Politik Minangkabau
Politik Minangkabau adalah suatu sistem politik yang berlandaskan filosofi demokrasi, egalitarian, dan keadilan sosial. Sistem politik tersebut telah berlaku dalam perpolitikan masyarakat Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu, dan dianggap oleh berbagai pihak sebagai sebuah sistem yang modern dan mendahului zamannya.
Pra-kemerdekaan Indonesia
Jauh sebelum kedatangan kolonialis Belanda, sistem sosial dan politik dalam masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem Nagari yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah triumvirat yang disebut Tigo Tungku Sajarangan dalam sebuah limbago (lembaga) yang disebut Kerapatan Adat Nagari.
Tigo Tungku Sajarangan terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai dan kaum ulama.
- Kaum Adat diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada dalam sistem adat Minangkabau, seperti suku Koto dan Piliang, Bodi dan Caniago serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/klan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau keluarga besar.
- Kaum Cerdik Pandai diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai tapi tidak memegang posisi dalam struktur adat.
- Kaum Ulama diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.
Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika bahkan juga konflik dalam suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah diperdebatkan dan dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih tinggi seperti raja.
Pasca-kemerdekaan Indonesia
Sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter merupakan antitesis bagi sistem politik besar lainnya di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien dan feodalistik. Dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing dan berdialektika dalam perpolitikan Indonesia dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Pada awal-awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik dari tokoh-tokoh politik yang berasal dari Minangkabau, seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Agus Salim dan lain-lain, mendapatkan tempat yang lebih leluasa dengan berlakunya sistem parlementer yang diwarnai dengan beragam partai politik. Bagi sebuah negara yang masih muda, ternyata sistem ini sering menimbulkan kegaduhan politik, sehingga berakibat pada jatuh bangunnya pemerintahan dan seringnya pergantian kabinet.
Sistem ini berlaku sampai keluarnya Dekrit Presiden pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sampai tahun 1965, dimana akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Soeharto. Selama sekitar 32 tahun selanjutnya, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Barulah pada tahun 1998, dengan adanya reformasi, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, walaupun masih bersifat prosedural atau belum substansial.
Rujukan
- Graves, Elizabeth E. (2007). Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Adat Minangkabau & Merantau Tsuyoshi Kato. Diakses 6 Juni 2013.
Pranala luar
- Nilai Egalitarian Dan Demokratis Masyarakat Minangkabau Berdikari Online, 26 Juli 2010. Diakses 6 Juni 2013.
- Kun Fayakun, Jadilah Indonesia Lentera Timur, 12 Juli 2011. Diakses 6 Juni 2013.
- Berpikir Minang untuk Indonesia Kompasiana. Diakses 6 Juni 2013.