Arjowilangun, Kalipare, Malang

desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur

Arjowilangun adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Arjowilangun
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenMalang
KecamatanKalipare
Kode pos
65166
Kode Kemendagri35.07.11.2008 Edit nilai pada Wikidata
Luas1.356.324 Ha
Peta
PetaKoordinat: 8°11′26″S 112°25′25″E / 8.19056°S 112.42361°E / -8.19056; 112.42361


Gapura Arjowilangun. Gapura ini terletak di Dusun Panggang Lele sebelah timur dan merupakan pintu utama masuk ke Desa Arjowilangun dari arah Kota Malang.

Sejarah Desa Arjowilangun

Pada zaman dahulu kala, ada seorang pengembara yang bernama Mertowijoyo, beliau berasal dari Mataram (sekarang Yogyakarta) putra dari seorang pertapa sakti yaitu Eyang Gimbal. Beliau bertempat di Gunung Tego Pantes Mataram. Meninggal pada tahun 1752 dan meninggalkan 2 (dua) orang putra yaitu.:
     1. Kromo
     2. Mertowijoyo

Kedua kakak beradik ini akhirnya minta izin pamit kepada Eyang Tandu dan Kyai Kasan untuk mengembara ke daerah timur (Jawa Timur). Akhirnya sampailah di Sumbermanjing Kulon – Kabupaten Malang dilanjutkan kearah utara sampailah di Dusun Bandung – Sumberpucung, yang sekarang daerah itu disebut daerah Cengkeg. Kemudian ke arah barat sampailah di Seloayu – Kabupaten Blitar. Disitu mereka berhenti untuk beristirahat dan akhirnya tertidur karena perjalanan yang cukup melelahkan. Dalam tidur beliau bermimpi aneh karena merasa didatangi seorang perempuan cantik bernama Gadung Melati. Kedatangan Gadung Melati memberikan benda-benda wasiat antara lain.: 1. Godo 2. Gendir 3. Bedutan Benda tersebut di gunakan sebagai alat untuk sesaji. Setelah bangun ia terkejut sebab yang dimimpikan kini menjadi kenyataan. Benda–benda yang ada dimimpikannya kini terletak disisinya. Dengan gembira Eyang Mertowijoyo menceritakan mimpinya kepada Eyang Kromo. Dengan bangga hati yang diliputi tanda-tanda heran, mereka meneruskan perjalanan sesuai dengan petunjuknya pada mimpinya, yaitu menuju arah selatan. Sesampainya di tepi Sungai Brantas mereka membuktikan keistimewaan Gendir tersebut diatas air dan memang benar khasiatnya. Sungai Brantas yang sedang banjir dicambuk ternyata airnya benar-benar surut. Lalu mereka menyeberang ke selatan dan berhenti di bukit yang kini disebut Gunung Gurit. Disitu mereka mendirikan rumah kecil, membuat alat-alat pertanian serta membuka tanah pertanian. Disamping membuka tanah kering mereka juga membuka persawahan baru diselatan Gunung Gurit. Tempat itu disebut Ngandong karena banyak tanaman/tumbuhan Andong.

           Kemudian mereka meninggalkan Gunung Gurit, menuju kearah selatan dengan membawa alat-alat yang ada di Gunung Gurit berupa Paron dan Tumbak Gondok. Tetapi yang berangkat hanya Eyang Kromo, sebab Eyang Mertowijoyo harus menerima tamunya dari   Mataram yaitu Eyang Tandu dan Kyai Kasan. Setelah beberapa saat bertemu, mereka sepakat bahwa tanah Gunung Gurit dan tanah Ngandong diserahkan kepada Eyang Tandu dan Eyang Mertowijoyo. Lalu mereka meneruskan babat hutan sampai dihutan yang banyak pohon duriannya, maka daerah tersebut dinamakan Dusun Duren (Jawa:Durian). Lalu meneruskan kearah selatan dan sampailah mereka disuatu tempat yang begitu angker. Pada saat itu pengikut Eyang Tandu dan Eyang Mertowijoyo kelaparan, maka Eyang Mertowijoyo memerintahkan pengikutnya untuk mencari ikan disekitar daerah itu. Alhasil, pengikut Eyang Tandu dan Eyang Mertowijoyo mendapatkan ikan lele yang besar-besar dan banyak. Pada saat itu juga mereka membakar atau memanggang ikan lele, maka tersebutlah daerah itu manjadi Dusun Pangganglele. Lalu Eyang Mertowijoyo meneruskan kearah barat, sampai pada suatu tempat, terjadi pertempuran antara pasukan Pangeran Aryoblitar dari Blitar dengan pasukan Belanda. Banyak barisan prajurit yang berbaris  rapi untuk melawan Belanda. Maka daerah itu disebut Dusun Barisan. Lalu Eyang Mertowijoyo meneruskan kearah selatan, Eyang Mertowijoyo menemui keanehan disini, karena terdapat penginapan/pedaleman yang semua bahan bangunannya berasal dari pohon loh. Maka daerah tersebut dinamakan Dusun Lodalem. Disini pengikut Eyang Mertowijoyo bertambah banyak, lalu meneruskan kearah timur. Disini juga Eyang mertowijoyo menjumpai keanehan-keanehan. Eyang mertowijoyo memasuki hutan yang kesemua pohonnya tidak rata atau mentekol-mentekol, maka daerah tersebut dinamakan Dusun Lotekol.

