Si Tjonat adalah film bandit Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1929 yang disutradarai Nelson Wong dan diproduseri Wong dan Jo Eng Sek. Diadaptasi dari novel karya F.D.J. Pangemanan, film ini mengisahkan seorang pria pribumi Indonesia\pribumi yang kabut ke Batavia (sekarang Jakarta) setelah membunuh temannya dan menjadi bandit. Film bisu yang lebih ditujukan pada penonton etnis Tionghoa ini mendapat beragam tanggapan dan pendapatan yang tidak jelas. Meski ditujukan sebagai film seri, sekuelnya tidak pernah dibuat; rumah produksinya, Batavia Motion Picture, segera ditutup. Film ini diduga hilang dari peredaran.

Si Tjonat
SutradaraNelson Wong
Produser
  • Nelson Wong
  • Jo Eng Sek
Berdasarkan
Tjerita Si Tjonat
oleh F.D.J. Pangemanan
Pemeran
  • Lie A. Tjip
  • Ku Fung May
  • Herman Sim
Perusahaan
produksi
Batavia Motion Picture
Tanggal rilis
  • 1929 (1929) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaBisu

Alur

Tjonat, seorang pribumi, membunuh temannya dan kabur ke Batavia (sekarang Jakarta), ibu kota Hindia Belanda, lalu bekerja untuk seorang pria Belanda. Tjonat lantas merampok pria tersebut dan merayu nyainya. Tjonat meninggalkan rumah tersebut dan menjadi perampok. Saat meminta Lie Gouw Nio (Ku Fung May), putri seorang petani peranakan Cina, agar menjadi kekasihnya, Lie menolaknya. Karena marah, Tjonat berusaha menculiknya namun digagalkan oleh tunangan Lie, Thio Sing Sang (Herman Sim), yang sangat menguasai bela diri.[1]

Produksi

 
Si Tjonat diadaptasi dari Tjerita Si Tjonat (1900).

Si Tjonat disutradarai Nelson Wong, yang memproduseri film ini bersama rekan bisnisnya Jo Eng Sek. Keduanya mendirikan Batavia Motion Picture tahun 1929.[2] Wong sebelumnya menyutradarai satu film fiksi, Lily van Java (1928), yang didanai oleh seorang karyawan General Motors tingkat tinggi di Batavia, David Wong.[a][3] Jo Eng Sek, seorang pemilik toko, belum pernah memproduksi film.[4]

Cerita Si Tjonat diadaptasi dari novel Tjerita Si Tjonat, buah karya reporter F.D.J. Pangemanann dan pertama diterbitkan tahun 1900.[5] Cerita ini terbukti populer di kalangan pembaca etnis Cina.[4] Novel ini sering diangkat ke pementasan panggung oleh grup sandiwara Betawi dalam bentuk lenong.[b][5] Cerita ini dipilih oleh Jo Eng Sek.[6]

Film bisu ini direkam menggunakan kamera hitam putih dan dibintangi Ku Fung May dan Herman Sim.[7] Sim, keturunan peranakan Cina, sebelumnya pernah terlibat dalam industri perfilman di Shanghai, Cina.[8] Ku Fung May justru belum punya pengalaman akting. Adegan bela diri di film ini terinspirasi oleh film-film Hollywood yang waktu itu terkenal di Hindia Belanda.[6]

Rilis dan tanggapan

Si Tjonat dirwas tahun 1929. Meski merupakan karya fiksi, film ini dipasarkan sebagai kisah nyata.[7] Film ini satu dari beberapa film domestik yang ditargetkan pada penonton etnis Cina, setelah Lily van Java dan Setangan Berloemoer Darah (both 1928). Sejarawan film Misbach Yusa Biran menulis bahwa ini dapat dilihat dari dominasi etnis Cina pada tim produksi dan pemerannya.[c] Penonton pribumi juga menikmati film ini, terutama adegan-adegan aksinya.[4] Kritikus film Indonesia Salim Said menulis bahwa film ini berorientasi komersial.[9]

Jumlah penjualan tidak jelas. Said mengatakan film ini sukses di pasaran,[10] sementara Biran – mengetahui Batavia Motion Picture dibubarkan tidak lama setelah Si Tjonat dirilis – berpendapat film ini gagal.[8] Ulasannya juga beragam. Pada umumnya, pers mengkritik penekanan alur pembunuhan dan kejahatan. Sementara itu, di majalah Panorama, Kwee Tek Hoay menulis bahwa film ini "lumayan juga",[d][4] berfokus pada akting Sim, terutama kemampuan bela dirinya.[8]

Meski awalnya Si Tjonat direncanakan menjadi film serial, produksi film kedua terhambat setelah Batavia Motion Picture ditutup.[10] Jo Eng Sek menarik diri dari industri perfilman, lalu kembali tahun 1935 untuk memproduksi Poei Sie Giok Pa Loei Tay.[11] Wong tetap aktif di industri ini bersama saudara-saudaranya, Joshua dan Othniel. Dengan nama Halimoen Film, mereka melibatkan lagi Sim dalam film Si Pitoeng (1931).[12] Baik Lie A. Tjip maupun Ku Fung May tidak lagi terlibat di film lain.[13] Beberapa film bercerita tentang bandit, termasuk Si Ronda (1929) besutan Lie Tek Swie dan Si Pitoeng besutan Wong Bersaudara dan Rampok Preanger (1929) langsung dirilis setelah Si Tjonat.[14]

Si Tjonat bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[15] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[16]

Catatan penjelas

  1. ^ No relation
  2. ^ Cerita ini tetap populer sampai era setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 (Toer 1982, hlm. 28–9).
  3. ^ Kelompok etnis Cina dan pribumi terbelah secara hukum dan budaya. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan undang-undang yang membagi tingkatan penduduk Hindia Belanda menjadi tiga, warga Cina berada di antara warga Belanda (kelas atas) dan pribumi (kelas bawah). Secara budaya, peranakan Cina cenderung menyatukan dirinya dengan daratan Cina, bukan budaya pribumi seperti Sunda atau Jawa. Meski etnis Cina adalah minoritas di Hindia Belanda, mereka memiliki standar hidup yang lebih tinggi daripada pribumi (Sukma 1999, hlm. 171–172).
  4. ^ Teks asli: "... atoerannja loemajan djoega".

Referensi

  1. ^ Filmindonesia.or.id, Si Tjonat; Said 1982, hlm. 18; Sen 2006, hlm. 123
  2. ^ Filmindonesia.or.id, Si Tjonat; Biran 2009, hlm. 234; Said 1982, hlm. 17
  3. ^ Biran 2009, hlm. 82.
  4. ^ a b c d Biran 2009, hlm. 93.
  5. ^ a b Toer 1982, hlm. 28–9.
  6. ^ a b Sen 2006, hlm. 123.
  7. ^ a b Filmindonesia.or.id, Si Tjonat.
  8. ^ a b c Biran 2009, hlm. 94.
  9. ^ Said 1982, hlm. 18.
  10. ^ a b Said 1982, hlm. 19.
  11. ^ Biran 2009, hlm. 94, 152.
  12. ^ Biran 2009, hlm. 113–4.
  13. ^ Filmindonesia.or.id, Ku Fung May; Filmindonesia.or.id, Lie A Tjip
  14. ^ Biran 2009, hlm. 105, 113.
  15. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  16. ^ Biran 2009, hlm. 351.

Kutipan

Pranala luar