komunikasi adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan untuk mengkomunikasikan pesan. Tetapi bagaimana sebuah komunikasi dapat berjalan sebagaimana mestinya jika alat dan sarana telekomunikasi tersebut justru tidak ada pada masayarakat tempo dulu. Jawabannya adalah bagaimana peran dan fungsi dari bagian unsur kebudayaannya dapat menjadi saluran komunikasi, meskipun hal tersebut hanya berlaku dalam lingkungan yang terbatas.

Kesenian menjadi media yang paling mudah dan mulus dalam merubah dan menyampaikan pesan kepada masyarakat. Karakter ini menjadi nilai lebih bagi sebuah unsur kebudayaan, karena ia tidak memerlukan banyak alasan atau argumen. Pola perubahan yang diharapkan adalah dari segi apektif dan kognitif individual yang selanjutnya turut pula mempengaruhi kehidupan sosial secara kolektif. Sejarah dan metode para mubaligh dalam mendakwahkan ajaran Islam serta peran kesenian dalam masuknya Islam di nusantara melalui Kerajaan Pase Aceh,3 kesenian bukan saja dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai media penyampaian pesan atau sebagai media komunikasi, tetapi juga menjadi sarana sekaligus metode untuk mempengaruhi komunikan untuk menerima dan mengikuti mesege komunikasi.

Dari sekian banyak kesenian tradisional sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang ada di nusantara salah satunya adalah seni Didong, yaitu suatu kesenian yang merupakan perpaduan antara seni suara dengan sastra berupa syair-syair puisi sebagai unsur utamanya. Didong adalah suatu kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Islam ke tanah Aceh, baik kebudayaan Aceh maupun kebudayaan Gayo adalah kebudayaan yang bernafaskan Islam. Setelah Islam masuk ke tanah Gayo, maka kesenian Gayo bernafaskan Islam,4 dan kesenian yang paling mendominasi kebudayaan Gayo di antara jenis dan bentuk kesenian lainnya adalah seni Didong.

Sebagaimana ditulis oleh Thantawy R. bahwa seni Didong adalah satu macam kesenian yang sangat populer di kalangan masyarakat Gayo. Seni Didong adalah merupakan suatu social intrest, artinya suatu unsur kebudayaan yang amat digemari oleh sebagian besar masyarakat, sehingga banyak unsur-unsur lain dan lapangan-lapangan lain dalam masyarakat itu tersangkut dan terdorong karenanya.5 Kesenian ini digemari dan disenangi oleh masyarakat, karena berisi syair-syair puisi faktual, aktual dan kontekstual menyangkut berbagai macam masalah kehidupan, baik agama, adat budaya, sosial, politik maupun lingkungan. Berdasarkan keberadaan dan peran seni Didong dalam membentuk budaya dan kehidupan sosial masyarakat dan keberagamaan, mejadi menarik untuk dibahas, terutama dari unsur pesan-pesan yang terkandung dalam syair-syairnya dan pemanfaatan kesenian tersebut sebagai media komunikasi.

Peran dan fungsi

Peran dan Fungsi yang luas dalam dinamika kehidupan sosial. Di antaranya adalah

  1. Sebagai media menyalurkan nilai-nilai estetika masyarakat.
  2. Sebagai media komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, antara ulama dan umat dan antara masyarakat dengan masyarakat sendiri. #Sebagai media informasi dan penerangan untuk menyampaikan berbagai perkembangan dan program pembangunan, sejarah, pelestarian adat dan budaya serta bencana alam.
  3. Syair-syair seni Didong dari isi dan kandungan makna mempunyai konsistensi dan kecenderungan yang tinggi dalam mengkomunikasikan, menyampaikan pesa-pesan keislaman.

Syair, Seni Dan Didong.

Secara etimologis syair adalah karangan atau gubahan bersajak, puisi kata syair sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “syu’ur” yang berpengertian sebagai “perasaan”, dengan ciri terdiri dari empat baris sebait kebanyakan berisi nasehat, petuah, dongeng dan cerita.7 Selanjutnya pengertian syair sama dengan “lirik” pada nyanyian atau lagu.8 Secara umum kata “syair” lebih cenderung dimaknai sebagai “sajak” atau “puisi”,pengertian inipun mengarah kepada jenis karya sastra modren maupun tradisional.