Sementara Eyang Kromo membuka lahan pertanian baru di selatan Dusun Pangganglele yang disebut Sumbersuko, karena disitu terdapat mata air yang jernih dari hamparan sawah yang luas. Namun disisi keberhasilan ini ada kejadian suatu peristiwa yang sangat mengerikan, yakni Eyang Tandu tewas diterkam harimau, pada hari Jum’at Pahing bulan Selo (Tahun Jawa). Akibat kejadian tersebut pengikut Eyang Tandu kacau dan resah, sehingga mereka bergabung kembali dengan Eyang Kromo dan Eyang Mertowijoyo. Dengan terjadinya peristiwa diatas yang ditandai tewasnya Eyang Tandu, penduduk mohon pada Eyang Kromo dan Eyang Mertowijoyo, agar diizinkan mengadakan Selamatan atau Bersih Desa. Maka pada hari Jum’at Pahing bulan Selo selalu diadakan Bersihdesa setiap setahun sekali. Untuk memohon keselamatan dan ketentraman, dengan tidak melupakan jasa Eyang Tandu dan Mbah Gadung Melati. Setelah selamatan itu Eyang Kromo bertambah namanya menjadi Eyang Kromo Pisto (Pisto sama dengan pesta). Tak lama kemudian Eyang Kromo meninggal dunia dan pimpinan diganti oleh Eyang Demang Mertowijoyo. Setelah itu Eyang Mertowijoyo menamakan desa tersebut dengan nama ARJOWILANGUN. Arjo yang berarti Rejo atau Ramai, Wilangun yang berarti Wilayah. Jadi Arjowilangun artinya Wilayah yang ramai, karena letak desa ini berada ditengah-tengah hutan dan diapit oleh sungai besar, berharap suatu saat nanti desa ini menjadi desa yang ramai dan gemah ripah loh jinawi. Setelah itu Eyang Mertowijoyo diangkat menjadi Demang, beliau mendapat wasiat lagi berupa iket Gadung Melati, iket Bangun Tulak, Celana Prabunatan dan baju Kerong Hitam dengan bebetnya.

Sahabat Eyang Mertowijoyo yang bernama Kyai Domo mengetahui bahwa Mbah Gadung Melati adalah seseorang yang pada suatu saat dapat menjelma Roh Halus. Hubungan antara Eyang Demang Mertowijoyo dan Mbah Gadung Melati menurunkan seorang putra yang bernama Prabu Joko. Selain Itu Eyang Demang Mertowijoyo mempunyai seekor kuda yang sangat buas atau biasa disebut Mbah Jaran dengan seorang pekatik yang bernama Mbah Loco Murea. Antara Kuda dan Mbah Loco Murea adalah sahabat sejati Eyang Demang Mertowijoyo, karena kemanapun Eyang Demang Mertowijoyo pergi, mereka selalu mengikutinya. Pada tahun 1860 Eyang Mertowijoyo dan Mbah Loco meninggalkan Desa Arjowilangun, dengan mewariskan benda-benda pusaka berupa: Iket Gadung Melati, Iket Bangun Tulak, Gendir, Tlupak, Bedutan, Kain Jarik/Batik Barong Cantel, Celana Prabunatan, Baju Kerong, Bebet Hitam dan Pedang yang kini disimpan di Padepokan Eyang Demang Mertowijoyo, Dusun Pangganglele-Desa Arjowilangun-Kec. Kalipare-Kab. Malang. Sepeninggal Eyang Demang Merowijoyo, pemerintahan dilanjutkan oleh Mbah Setro.

