Plompong, Sirampog, Brebes

desa di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah

Plompong adalah sebuah desa di kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Plompong ini bisa ditempuh dari kota terdekat, yaitu Bumiayu yang terletak di ruas jalan antara Tegal dan Purwokerto. Dari Bumiayu jaraknya sekitar 10 km ke arah timur. Untuk mencapai desa ini bisa ditempuh dari 2 jalur. Yang pertama dari Bumiayu melalui Desa Langkap dan Cilibur. Dan yang kedua dari Bumiayu melalui Desa Benda dan Manggis, Kaliloka. Dari Bumiayu sepanjang 7 km jalannya cukup lebar dan halus. Tetapi setelah sampai Desa Manggis sepanjang 3 km menuju desa ini, jalannya sempit dan kasar, sehingga mobil sangat sulit mencapai lokasi. Sangat terkesan desa ini luput dari perhatian dan dianaktirikan oleh Pemerintah. Apalagi jembatan utama yang menuju desa ini hancur dilanda banjir bandang beberapa waktu yang lalu. Desa yang satu ini terletak di lereng sebelah barat dari Gunung Slamet yang masih menyimpan aktifitas vulkanik. Topografinya berbukit-bukit dan bergelombang karena terletak di pegunungan, dengan kondisi jalan masih kurang bagus. Ketinggian antara 500 sampai 800 m dpl. Pemandangan alamnya masih cukup asri. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Ada juga sebagai pedagang, wiraswasta, buruh, dan pegawai. Banyak pula yang merantau ke luar daerah, terutama ke wilayah Jabodetabek.

Plompong
Peta lokasi Desa Plompong
Peta lokasi Desa Plompong
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenBrebes
KecamatanSirampog
Kode pos
52272
Kode Kemendagri33.29.05.2012 Edit nilai pada Wikidata
Luas6000 Ha
Jumlah penduduk11000
Kepadatan1/100 M2

Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mlayang dan Manggis, sebelah Barat dengan Desa Benda dan Desa Adisana, sebelah selatan dengan Desa Cilibur, sebelah timur dengan Desa Wanareja, dan Desa Sridadi. Terdapat sebuah aliran sungai yang cukup fenomenal, karena selalu keruh dan ketika musim hujan alirannya cukup deras dan menakutkan, yaitu Sungai Keruh. Di bagian timur desa terdapat sebuah puncak bukit yang bentuknya sangat unik, seperti tumpeng nasi. Disebut dengan Gunung Sumping. Terdapat tugu sebagai penanda Titik Trianggulasi di puncaknya yang banyak ditumbuhi pepohonan jenis bambu. Dari puncak bukit yang tinggi ini bisa dilihat pemandangan ke berbagai penjuru yang sangat eksotis dan menakjuban. Kita bisa menyaksikan perkampungan penduduk, hamparan sawah, kebun, lembah, perbukitan, gunung-gunung, hutan dan sungai-sungai yang berkelok-kelok di kejauhan.

Kepala Desa yang pernah memimpin di desa ini adalah: H. Zaenul Muttaqin (Kepala Desa yang legendaris), Suhaemi, H. Nasucha, H. Bajuri, H. Syaefullah, Ihya Ulumuddin, S.Pd.I., dan sekarang M. Fathony. Pertanian di desa ini cukup berkembang, walaupun sekarang kondisi saluran irigasinya banyak yang rusak. Produksi utama adalah padi, yang cukup terkenal karena berasnya jika dimasak menjadi nasi yang amat "pulen" dan lezat. Juga menghasilkan sayuran. Banyak terdapat sumber mata air, walaupun debitnya relatif kecil, namun disamping cukup digunakan penduduk setempat juga digunakan untuk desa tetangga.

Walaupun desa ini cukup terisolir karena kondisi dan akses jalan yang tidak bagus, tetapi dalam hal pendidikan perlu mendapat acungan jempol. Di sini terdapat beberapa TK/RA/ABA, SD, MI, 2 MTs, 2 SMK, 1 MA, dan 2 pondok pesantren. Banyak sudah warga yang berpendidikan tinggi. Dalam hal adat istiadat masih menerapkan budaya lokal yang arif dan kental dengan nuansa agama Islam.

Desa ini terdiri dari beberapa pedukuhan, yang beberapa diantaranya mempunyai nama yang unik, yaitu: (1) Plompong Krajan sebagai "ibukota" dan pusat kegiatan pemerintahan dan pendidikan; (2) Kedung Benter; (3) Cirendu; (4) Pucung Lancar; (5) Pring Jajar; (6) Gempong; (7) Dukuh Ceper; (8) Ciku Kidul; (9) Ciku Lor; (10) Karang Mangu; (11) Legok Kenang; (12) Karang Kemiri; (13) Karang Gedang; (14) Cilontar/Sorangan; (15) Dukuh Ares; (16) Monggor; (17) Luwung; dan (18) Gunung Sumping.

Pada awal tahun 1980-an di wilayah perbukitan yang masih berhutan lebat, masih hidup dan mudah dijumpai berbagai binatang liar, seperti harimau jawa, macan kumbang, rusa/ kijang, babi hutan, ular besar, kucing hutan, burung elang, dan alap-alap, dan banyak spesies burung lainnya. Namun setelah terjadi penjarahan hutan yang membabi buta mulai tahun 1997, habitat binatang tersebut rusak. Akibatnya saat ini binatang-binatang tersebut sirna, dan sebagian berpindah ke wilayah yang lebih tinggi karena disana hutannya masih cukup lebat.

Dalam sejarah, desa ini sewaktu zaman kolonial Belanda sudah cukup dikenal. Banyak pejuang kemerdekaan yang lahir dari desa ini. Sewaktu penjajahan Jepang, penderitaan penduduk sangat parah. Makanya bangkitlah semangat patriotisme dari para nenek moyang yang hidup di kala itu untuk melawan penjajah. Dalam masa-masa agresi militer Belanda, desa ini juga menjadi ajang pertempuran yang konon cukup sengit. Rakyat mengungsi karena ketakutan dan khawatir menjadi korban, menuju hutan-hutan di perbukitan yang saat itu masih sangat lebat. Bahkan penduduk dari desa lain juga banyak yang mengungsi di wilayah desa ini. Ketika muncul pemberontakan DI/TII pada tahun 1950-an, desa ini menjadi wilayah operasi militer yang intensif, karena menjadi tempat persembunyian beberapa anggota. Namun demikian, desa ini tetap menyimpan berbagai kisah perjuangan patriotik dan heroik dari para penduduknya pada masa yang lalu. (Edited by Drs. Aziz Iqbal, M.Si., anake Bapak H. Maktubi Noer dan Ibu Hj. Siti Torisah, Plompong Krajan).