Istilah lain yang sangat erat hubungannya dengan kata “syair” adalah kâtib, yang berarti penulis (penyair). Penggunaan kata kâtib merujuk pada banyak arti. Salah satu makna dasar dari kata tersebut adalah “penulis”. Kata itupun sering digunakan dalam arti penulis atau penyalin prosa yang indah, yang maknanya sejajar dengan istilah “nâsikh, atau warrâq’. Istilah lainnya adalah munsyi’ yang berarti seseorang yang menulis dan yang menciptakan sendiri karangannya. Karena itu untuk menyebutkan sesuatu kata atau istilah tidak berdasarkan penglihatan tetapi pendengaran, penyebutannya lebih tertakluk kepada sistem bunyi bahasa yang berkenaan, khususnya bahasa penuturan atau lisan. Justru itu syair atau ‘syi’ir disebut juga dengan sa’e’ atau ‘sa’ iyo’ dalam bahasa Melayu, ‘sayer’ dan ‘singir’ atau geguritan dalam bahasa Jawa.

Syair bagi masyarakat Gayo yang menggunakan sastra lisan menyebutnya menjadi ‘syair’ atau ‘sa’er’, yaitu salah satu bentuk sastra lisan yang merupakan media dakwah agama yang isinya berupa tafsir dari Alquran, hadis Nabi, mengisahkan kehidupan para sahabat Nabi dan nasehat-nasehat lain yang bersumber dari ajaran Islam.12 Sementara itu kata syair dalam konteks ini adalah naskah teks yang bentuk tulisan maupun lisan yang bersumber dari kesenian Didong, yang bermuatan informasi, komunikasi, pesan, ajakan, seruan, penjelasan tentang sesuatu kepada masyarakat dengan maksud membawa kepada perubahan secara afektif maupun kognitif.

Selanjunya prihal seni. Pengertian bidang ini demikian banyak sebagaimana yang dikemukakan oleh para filsuf seni, ahli estetika dan oleh seniman sendiri. Susanne K. Langer memberi batasan bahwa seni adalah istilah umum yang mencakup lukisan, musik, tari, sastra, drama, dan filem. Kesemua itu dapat dibatasi sebagai kegiatan menciptakan bentuk-bentuk yang dapat dimengerti, yang mengungkapkan perasaan manusia.13 Sedangkan menurut TheLiang Gie, seni adalah segenap kegiatan budi pekerti seseorang (seniman) yang secara mahir menciptakan sesuatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia. Hasil dari kegiatan itu ialah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif yang termuat dalam suatu medium indrawi. Seni adalah suatu (proses) dan sekaligus juga sebagai hasil kegiatan (produk), kedua hal ini tidak dapat dipisahkan.

Terkaitan dengan syair sebagai media penyampaian pesan-pesan keagamaan, Bachrum Bunyamin mengartikan seni sebagai hasil cipta yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan keindahan yang menyenangkan. Suatu definisi yang lebih cermat, barang kali ialah bahwa sebuah karya seni adalah suatu bentuk tampak tersendiri yang dibentuk secara mahir dalam suatu pengungkapan atau perwujudan yang serasi mungkin dan dapat berdiri sendiri dari suatu gagasan, khayalan atau keinginan yang mengharukan.

Namun kemudian secara umum orang berpendapat bahwa kesenian adalah hasil ekspresi manusia akan keindahan, meski tidak semua hasil karya seni dapat dikatakan demikian. Karena ada karya seni yang lebih mengutamakan pesan budaya yang mengadung unsur-unsur sistem budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dengan kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksud menjawab atau menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan atau mencapai suatu tujuan bersama, seperti kemungkaran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan dan rasa aman berhubungan dengan yang gaib (supranatural) dan lain-lain. Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahan yang mengandung pesan budaya terwujud dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal, seni musik dan seni drama.

Berikutnya pengertian Didong, dalam masyarakat Gayo secara etimologis Didong belum mempunyai pengertian yang jelas.Namun salah seorang pelaku kesenian ini Sali Gobal dalam sebuah karyanya yang berjudul “Didong”19 secara implisit dan eksplisit menerangkan pengertian dari kesenian ini sendiri lebih cenderung kepada pengertian “dendang” secara khusus dan berpengertian sebagai “nyanyian” secara umum. Hal tersebut dapat kita simak dalam kutipan syair berikut :

Didong didong didong do didong ni Didong ko kin seni ni urang Gayo ni Tikik tikik telas basa, bijak cerdik tutur kata Roneng tikik makin gaya, osop macik pora-pora Didong denang didong didong ku denang20

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:

Didong didong duh didong Didong kau untuk seni orang Gayo Pelan-pelan tampak bahasa, bijak cerdik tutur kata Norak sedikit menambah gaya, dengan perlahan hilang resah Didong denang didong denang kudendang.