Catatan:

           Kini nama Eyang Demang Mertowijoyo diabadikan sebagai nama sebuah Padepokan yang ada di Dusun Pangganglele, Sementara Mbah Setro diabadikan menjadi nama lapangan olahraga yakni: Lapangan Setro yang berada di Dusun Barisan Selatan. Dan dalam peristiwa diterkamnya Eyang Tandu oleh Harimau menjadi awal dari tradisi Bersihdesa yang turun temurun sampai sekarang yang diperingati setiap tahun sekali. Pada hari Jum’at Pahing bulan Selo (Tahun Jawa). Dalam pesta adat atau Bersihdesa, selalu ada ritual khusus untuk merayakannya. Diantaranya:

Napak Tilas : Untuk mengenang jejak para leluhur Desa Arjowilangun. Start dimulai dari Gunung Gurit, Dusun Duren dan finish di Balaidesa Desa Arjowilangun, Dusun Barisan Timur. Dengan rute Gunung Gurit-Dusun Duren-Dusun Bengkok-Dusun Donggampar-Dusun Barisan Tengah-Dusun Lodalem-Dusun Lotekol-Dusun Bonsari-Dusun Pangganglele-Balaidesa Arjowilangun, Dusun Barisan Timur.

Gambar 1.2 Kirab Leang-leong Desa Arjowilangun. Kirab Leang-Leong/Budaya: Untuk mengarak Mbah Sukoco dan Mbah Sukeci untuk mengelilingi Desa Arjowilangun. Mbah Sukoco dan Mbah Sukeci di gambarkan dengan bentuk arca yang diyakini warga ada Roh Halus dari nenek moyang/leluhur Desa Arjowilangun. Dengan diiringi budaya Jawa atau budaya local, misalnya: Reog, Jaranan, Jaran Joged, Bantengan, Kentrung Sholawat dan lain sebagainya.

Gambar 1.3 Kesenian Jaran Joged khas Desa Arjowilangun. Beksane Mbah: Yaitu upacara sacral yang wajib dengan 7 gending yaitu:

     1. Eling-eling
     2. Gadung Melati
     3. Arbanat 
     4. Onang-onang
     5. Sekar Gadung
     6. Celeng Mogok
     7. Boyong

Sepasare Mbah: 4 hari sesudah acara Bersihdesa maka penjemputan Mbah Sukoco dan Mbah Sukeci harus dilakukan dengan diiringi Kentrung Sholawat untuk dikembalikan ke Keputren yang berada dikediaman Bapak Ponimen, Dusun Barisan Selatan. Add caption

Gambar 1.4 Suasana Dusun Barisan, Ibukota Desa Arjowilangun.


Tempat Sejarah dan Keramat


1. Padepokan Eyang Demang Mertowijoyo

      Merupakan tempat Pesareyan Eyang Demang Mertowijoyo yang sangat disakralkan oleh masyarakat Desa Arjowilangun. Padepokan ini terletak di Dusun Pangganglele. Selain itu juga Padepokan ini menyimpan beberapa peninggalan pusaka Eyang Demang Mertowijoyo, diantaranya: Pecut, Gendir, Batik Parang Cantel dll.


2. Punden Mbah Lanjar Kuning

        Merupakan tempat bersemayamnya Mbah Lanjar Kuning beliau juga adalah tokoh leluhur Desa Arjowilangun. Terletak di Dusun Barisan Timur, dekat jalan raya. Punden ini sangat dikeramatkan oleh masyarakat Desa Arjowilangun. Menurut cerita, Mbah Lanjar Kuning pernah menjalin cinta dengan Mbah Sukoco. Namun cintanya pupus ketika Mbah Sukeci merebut Mbah Sukoco dari Mbah Lanjar Kuning. Akhirnya, terjadi perseteruan antara Mbah Lanjar Kuning dengan Mbah Sukeci. Sampai saat inipun kalau rombongan Leang-Leong diarak, tidak boleh dilewatkan didepan Punden Mbah Lanjar Kuning. Menurut penuturan warga, jika arak-arakan Leang-leong masih dilewatkan didepan Punden Mbah Lanjar Kuning, maka Mbah Sukeci yang digambarkan dengan bentuk arca kepalanya akan minger dan meneteskan air mata. Entah cerita ini benar atau tidak, yang jelas ini memang benar-benar terjadi.

