Aceh

provinsi di Pulau Sumatera, Indonesia
Revisi sejak 14 April 2013 06.18 oleh Si Gam (bicara | kontrib)

Aceh (/ˈɑː/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Aceh
Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh
Bendera Aceh
Motto: 
"Udép Beu Saré, Maté Beu Sajan"(Bahasa Aceh)
"Hidup Sama Rata, Mati Bersama"
[1]
Peta
Peta
Negara Indonesia
Dasar hukum pendirianUU RI No. 24/1956
UU RI No. 44/1999
UU RI No. 18/2001
UU RI No. 11/2006 (Pemerintahan Aceh)
Tanggal7 Desember 1959
Ibu kotaBanda Aceh (dulu Koetaradja)
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kabupaten: 18[2]
  • Kota: 5[3]
  • Kecamatan: 276[4]
  • Kelurahan: 6.455[5]
Pemerintahan
 • Gubernurdr. H. Zaini Abdullah
Luas
 • Total58.375,63 km2 (22,538,96 sq mi)
Populasi
 • Total4,494,410
 • Kepadatan77/km2 (200/sq mi)
Demografi
 • AgamaIslam (98,5%), Kristen (1.1%), lainnya (0.5%)
 • BahasaAceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.[6][7]
Kode Kemendagri11 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS11 Edit nilai pada Wikidata
DAURp. 1.092.445.518.000.-
Lagu daerahBungong Jeumpa
Situs webhttp://www.acehprov.go.id/

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[8] Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam.[9] Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.[10]

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.[8] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.

Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut.[11] Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Nama

Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang).[12] Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.

Sejarah

Artikel utama: Sejarah Aceh

Masuknya Islam

 
Letak Kerajaan Samudra Pasai

Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan[13] sebagai khalifah ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.

Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian[14].

Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan[15].

Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah[16].

Kesultanan Aceh

 
Wilayah Kesultanan Aceh di masa jayanya

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sulthan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh

 
Mayor Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak di bawah pohon kelumpang di depan Masjid Raya Baiturrahman dalam Perang Aceh I

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL[17].

Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh[18].

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.

Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.

Masa penjajahan

Bangkitnya nasionalisme

 
Replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).

Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.

Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.

Masa Republik Indonesia

 
Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, ulama pemimpin perjuangan DI/TII Aceh

Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.

Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.

Darul Islam / Tentara Islam Indonesia

Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia dengan jaminan Soekarno akan menerapkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai landasan negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September 1953 M, Teungku Muhammad Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.[19]

Gerakan Aceh Merdeka

 
Panglima GAM, Abdullah Syafi'i bersama laskar Inong Balee

Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.

Kependudukan

Suku bangsa

Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis kedua terbesar adalah Suku Gayo yang mendiami wilayah pegunungan tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti, Aneuk Jamee di pesisir barat dan selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam dan Singkil, Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Tamiang.

Suku Devayan mendiami wilayah selatan Pulau Simeulue sedangkan Suku Sigulai dan Suku Lekon di utaranya. Suku Haloban dan Suku Nias terdapat di Pulau Banyak

Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)[20]

Bahasa

 
Rambu peringatan tsunami dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Aceh

Bahasa daerah yang paling banyak dipakai di Aceh adalah Aceh yang dituturkan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir Aceh. Bahasa terbesar kedua adalah Gayo di dataran tinggi Gayo, Alas di dataran tinggi Alas, Aneuk Jamee di pesisir barat selatan, Singkil dan Pakpak di tanah Singkil, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Tamiang.

Di Simeulue bagian utara dijumpai Sigulai dan Lekon, sedangkan di selatannya dijumpai Devayan. Haloban dan Nias dijumpai di Pulau Banyak.

Agama

 
Masjid Raya Baiturrahman

Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.

Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.

Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001. Kalangan intelektual Aceh sendiri masih memperdebatkan apakah yang diberlakukan di Aceh sudah benar-benar syariat atau itu cuma karena alasan politis saja.[21] Alasan yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika itu berkenaan dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa tidaknya hukum Islam diproduksi pasca kenabian selain persoalan dualisme aliran dalam Islam, dua aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.[22]

Pendidikan

Berkas:The new administrative building of Universitas Syiah Kuala.JPG
Gedung pusat administrasi Unsyiah
 
Tugu Darussalam yang menandakan pendirian Kopelma Darussalam

Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada Ujian Akhir Nasional 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.

Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:

Negeri

Swasta

Pemerintahan

Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara kecamatan dan gampong.

Sistem Pemerintahan Indonesia

 
Kabupaten dan Kota di Aceh

Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:


No. Kabupaten/kota Ibu kota Bupati/wali kota Luas wilayah (km2)[23] Jumlah penduduk (2022) Kecamatan Gampong Lambang
 
Peta lokasi
1 Kabupaten Aceh Barat Meulaboh Azwardi (Pj.) 2.782,87 198.858 12 322
 
 
2 Kabupaten Aceh Barat Daya Blangpidie Sunawardi (Pj.) 1.882,28 153.515 9 152
 
 
3 Kabupaten Aceh Besar Kota Jantho Muhammad Iswanto (Pj.) 2.891,48 422.241 23 604
 
 
4 Kabupaten Aceh Jaya Calang A. Murtala (Pj.) 3.872,35 96.049 9 172
 
 
5 Kabupaten Aceh Selatan Tapak Tuan Cut Syazalisma (Pj.) 4.175,38 234.169 18 260
 
 
6 Kabupaten Aceh Singkil Singkil Azmi (Pj.) 1.852,82 129.674 11 116
 
 
7 Kabupaten Aceh Tamiang Karang Baru Asra (Pj.) 2.187,66 301.800 12 216
 
 
8 Kabupaten Aceh Tengah Takengon Subhandhy (Pj.) 4.468,42 219.744 14 295
 
 
9 Kabupaten Aceh Tenggara Kutacane Taufik (Pj.) 4.179,12 227.921 16 385
 
 
10 Kabupaten Aceh Timur Idi Rayeuk Amrullah M. Ridha (Pj.) 6.040,6 434.929 24 513
 
 
11 Kabupaten Aceh Utara Lhoksukon Mahyuzar Reuby (Pj.) 2.705,26 609.705 27 852
 
 
12 Kabupaten Bener Meriah Simpang Tiga Redelong Mohd. Tanwier (Pj.) 1.907,40 168.469 10 232
 
 
13 Kabupaten Bireuen Bireuen Jalaluddin (Pj.) 1.796,99 445.503 17 609
 
 
14 Kabupaten Gayo Lues Blang Kejeren Jata (Pj.) 5.541,29 101.955 11 136
 
 
15 Kabupaten Nagan Raya Suka Makmue Iskandar (Pj.) 3.524,16 172.827 10 222
 
 
16 Kabupaten Pidie Sigli Samsul Azhar (Pj.) 3.177,49 436.796 23 730
 
 
17 Kabupaten Pidie Jaya Meureudu Jailani Beuramat (Pj.) 939,00 160.272 8 222
 
 
18 Kabupaten Simeulue Sinabang Teuku Reza Fahlevi (Pj.) 1.821,75 94.560 10 138
 
 
19 Kota Banda Aceh - Ade Surya (Pj.) 56,77 254.024 9 90
 
 
20 Kota Langsa - Syaridin (Pj.) 224,24 186.075 5 66
 
 
21 Kota Lhokseumawe - A. Hanan (Pj.) 132,97 191.688 4 68
 
 
22 Kota Sabang - Andri Nourman (Pj.) 122,06 42.867 3 18
 
 
23 Kota Subulussalam - Azhari (Pj.) 1.183,60 96.296 5 82
 
 


Perwakilan

 
Meuligoe, tempat kediaman gubernur Aceh

Berdasarkan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Provinsi Aceh mengirimkan 13 anggota DPR, dengan perincian: Partai Demokrat tujuh orang, PKS dan Partai Golkar masing-masing dua orang, dan PAN serta PPP masing-masing satu orang.[24] Selain itu, empat anggota DPD yang berasal dari Aceh adalah Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M.[25]

Pada tingkat provinsi, DPRA dengan 69 kursi tersedia dikuasai oleh Partai Aceh (33 kursi)[24].

Partai Kursi %
Partai Aceh 33 47,8
Partai Demokrat 10 14,5
Partai Golkar 8 11,6
PAN 5 7,3
PKS 4 5,8
PPP 3 4,4
Partai Daulat Aceh 1 1,5
PDI-P 1 1,5
PKPI 1 1,5
PBB 1 1,5
PKB 1 1,5
Partai Patriot 1 1,5
Total 69 100,0

Sistem Pemerintahan Lokal Aceh

Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.