Menganalisa kutipan syair Didong tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa Didong mempunyai pengertian sebagai “dendang”. Meski M.Junus Melalatoa menyebutkan bahwa sebenarnya kata “dendang” dari pengertian kata “Didong” mempunyai makna yang lebih luas, artinya bukan sekedar berdendang,karena dalam kesenian Didong juga merangkum beberapa jenis kesenian masyarakat Gayo lainnya seperti seni sastra lisan (seni bertutur), seni tari dan seni teater.

Secara umum kesenian Didong adalah merupakan perpaduan antara seni vokal dan seni suara dengan sastra puisi berupa syair-syair sebagai unsur utama. Secara khusus, seni Didong adalah perpaduan yang kompak dan bulat antara seni gerak serta sintak (lagu) serta isi (syair puisi) yang romantis alami, dinamik. Atas landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesenian Didong adalah merupakan salah satu kesenian tradisional khas masyarakat Gayo yang berupa perpaduan antara seni suara, seni sastra dengan syair-syair sebagai unsur utamanya, seni tari dan seni teater.

Adapun penambahan kata “Gayo” di depan kata “Didong” menjadi “Didong Gayo” adalah merupakan kata keterangan sekaligus kata untuk menegaskan wilayah dan komunitas dimana kesenian tersebut tumbuh, berkembang dan mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Menunjukkan penggunaan bahasa dan ekspresi seni sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Gayo, yaitu salah satu etnik atau suku terbesar yang mendiami daerah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.

Sistem Pertandingan Seni Didong

Kesenian Didong dipertandingkan antara dua kelompok kesenian dalam waktu semalam suntuk, sejak usai shalat Isya sampai menjelang shalat Subuh. Tiap-tiap kelompok terdiri dari 30 sampai 40 orang, dalam penampilan mereka duduk bersila membentuk lingkaran dengan bantal kecil sebagai pengganti alat musik pengiring. Setiap kelompok kesenian dipimpin oleh satu sampai tiga orang yang disebut dengan Ceh (penyair), yang ahli dalam menuturkan dan melantunkan sastra Gayo dalam bentuk syair-syair puisi dan lagu. Di samping itu Ceh (penyair) mempunyai keahlian dan kemampuan dalam menyusun kalimat syair baik melalui persiapan maupun secara spontan.

Dalam setiap penampilan atau pertunjukkan, masing-masing kelompok diberi waktu selama 30 menit secara bergantian sepanjang malam. Kedua kelompok kesenian akan saling beradu syair dan puisi, inilah yang merupakan inti serta daya tarik dari kesenian Didong. Selain dalam bentuk pertandingan, kesenian ini juga kerap dipentaskan dan dipertontonkan dalam acara-acara tertentu.

Sebagai suatu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakatnya dengan syair-syair puisi sebagai unsur utamanya, maka pada masa penjajahan Belanda kesenian ini telah dimanfaatkan untuk membangkitkan rasa fanatisme kelompok, kampung dan suku guna mendukung politik pecah belah (defide et empra). Syair-syair dan puisi dalam Didong yang pada awalnya berisi petuah-petuah, nasehat-nasehat, tamsil mengenai masalah kehidupan sosial dirubah menjadi sarana propaganda.

Karena adanya pengaruh dan kepentingan kolonial, maka dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini telah mengalami pembaharuan-pemaharuan. Baik dari segi peran dan fungsi, isi syair puisi serta tema-tema karangan. Pembaharuan itu dapat dilihat dalam beberapa periode perkembangan dari seni Didong.Setidaknya ada empat priodeisisasi, kesemuanya pada akhirnya berhenti pada eksistensisnya sebagai sebuah kesenian tradisional dengan syair pusi sebagai unsur utama. Dimana pada priode tarkahir jenis kesenian ini telah menjadi media komunikasi dan saluran silaturahmi antar masyarakat, menjadi mediator antara pemerintah dangan rakyat dan antara umat dengan ulama. Di samping itu seni Didong juga merupakan sumber nilai dalam budaya Gayo.

