Kerajaan Padang
Datuk Bandar Kajum
Riwayat menceritakan, bahwa ada seseorang dari Pagurawan bernama Datuk Bandar Kajum meninggalkan kampungnya melawat ke daerah Padang (Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya), bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, karena diserang kerajaan lain.
Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama Tanjung Marulak di wilayah Tuan Rambutan – daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung Marulak inipun mereka mendapat serangan dari Kerajaan Raya, kemudian Datuk Bandar Kajum mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di pinggir sungai Padang.
Bersama dengan beberapa pengikutnya Datuk Bandar Kajum mendirikan rumah dan kampung yang dipagari dengan kayu yang kokoh di Tebing tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampungnya.
Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Datuk Bandar Kajum, melihat musuh yang datang, seluruh keluarga Datuk Bandar Kajum dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.
Diceritakan, Datuk Bandar Kajum memperoleh bantuan dari administratur kebun Rambutan, sehingga Datuk Bandar Kajum dapat mengalahkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan.
Tempat itu kemudian terus berkembang menjadi tempat pemukiman dan pemakaman Datuk Bandar Kajum dan keluarga serta pengikut-pengikutnya. Konon itulah asal usul Kota Tebing Tinggi yang sekarang disebut Tebing Tinggi Lama.
Kerajaan Padang
Jauh sebelum kedatangan Datuk Bandar Kajum, di Tebing Tinggi dan sekitarnya telah berdiri kerajaan Padang. Bahkan Datuk Bandar Kajum di-Datuk-kan oleh Kerajaan Padang dimasa Raja Goraha memerintah. Kerajaan Padang adalah kerajaan Melayu yang kini menjadi Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya.
Jika mengikuti silsilah Saragih Garingging yang pernah dituliskan Taralamsyah Saragih serta hikayat versi marga ini, Adalah Dasalak dimulai dari putra Raja Nengel yaitu Tuan Mortiha. Menurut ‘hikayat’ yang lain Dasalak adalah nama, yaitu berita Raja menemukan seorang bayi di atas rumpun Bambu saat sedang berburu ke hutan, yang disebut juga “Jolma napultak humbai buluh”. Lalu anak bayi itu diberi nama : Dasalak lahir tahun berkisar 1690, selisih umur 1 tahun dengan Raja Bolon. Permaisuri sangat sibuk dengan pekerjaan mengurus kedua bayi yang masih kecil itu, walaupun dibantu dengan kalangan istana. Pertumbuhan kedua anak itu berjalan dengan baik,terlihat kemiripan mereka seolah olah kembar, karena kecerdasan dan perawakan mereka hampir sama. Sejak berumur 9 tahun kedua anak itu masing-masing diberikan permainan Gasing. Raja Bolon diberi Gasing yang terbuat dari emas,sedangkan si Dasalak terbuat dari perak. Dengan demikian,dari jauh sudah bisa dibedakan yang mana Raja Bolon dan yang mana Dasalak.
Di kisah lain Dasalak bermula dari hubungan semarga hingga melahirkan anak oleh Raja Nengel. Konon dari sinilah muncul Kerajaan atau pun Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sekitarnya.
WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi ceritera pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal.
Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.
Jika dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi sekitarnya ini.
Menurut penuturan orang-orang tua tempatan, berbagai rujukan dan catatan Putra Praja (1-1-1964), kisah Kerajaan Padang di Tebing Tinggi dimulai dari Raja:
1. Tuan Oemar Baginda Saleh Komar
2. Marah Sudin
3. Raja Saladin
4. Raja Adam
5. Raja Syahdewa
6. Raja Sidin
7. Raja Tebing Pangeran (1806-1823)
8. Marah Hakim (Raja Geraha 1823-1870)
9. Maharaja Muda Haji Muhammad Nurdin (Wazir Negeri Padang 1870-1914)
10. Raja Alamsyah (1928-1931)
11. Raja Ismail (1931-1933)
12. Raja Hassim (1933-1946)
Tuan Oemar Baginda Saleh Komar yang membuat istana di Bajenis – Tebing Tinggi. Tuan Oemar Baginda Saleh Komar memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Puang Jaenap. Setelah Tuan Oemar Baginda Saleh Komar mangkat, abad 16, Raja beralih kepada Marah Sudin. Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Marah Saladin yang terpusat di Bulian. dizamannya terkisah banyak jejayaan, meski umur beliau tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin, Raja Pangeran.
Di zaman Raja Pangeran dan dibantu Raja Syahbokar ini, banyak berdatangan orang luar Tebing Tinggi untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata, Rotan dan lainnya. Di zaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Melayu atau Raja Pangeran / Syahbokar memanggil putra Melayu gelar Raja Tebing Pangeran dengan istri pertamanya yaitu Raja Jamta Melayu untuk membantu beliau mengatasi upaya ekspansi Deli.
Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan ksatria berdarah Bugis.
Raja Padang menugaskan putranya, yaitu Raja Jamta Melayu untuk memimpin perlawanan. Jamta Melayu ini memimpin peperangan hingga Deli; Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan yang dipimpin Jamta Melayu itu hingga ke wilayah dekat Penggalangan. Deli kalah telak hingga wilayah itu banjir darah; ibarat sungai dengan darah kering yang menghitam, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Sungai Berong (Berong = Hitam – pinggiran luar Tebing Tinggi) Usai perang tersebut Raja Raya meminta Jamta Malayu membantu Raya di wilayah sekitar Padang tua yaitu Tongkah (Tinokkah sekitarnya?). Kesempatan ini dimanfaatkan Deli untuk menawarkan musyawarah damai kepada Raja Pangeran . Raja menyanggupi, dan perundingan disepakati di daerah Bandar Khalifah.
Sesampainya di Kampung Juhar – Bandar Khalifah, ternyata Panglima Daud sudah menghadang dan menghunuskan Keris ke perut Raja Pangeran. Saat itu pula Raja Pangeran tewas. Diceritakan bahwa Keris yang dipakai untuk membunuh Raja Pangeran adalah keris leluhur yang dicuri Panglima Daud saat ia masih berhubungan baik dengan Raja Syahbokar. Usai mangkat Raja Tebing Pangeran ini, seharusnya beralih ke putra beliau, yaitu Jamta Melayu, namun Jamta Melayu sedang dipertugaskan oleh Raya.
Selanjutnya Kerajaan Padang dipimpin turunan Puang Jaenap, yaitu Marah Hakum yang dibantu pula oleh para pembesar semasa Raja Pangeran , sebut saja Tengku Penasihat – Jamta Melayu, Orang Kaya Bakir yang sebelumnya memegang jabatan Bendahara. Raya memberi gelar Raja Geraha bagi Marah Hakum, karena ia bukan asli bumiputra Tebing Tinggi, sebab ayahandanya adalah berasal dari Barus. Di zaman Raja Geraha 1823 – 1870 ini, Raja mengangkat ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya, Tuan Rambutan, Orang Kaya Syahimbang), Tengku Jaamta Malayu – Penasihat Raja, Datuk Alang dan lainnya.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin Raja-Raja: Mahraja Muda Mohammad Nurdin (1870-1914), Raja Alamsyah (1928-1931), Raja Ismail (1931-1933), Raja Hassim (1933-1946). Meski Deli pernah berekspansi dalam pemerintahan langsung dengan mengirim wakilnya, yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888) dan Tengku Djalaluddin (1914-1928), masa itu Raja-Raja Padang di Bulian Tebing Tinggi diturunkan kedudukannya oleh Deli dengan sebutan Wazir.