Sumber daya alam

Perekonomian

Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.

Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.

Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.

Pasca-tsunami 2004

 
Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.

Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.

 
Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat

Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Perbankan

Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.

Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.

Industri

Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya

Pertambangan

  • Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah
  • Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat,
  • Batu gamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan

Pariwisata

Seni dan Budaya

 
Rencong Aceh
 
Rumoh Aceh, rumah adat Aceh di Museum Aceh

Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:

Sastra

  • Bustanussalatin
  • Hikayat Prang Sabi
  • Hikayat Malem Diwa
  • Legenda Amat Rhah manyang
  • Legenda Putroe Neng
  • Legenda Magasang dan Magaseueng

Senjata tradisional

Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).

Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panjang, Perisai Awe, Perisai Teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rumah Tradisional

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Tarian

 
Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907
 
Tari Saman dari Gayo Lues

Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.

Tarian Suku Aceh

Tarian Suku Gayo

Tarian Suku Alas

Tarian Suku Melayu Tamiang

Makanan Khas

 
Mi Aceh tumis dengan daging

Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh. Di Pidie Jaya terkenal dengan kue khas Meureudu yaitu adee. Di Aceh Utara lazim kita temukan kuliner khas lainnya yaitu martabak durian yang lezat. Kuliner Bireun yang paling terkenal adalah sate matang, yaitu sejenis masakan sate daging sapi atau kambing yang berasal dari kota Matang Geuleumpang Dua. Sementara kuliner khas Aceh yang sering ditemukan dijual diluar Provinsi Aceh adalah mie Aceh, sejenis mie kuning basah yang diracik dengan bumbu khas nan pedas.

Pahlawan

 
Cut Nyak Dien ketika ditangkap Belanda

Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

Pahlawan Perempuan

Pahlawan Pria

Tokoh asal Aceh

Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.

Referensi

  1. ^ http://atjehpost.com/read/2012/11/19/28307/368/31/Singa-dan-Burak-Menghiasi-Lambang-Aceh-dalam-Rancangan-Qanun
  2. ^ Jumlah kabupaten di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  3. ^ Jumlah kota di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  4. ^ Jumlah kecamatan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  5. ^ Jumlah gampong/kelurahan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  6. ^ http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6474:aceh-gelar-kongres-bahasa-daerah&catid=13:aceh&Itemid=26
  7. ^ http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=3337
  8. ^ a b How An Escape Artist Became Aceh's Governor, Time Magazine, Feb. 15, 2007
  9. ^ http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b2/Countries_with_Sharia_rule.png
  10. ^ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
  11. ^ United Nations. Economic and social survey of Asia and the Pacific 2005. 2005, page 172
  12. ^ Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Lihat pula http://www.acehprov.go.id/
  13. ^ Shadiqin, Sehat Ihsan: Tasawuf Aceh, Bandar Publishing, Cet-II, 2009.
  14. ^ Azra, Azyumardi: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, Jakarta, Prenata Media, 2006
  15. ^ Shadiqin, Sehat Ihsan (2009)
  16. ^ Ibid
  17. ^ Kawilarang, Harry: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar Publishing, Banda Aceh-Cet. III, 2010
  18. ^ ibid
  19. ^ Al Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka
  20. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123. 
  21. ^ Ramli, Affan: Merajam Dalil Syariat, Bandar Publishing, Cet-1, 2010
  22. ^ ibid
  23. ^ "Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Permendagri No.137-2017) - Kementerian Dalam Negeri - Republik Indonesia". www.kemendagri.go.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-29. Diakses tanggal 2018-07-09. 
  24. ^ a b Partai Aceh dan Demokrat Kuasai Kursi DPRA dan DPR. Media Indonesia. Edisi daring 4-5-2009. Diakses 4-5-2009.
  25. ^ Hasil perolehan suara DPD Provinsi NAD.
  26. ^ "http://www.gemari.or.id/file/gemari71hal42.PDF" (PDF).  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)

Lihat pula

Pranala luar


5°33′N 95°19′E / 5.550°N 95.317°E / 5.550; 95.317