Syair Seni Didong Sebagai Media Komunikasi

Agama menganjurkan umatnya untuk senantiasa berkomunikasi kepada sesama manusia juga kepada Tuhannya. Senada dengan itu para pakar mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat menghindar untuk berkomunikasi. Karena berkomunikasi memang sunnatullah. Komunikasi adalah kodrat bagi manusia. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal. Dari proses saling mengenal inilah terjadi komunikasi antar manusia. Ketika surat Al-Alaq diwahyukan kepada Muhammad Saw, maka benih ilmu komunikasi sudah ditebarkan. Ketika manusia memohon do’a, terjadilah komunikasi transenden. Demikianpun ketika dari masjid-masjid dikumandangkan suara azan, maka contoh komunikasi massa islami telah diterapkan.

Komunikasi Islami bertujuan bukan saja menyampaikan pesan atau informasi kepada pihak lain, tetapi juga mengajak kepada jalan kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar) yaitu jalan dan ajaran agama dengan landasan keimanan. Komunikasi semacam ini bagi seorang muslim menjadi wajib hukumnya. Komunikasi tidak saja menjadi suatu yang dapat menghubungkan antar satu orang atau lebih, tetapi juga menjadi bagian dari perbuatan kebaikan sekaligus amal ibadah bagi komunikatornya.


Kesenian dengan syair sebagai bagian terpenting di dalamnya, sebagai media komunikasi Islam yang berisi penyampaian pesan-pesan keagamaan diakui pula oleh Azwar AN, bahwa sebenarnya dakwah atau penyampaian pesan-pesan agama melalui seni adalah hal yang tepat. Alasan tersebut menurut Azwar AN lebih di dasarkan atas; karena seni mempunyai kaedah tersendiri, tidak menggurui tetapi dapat menyentuh hati nurani dan logika, etika seni dalam kaitan ini mencerminkan keimanan yang berdasarkan tauhid, tata aturan hukum Islam dan akhlak yang islami, dan ditambah pula dengan pesan-pesan yang memberikan dorongan kepada umat untuk selalu meningkatkan perwujudan akhlak mulia dalam kehidupan. Namun demikian jika seni digunakan sebagai media dakwah maka seni pun harus mengacu pada prinsip etika seni Islam sebagaimana yang disebutkan di atas, tentu dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip seni itu sendiri. Hal tersebut karena Alquran mengajarkan bahwa ketika ia menggunakan sastra manusia itu, kendatipun disana ada rahasia Ilahiyah yang tak mampu tersingkapkan oleh manusia secara tuntas kerana berada di luar jangkaunnya.

Karena selain seni bertujuan menimbulkan kesenangan yang bersifat estetik dan menurut konsepsi Islam harus dipadukan dengan etika. Tertariknya manusia kepada keindahan, dimanfaatkan oleh seniman agar karyanya mendapat respons oleh masyarakat selaku penikmat sekaligus audiens. Kalau seni mengandung daya tarik mengapa tidak dimanfaatkan dalam dakwah, sehingga dakwah (komunikasi Islam) mendapat respons positif dari khalayak (audience).

Berbagai unsur dari seni sastra ialah pokok sosial, tema, dalil, alur, makna (termasuk makna ganda), tamsil, kiasan, matrik, dan suatu nilai. Seni puisi misalnya memamfaatkan sepenuhnya makna ganda. Para Filsuf seni umumnya sepakat bahwa seni sastra termasuk seni perlambang atau simbol, kadang-kadang simbolisme yang dipergunakan dalam seni ini demikian abstrak dan sulit sehingga misalnya sebuah sajak tidak dapat dimengerti oleh orang-orang.

Kesenian dengan unsur syair merupakan salah satu seni yang mediumnya tidak bersifat internasional. Masing-masing bangsa dan suku bangsa memilki bahasanya sendiri, sehingga suatu bangsa tidak dapat mengerti karya sastra bangsa lain kalau tidak menguasai bahasa dari bangsa lain itu, terkecuali bahasa tersebut telah diterjemahkan. Hal itu pun biasanya dari segi estetik verbalitas dan makna sudah terganggu. Tetapi usaha untuk menganalisis isinya ditinjau dari segi komunikasi akan membawa kita kepada suatu pemahaman yang konprehensif kandungan muatan nilainya.