Gambar 1.4 Arca Mbah Sukoco dan Mbah Sukeci.

3. Arca Paron

        Sebuah Arca atau patung yang berbentuk seperti tempat pemujaan yang terletak di area Pemakaman Dusun Pangganglele. Arca ini sampai sekarang masih digunakan untuk pemujaan oleh masyarakat Hindu, Desa Arjowilangun. 

4. Pesareyan Mbah Ampel

          Mbah Ampel merupakan salah satu tokoh  babat alas Desa Arjowilangun. Makam Mbah Apel terletak di Dusun Lodalem. 

5. Gunung Gurit Merupakan tempat pertama Eyang Demang Mertowijoyo manapakkan kakinya di bhumi Arjowilangun. Dalam setiap acara Bershedesho, Gunung Gurit adalah tempat pertama untuk melakukan upacara sacral. Yaitu kegiatan Napaktilas Sing Babat Alas Desa Arjowilangun. Gunung Gurit terletak di Dusun Duren. Teks subscriptTeks superscript

Kondisi Geografis

Arjowilangun merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Malang yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blitar. Wilayah Arjowilangun terbagi atas 5 dukuh dan 3 dusun bagian. Diantaranya adalah Barisan, Panggang Lele, Lotekol, Lodalem, Duren, Bonsari, Dung Dampar, dan Bengkok. Arjowilangun merupakan desa termaju dan termodern di antara desa-desa lainnya di kecamatan Kalipare.

Desa ini sebagai penyumbang TKI terbesar di kecamatan Kalipare sebagai pahlawan devisa negara. Sebuah Koperasi Posdaya Purna TKI yang di beri nama “Senang Hati” diresmikan oleh Bupati Malang Rendra Kresna pada tanggal 4 juli 2012, dimana desa ini merupakan basis TKI di kabupaten Malang [1].

Para TKI disini tergolong cerdik dengan membuka jaringan usaha di luar negeri dimana tempat mereka dulu bekerja. Mereka menjalin hubungan bisnis dengan mitra usaha di luar negeri, utamanya menjadi mitra yang bisa menyalurkan produk lokal asal Desa Arjowilangun yang dapat dijual di sana [2].

Pusat perekonomian desa Arjowilangun berada di Dusun Lodalem dan Dusun Panggang Lele, karena di kedua Dusun tersebut terletak pusat pasar di Desa Arjowilangun. Oleh karena itu kegiatan perekonomian penduduk desa Arjowilangun terpusat di dusun Panggang Lele dan Lodalem. Dusun Barisan dianggap sebagai Ibukotanya karena selain ditempati gedung Balai Desa, Barisan terdapat lebih banyak pusat-pusat perbelanjaan daripada dusun-dusun lainnya di Arjowilangun, seperti pertokoan sekelas "mini market" atau swalayan, bengkel motor, warnet, counter HP (toko HP), toko pakaian serta percetakkan.

Desa Arjowilangun juga menyimpan beberapa peninggalan bersejarah. Seperti keris, tongkat, pecut (cambuk) dan masih banyak yang lainnya, yang kini di simpan di Padepokan/Sanggar Eyang Demang Merthowijoyo di dusun Panggang Lele. Arjowilangun juga merupakan salah satu desa yang setiap tahunnya selalu mengadakan even tahunan yaitu Bersihdeso (Bersih Desa) [3]. Acara ini adalah memperingati para leluhur desa Arjowilangun sing babad alas gong lewang lewong (yang pertama kali membuka desa).

