Molenvliet

museum di Indonesia

Molenvliet adalah suatu kawasan bersejarah yang terletak di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.[1] Di kawasan ini, dibangun kanal Molenvliet yang menghubungkan Oud Batavia (Kota Tua) dan Weltevreden (Lapangan Banteng dan Monas).[2] Kanal ini dibangun oleh seorang kapiten Tionghoa bernama Phoa Bing Gam pada tahun 1648 dimana saat itu Batavia dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen[3]. Di masa itu, sebelum dimulainya pembangunan kanal, tingkat kehidupan di pusat kota Batavia memburuk karena kualitas air dan sanitasi yang kurang baik. Selain itu, Batavia pada abad ke-17 ditandai dengan mewabahnya penyakit malaria akibat dari banyaknya daerah rawa di kawasan tersebut.[4] Kondisi ini membuat banyak orang Belanda mulai berpindah tempat tinggal ke luar pusat kota Batavia. Setelah pembangunan kanal selesai, banyak juga dari mereka yang berpindah ke kawasan ini dan membangun rumah di sepanjang Molenvliet yang kemudian menjadi suatu kawasan elit [1]. Sesuai dengan nama pembuatnya yaitu Kapiten Phoa Bing Gam, saluran kanal ini diberi nama Bingamvaart yang kemudian pada tahun 1661 diubah namanya menjadi Molenvliet [5]. Selain untuk mencegah banjir, kanal Molenvliet dibuat untuk menjadi sarana transportasi angkutan kayu, bata, dan material lainnya untuk pembangunan rumah mewah warga Belanda. Selain itu, kanal ini juga digunakan untuk mengangkut kebutuhan sehari-hari seperti barang dagangan, hasil pertanian, dan juga perkebunan. Di tahun 1661, VOC menaikkan arus air Molenvliet untuk menggerakkan usaha penggilingan. Pengaturan debit air di kanal ini dibantu oleh Kanal Gunung Sahari [6]. Lebar kanal adalah sekitar 15 meter dengan rancangan awal selebar 25 meter dengan tanggul sebesar 3 m x 2 m [5].

Suasana Molenvliet tempo dulu

Etimologi

Molenvliet berasal dari kata molen yang berarti kincir dan vliet yang berarti aliran. Pada sisi kanan kanal, banyak terdapat industri penggilingan gula, produksi arak, dan pabrik pembuatan mesiu yang dilengkapi dengan kincir angin. Oleh karena itu, kawasan ini disebut Molenvliet atau "Aliran Kincir".[6]

Bangunan di Sepanjang Molenvliet

 
Vila milik Reiner de Klerk yang kini menjadi Gedung Arsip Nasional
 
Gedung Harmonie di tepi kanal Molenvliet
 
Kantor cabang NHM di Molenvliet

Pada abad ke-18, para pejabat dan bangsawan Belanda banyak yang membangun rumah luar-kota (buitenverblijven) di daerah Molenvliet. Salah satunya adalah Reiner de Klerk, Gubernur Jenderal VOC tahun 1777-1790 yang membangun sebuah vila atau rumah berukuran 27.000 meter persegi di tahun 1760. Pada tahun 1925, bangunan tersebut menjadi Gedung Arsip Nasional dan hanya tersisa 9.000 meter persegi.[1][6] Di dekat Gedung Arsip Nasional ini, terdapat sebuah jalan kecil yang dinamai Jalan Kesejahteraan. Dulunya, jalan ini disebut Gang Madat karena kawasan tersebut merupakan pusat perdagangan opium sekaligus daerah prostitusi.[1]

Bangunan bersejarah lain yang dibangun di sepanjang kawasan ini adalah pabrik gas pertama di Batavia yang terletak di Gang Ketapang, Gedung Harmonie, Hotel Ernst, dan Hotel des Indes. Hotel Ernst yang terletk di ujung Jalan Hayam Wuruk (Molenvliet Oost) merupakan bangunan milik Gubernur Jenderal VOC tahun 1761-1775 yang bernama PA van de Parra. Di tahun 1890, hotel tersebut berubah nama menjadi Hotel Wisse hingga dihancurkan pada tahun 1920[4]. Juga terdapat kantor cabang dari Factorij atau NHM (bahasa Belanda: Nederlandsehe Handel Maatsehappij) yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda. Perusahaan dagang ini disebut-sebut sebagai penerus Dutch East India Company atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (bahasa Belanda: Vereenigde Oostindische Compagnie) yang telah dibubarkan pada tahun 1799 [7]. Perusahaan tersebut kemudian dinasionalisasi hingga kantor pusat dari perusahaan tersebut sekarang menjadi Museum Bank Mandiri[8].

Aliran Molenvliet yang dihubungkan Sungai Ciliwung dan membentang dari Pancoran di utara hingga persimpangan Jalan Majapahit di selatan, semakin diperpendek pada abat ke-20. Penimbunan Ciliwung di Jembatan Toko Tiga dan Pasar Glodok, serta ditambah penimbunan di Jalan Pintu Besar Selatan hingga Jalan Labu menyebabkan aliran kanal ini memendek.[6]

Referensi

  1. ^ a b c d 'Molenvliet' marked Batavia's golden age. Sari P. Setiogi. 23 April 2003. The Jakarta Post. Diakses pada 6 Mei 2013.
  2. ^ KJB Siap Menjelajah Kota Tua
  3. ^ Marcus A.S; Pax Benedanto (2007). Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Jilid 10. Jakarta: KPG (Kepustaan Populer Gramedia). hlm. 195–196. ISBN 978-9799100795. Diakses tanggal 8 Mei 2013. 
  4. ^ a b Beng Gam dan Kejayaan Molenvliet. 22 April 2009. WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto. Wisata Kota Tua. Diakses pada 6 Mei 2013.
  5. ^ a b Mulyawan Karim (2009). EKSPEDISI CILIWUNG, Laporan Jurnalistik Kompas, Mata Air - Air Mata. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. hlm. 91–92. ISBN 978-9797094256. Diakses tanggal 8 Mei 2013. 
  6. ^ a b c d Molenvliet. Jakarta.go.id. Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta. Diakses pada 6 Mei 2013. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "ja" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  7. ^ Nederlandsehe Handel Maatsehappij (NHM); Jakarta.go.id; Diakses pada 8 Mei 2013.
  8. ^ Nederlandsche Handel-Maatschappij; ABNAmro.com; Diakses pada 8 Mei 2013.