Demikian, proses transfer of felling (pengalihan persaan) dalam hal ini termasuk juga pengalihan pesan dari komunikator kepada komunikan dan mengaitkannya dengan inti dari proses sebuah komunikasi Islam yaitu; pengalihan pesan dari komunikator kapada penerima atau audiens, setiap jenis kesenian dapat menjadi media yang baik untuk mencapai keberhasilan pengalihan pesan. Karena pengalihan perasaan dalam kesenian adalah juga peralihan nilai dan peralihan pesan, baik itu nilai estetika sebuah kesenian maupun pesan yang terangkum di dalamnya, baik berupa norma-norma dari sistem budaya, ajaran agama, pengetahuan dan lain sebagainya.

Kesenian Didong sebagai seni tradisional masyarakat Gayo yang isinya berpedoman pada sistem budayanya, baik mengenai pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma-norma yang hidup dalam budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut yang telah mendapat pengaruh dari unsur sistem budaya yang berasal dari agama Islam.

Dengan demikian komunikasi dalam syair seni Didong juga berisi ajaran-ajaran dari agama Islam. Adapun kekuatan penyampaian informasi melalui seni secara sederhana dapat dilihat dari peran kesenian tersebut baik sebagai media, ekspresi, hiburan dengan segala pesan-pesan budaya yang di dalamnya, secara langsung telah mempengaruhi para penikmat kesenian tersebut, pemahaman dan proses transper nilai.

Seni Didong melalui untaian syair-syairnya menginformasikan tentang berbagai hal, mulai dari sejarah sampai kepada pensosialisasian Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) berikut dengan jabaran tiap-tiap sila dalam Pancasila, misalnya. Seni Didong dengan gaya bahasanya sendiri mampu mengkomunikasikan kepada rakyat di pedesaan tentang program pelaksaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Republik Indonesia pada masa kekuasaan Orde Baru.

Keberadaan teknologi komunikasi seperti televisi, koran dan radio yang belum menyentuh sebagian besar masyarakat, terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari Ibu Kota Kecamatan dan Ibu Kota Kabupaten memposisikan Didong melalui syair-syairnya sebagai satu-satunya media yang mampu mengkomunikasikan berbagai hal kepada masyarakat luas. Disaat media komunikasi tersebut belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, di tengah kenyataan minat baca masyarakat yang sangat rendah, di antara sela itulah Didong tampil mengkomunikasikan dan mewartakan informasi dan kejadian-kejadian aktual dan faktual.

Bencana gempa dan gelombang raya Tsunami pada tanggal 24 Desember 2004 yang menerjang Banda Aceh dan sepanjang pesisir Serambi Mekah itu diinformasikan keberbagai pelosok pedalaman dan dataran tinggi Gayo melalui syair-syair Didong. Tema yang menjadi sorotan syair seni Didong yang dikaitkan langsung dengan komunikasi adalah menyangkut bencana alam gempa dan gelombang Tsunami, perdamaian antara GAM dan TNI serta menyangkut pemilihan kepemimpinan daerah dalam Pemilihan Langsung Kepala Daerah (PILKADA).

Cerminan syair-syair dari ketiga isu tersebut dapat kita simak dalam kutipan di bawah ini:

Peringeten bele asalni musibah Bobon kin istilah gelumang Tsunami I balik oya ara rupen hikmah Renye musyawarah so GAM urum RI

Terjemahannya: Peringatan bencana melalui musibah Disebut dengan istilah gelombang Tsunami Dibalik itu rupanya ada hikmah Kemudian bermusyawarah GAM dengan RI

Dalam konteks ini, syair seni Didong Gayo seakan kembali mengingatkan kepada masyarakat bahwa pada setiap bencana yang diturunkan Allah SWT di atas bumi sesungguhnya mengandung hikmah atau pelajaran yang sangat berharga. Dalam syair di atas dengan jelas disebutkan bahwa sebagian hikmah dari bencana gempa dan gelombang Tsunami yang menimpa masyarakat, salah satunya adalah timbulnya itikat baik dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baik yang berada di luar maupun di dalam negeri dengan pihak pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk mengakhiri pertikaian bersenjata selama tiga puluh tahun dengan cara berdamai.