Perayaan tersebut biasanya diadakan pada hari jum'at pahing bulan Selo(Tahun Jawa) atau Dzulhijjah (Tahun Islam). Acara ini dimulai dengan Napak Tilas untuk mengenang jejak para leluhur, marathon, dan Arak-arakan Mbah Leang-Leong. Selain itu juga ada hiburan Orkes Melayu, Parade Band, Jaranan (Kuda Lumping), bazar murah dan masih banyak lagi yang lainnya. Arjowilangun juga disebut sebagai desa budaya karena memiliki keanekaragaman budaya, suku, agama dan bahasa. Selain itu, di desa Arjowilangun juga terdapat arca peninggalan pada zaman dahulu yaitu Punden yang kini berada di dusun Barisan tepatnya di depan kantor desa Arjowilangun.

Selain itu juga ada makam Mbah Ampel yang terletak di dusun Lodalem, ada arca Paron yang terdapat di area pemakaman dusun Pangggang Lele serta arca kepala Mbah Sukoco dan Mbah Sukeci yang disimpan di Padepokan Eyang Demang Mertowijoyo, Panggang Lele.

Suku-suku di Arjowilangun juga beragam, ada keturunan China, Kalimantan, Madura, Jawa, Osing dan masih banyak yang lainnya. Untuk penggunaan bahasa, Arjowilangun masih mengunnakan bahasa Jawi Medok atau bahasa kulonan (logat Jawa Tengah). Walaupun desa Arjowilangun masuk wilayah kabupaten Malang, tetapi bahasanya berbeda dengan bahasa Malangan (logat Jawa Timur). Selain itu ada juga yang menggunakan bahasa Madura, terutama masyarakat Dusun Bengkok karena mayoritas penduduknya adalah keturunan orang Madura.

Disamping bahasa tersebut juga ada bahasa Arjowilangunan, yaitu bahasa Walikan (bahasa yang dibalik cara pengucapannya berdasarkan kosa kata). Pengucapannya hampir sama dengan bahasa walikan Malangan, tetapi kalau di Arjowilangun masih ada pengejaannya seperti orang Arab. Contoh; njalok menjadi kolajn atau dibaca KOLAJE' EN [butuh rujukan].

Desa Arjowilangun juga mempunyai gedung-gedung pendidikan yang sudah maju mulai tingkat TK sampai SMK. SMP dan SMK Islam disini termasuk salah satu sekolah yang termaju di Kecamatan Kalipare. Untuk seni dan budaya, Arjowilangun mempunyai banyak sekali diantaranya seni Reog Ponorogo, Jaranan, Ludruk, Tayub, Wayang, Pencak, Shalawat Terbangan Islam, Shogukan Madura, Sakera, dan masih banyak yang lainnya. Diharapkan kelestarian desa Arjowilangun tetap terjaga. Untuk melihat sejarah desa Arjowilangun klik di sini [4]

Pembangunan

Desa dengan jumlah penduduk sekitar 13 ribu jiwa dari 700 kepala keluarga (KK) ini tercatat sebagai empat desa kategori terbaik di Jawa Timur dan meninggalkan lebih dari 360 desa di kabupaten Malang. Sejak tahun 2009 - 2010 tersalur sekitar 1,5 miliar dana swasembada yang mayoritas berasal dari para buruh migran, dimana desa ini merupakan kantong TKI di kabupaten Malang. Hasil swasembada warga ini digunakan untuk memperbaiki drainase kampung (saluran air), pembangunan pos kamling serta jalan-jalan di desa [5].

Pembagian Wilayah

  • Dusun Barisan
  • Dusun Bengkok (Pemekaran Dusun Barisan)
  • Dusun Bonsari (Pemekaran Dusun Pangganglele)
  • Dusun Donggampar (Pemekaran Dusun Barisan)
  • Dusun Duren
  • Dusun Lodalem
  • Dusun Lotekol
  • Dusun Pangganglele

Keagamaan

  • Islam
  • Buddha
  • Kristen
  • Katholik
  • Hindu

Batas-batas desa

Luas wilayah

Luas wilayah Desa Arjowilangun adalah 1.356,324 Ha, terdiri dari :

  • Luas tanah sawah : 353,645 Ha.
  • Luas tanah tegal : 669,324 Ha.
  • Luas tanah pekarangan  : 155,000 Ha.
  • Luas tanah perumahan  : 154,885 Ha.
  • Jalan desa : 19,470 Ha.
  • Luas tanah makam : 4,000 Ha.

Wilayah desa terbagi dalam 5 Dukuh, 3 dusun bagian dengan 7 RW dan 68 RT


Referensi