Sementara sebelum terjadinya bencana Tsunami kedua belah pihak seakan tidak pernah menemukan kesepakatan yang berarti dalam setiap negosiasi dan perundingan, meskipun hal tersebut telah dilakukan berulang kali di beberapa tempat, baik di dalam maupun luar negeri. Setelah terjadinya bencana Tsunami yang menyentakkan rasa kemanusiaan dari berbagai negara, perundingan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pihak pemerintah Republik Indonesia (RI)-pun kemudian berjalan dengan mulus seolah tanpa kendala yang berarti.

Keberhasilan proses damai ini oleh syair seni Didong dianggap dan ditafsirkan sebagai bagian dari hikmah sekaligus berkah yang luar biasa dari musibah gempa dan gelombang Tsunami. Kandungan syair juga menyiratkan penting dan bermaknanya sebuah perdamaian antara pihak yang bertikai, terutama bagi rakyat jelata yang justru tidak pernah tau secara pasti sebab-musabab mengapa permusuhan sampai terjadi sedemikian panjang dan menelan korban manusia yang tidak sedikit. Hikmah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia (RI) ditambah dengan bencana Tsunami, secara maknawi dicerminkan dari keseluruhan teks syair.

Melalui syair-syair yang berisi pesan keislaman tersebut, seni Didong berusaha mengingatkan manusia yang terkena bencana untuk tetap optimis dalam menjalankan kehidupan, jangan berlarut-larut dalam kesedihan serta seruan untuk tetap tabah dan sabar dalam segala hal. Pesan-pesan ini di tampilkan dalam bait-bait syair dengan susunan kata dan gaya bahasa yang menyentuh.

Pemadatan pesan komunikasi dan makna melalui syair pun demikian kentara, sehingga setiap pendengar yang menyimak lantunan syair seni Didong ini didendangkan dengan sendunya, membutuhkan daya apresiasi dan daya tangkap tersendiri dalam menyimak. Tanpa proses tersebut inti komunikasi yang disampaikan oleh para aktor pendendang (Ceh) tidak akan sampai pada hakekat makna syair. Demikianpun jika proses apresiasi serta kemampuan mencerna, menyimak dan berpikir tidak berjalan seiring dengan lantunan syair, maka para penonton hanya akan dapat menangkap muatan pesan tersebut adalah bagian dari sebuah hiburan.

Komunikasi informasi dan komunikasi islami dalam beberapa syair tampak disatukan secara langsung dan memadai sebagai sebuah proses transfer nilai, hal tersebut dapat disimak dalam kutipan syair berikut :

Engon sareh panang nyata Kukute Banda sawah ujien Gempa Tsunami nemah makna Munarah nijema kati berimen Gelomang Tsunami ibobun kin data Munetes jema bidang kejujuren Fakir miskin mengharap derma Dabuh si kaya nerime bantuen Ulak mikite keta ku agama Si enguk mungoa i ate berimen Ike gati tungkuk ku musalla Kite gere ne mera salah jelen

Terjemahannya :

Lihat jelas dipandang nyata Ke Kota Banda tiba cobaan Gempa Tsunami membawa makna Mengarahkan manusia agar beriman Gelombang Tsunami dijadikan fakta Menguji orang dibidang kejujuran Fakir miskin mengharap derma Mengapa yang kaya menerima bantuan Kembalilah kita ke agama Yang dapat melarang di hati yang beriman Jika sering sujud ke sajadah Kita tidak lagi salah jalan

Menyimak makna yang terkandung dalam syair di atas, para senimannya berpandangan bahwa bencana adalah sebuah ujian dari Allah SWT, mengingatkan manusia agar beriman kepada sang Khalik, menyerukan agar kembali kepada ajaran agama. Jika melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim dengan mendirikan shalat, maka umat tidak akan salah jalan. Dengan demikian kehidupan akan diberi petunjuk ke arah yang benar sejalan dengan tuntunan agama.

Syair tersebut juga menjadi alat tunjuk dalam mengkomunikasikan pesan yang disampaikan dengan kalimat bernuansa seruan, sekaligus sebagai kalimat perintah dan kesaksian; engon jela panang nyata (lihat jelas dipandang nyata). Kemudian juga menyodorkan fakta; ku kute Banda sawah ujien (ke kota Banda tiba ujian), dua bait berikutnya adalah penafsiran dari bait-bait sebelumnya yang menjadi inti dari komunikasi dan pesan keislaman; gempa Tsunami munemah makna munarah ni jema kati berimen (gempa Tsunami membawa makna mengarahkan manusia agar beriman).

Pada syair lainnya, seni Didong juga memberi gambaran bahwa tanda-tanda kekuasaan Allh SWT telah sedemikan nyata di gambarkan ke kehadapan penglihatan mata berupa bencana, pada bait berikutnya juga mengingatkan agar manusia berbenah dan kembali menata kehidupan sendiri tanpa menunggu bantuan dari pihak lain. Manusia disarankan untuk bangkit dari bencana dan kehilangan harta benda, tanpa menempatkan diri sebagai orang yang menerima bantuan, mental pengemis dan ingin dibelaskasihani. Konsep “harga diri” dan konsep untuk merubah ini dijelaskan sebagaimana terkandung dalam makna syair di bawah ini;

So bele nge teridah ku mata o umet wan donya berubah mikite Tuhenpe gere murubah nasipte tekecuali kegere kite kin dirinte munetahie Terjemahannya : Itu bencana sudah tampak di depan mata wahai umat di atas dunia berubahlah kita Tuhanpun tidak merubah nasip kita terkecuali kalau tidak diri kita sendiri merubahnya


Sebagian dari isi syair tersebut sebagaimana terdapat dalam kutipan di bawah ini : Guru munejer urum perasaen Sekalipun guru ara muhalangen Bidik pemerintah mumerah jelen Anak sekulah rawan urum banan Besiloni murid nge makin maju Bidik munerime penerangen guru Kerna simunejer bewene bermutu Dele es satu teba es due Ku rayat sidele laingku mutuju Anak iumah boh nuke buku Sebeb pendidiken olok pedi perlu Urum-urum ibantu lekati semperne

Terjemahannya:

Guru mengajar dengan perasaan Sekalipun guru punya halangan Cepat pemerintah mencari jalan Anak sekolah lelaki dan perempuan Sekarang murid sudah semakin maju Cepat menerima penjelasan guru Karena yang mengajar semua bermutu Banyak S1 sebagian S2 Kepada rakyat banyak amanatku tertuju Anak dirumah diarahkan membuka buku Sebab pendidikan sungguh sangat perlu Bersama-sama kita bantu agar sempurna

Dari segi komunikasi islami, muatan dan isi syair bukan lagi menjadi sarana hiburan sebagai sebuah kesenian. Tetapi telah menjadi media penyampaian informasi dan pesan yang bersifat memotivasi, mendukung dan mengarahkan orang banyak kepada kebaikan, baik secara individual maupun sebagai bagian dari komunitas masyarakat.

Demikian juga seni Didong sebagai media silaturrahmi, kesenian ini menjadi wahana pertemuan bagi masyarakat dari

berbagai kampung dan pelosok yang sengaja datang berduyun-duyun ke tempat pertunjukkan. Di tempat itu mereka bertemu dan saling menyapa antara sesama dan dengan sanak saudara dari kampung lain. Fenomena ini selanjutnya menjadikan seni Didong sebagai media komunikasi massa, yang mampu menghadirkan banyak orang dalam satu tempat.

Menjadi mediator antara pemerintah dangan rakyat dan antara umat dengan tokoh agama adalah berdasarkan eksistensi kesenian ini yang tetap terjaga. Melalui syair-syairnya seni Didong mampu menyampaikan pesan-pesan dengan baik dan menarik. Terlebih pertunjukan kesenian ini selalu menjaga sportivitas, kualitas dan validitas isi syair dengan isu-isu yang tengah menjadi sorotan massa.

Dalam ruang lingkup sosiologi komunikasi, seni Didong dapat digolongkan kepada social inter action, yaitu penyebar luasan informasi, ide-ide, sikap-sikap, atau emosi dari seorang atau kelompok kepada yang lain, terutama melalui simbol-simbol dan pesan-pesan.33 Karena ruang lingkup komunikasi menyangkut persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan subtansi interaksi sosial orang-orang dalam masyarakat; termasuk konteks interaksi komunikasi yang dilakukan secara langsung maupun dengan menggunakan media.[1]

  1. ^ #http://kuflet.com/2011/06/syair-seni-didong-sebagai-media-komunikasi-2/