Syekh Taqiyuddin An Nabhani

Revisi sejak 23 Juli 2013 09.04 oleh Penegak Khilafah (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Beliau adalah Syeikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. Bahasa Arab : '''تقي الدين النبهاني'''; Julukan ...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Beliau adalah Syeikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. Bahasa Arab : تقي الدين النبهاني; Julukan "an-Nabhani" dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk dalam wilayah Haifa di Palestina Utara.

Masa Kecil

Syeikh An-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri yaitu seorang alim yang faqih fid-din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperoleh dari kakeknya, Syekh Yusuf bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Dia adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.

Syeikh Yusuf an-Nabhani adalah termasuk tokoh sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Beliau berpendapat bahwa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, simbol kesatuan kaum Muslimin, dan mempertahankan institusi umat. Syeikh Yusuf bertentangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir. Muhammad Abduh menyerukan perlunya penakwilan nas agar tafsir merujuk pada tuntutan situasi dan waktu. Beliau juga bertentangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya yang sering menyerukan reformasi agama. Menurut dia, tuntutan reformasi itu meniru Protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman Protestan). Beliau juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada saat itu.

Oleh karena itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syeikh Yusuf an-Nabhani juga terkenal sebagai seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat. Berkenaan Syeikh Yusuf An-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan,

"(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy Syafi'i. Julukan baginya adalah Abu al-Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha ') di Qushbah Janin, yang termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istanbul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah jaza 'di al-Ladziqiyah, sebelum pindah ke al-Quds. Selanjutnya beliau menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai hingga 80 buah. "

Pembesaran Syeikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan seperti itu, ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Syeikh Taqiyuddin telah menghafal Al-Quran dalam usia yang sangat muda, yaitu sebelum ia mencapai umur 13 tahun. Dia banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani dalam banyak hal. Syeikh Taqiyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, di mana kakek beliau menempuh atau pun mengalami kejadian tersebut secara langsung karena hubungannya yang erat dengan para Khalifah Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia banyak menimba ilmu melalui dewan dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh kakeknya.

Kecerdasan dan kecerdikan Syeikh Taqiyuddin yang menonjol tatkala mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Oleh sebab itu, kakeknya begitu memerhatikan Syeikh Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayah beliau-Syeikh Ibrahim bin Musthafa-tentang perlunya mengirim Syeikh Taqiyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan nya dalam ilmu syariah.

Pendidikan

Syeikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar tentang ilmu syariah dari ayah dan kakeknya, yang telah mengajarkan Al-Quran sehingga ia hafal al-Quran seluruhnya sebelum baligh. Selain itu, beliau juga mendapatkan pendidikan awalnya di sekolah lokal yaitu di sekolah awal daerah Ijzim. Kemudian beliau pindah ke Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, ia berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di al-Azhar, menanggapi rekomendasi dari kakeknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani.

Syeikh Taqiyuddin kemudian melanjutkan pendidikannya di Tsanawiyah al-Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama ia meraih gelar dengan predikat sangat memuaskan (mumtaz jiddan). Lalu beliau melanjutkan pembelajarannya di Kulliyah Darul Ulum yang waktu itu merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau juga belajar di Universitas al-Azhar. Dia banyak menghadiri Halqah-Halqah ilmiah di al-Azhar yang dianjurkan oleh tokoh-tokoh ulama al-Azhar, seperti Syeikh Muhammad Al-Khidir Husain-rahimahullah-seperti yang pernah disarankan oleh kakeknya. Menurut sistem lama al-Azhar, para mahasiswanya dapat memilih beberapa orang syeikh al-Azhar dan menghadiri Halqah-Halqah mereka dalam ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah lainnya seperti fiqih, usul fiqih, hadis, tafsir, tauhid dan sebagainya.

Meskipun Syeikh Taqiyuddin berada dalam sistem pembelajaran al-Azhar yang lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam setiap pembelajarannya. Syeikh Taqiyuddin telah menarik perhatian teman dan para gurunya karena kedalamannya dalam berpikir serta kuatnya pendapat serta argumen yang ia lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada pada waktu itu, baik di Kairo maupun di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin menyelesaikan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932 dan pada tahun yang sama ia mengakhiri pula kuliahnya di al-Azhar asy-Syarif

Dalam forum-forum Halqah ilmiah yang diikuti oleh Syeikh Taqiyuddin, beliau sangat dikenal oleh teman dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan al-Azhar, sebagai seorang yang berpikiran tajam dan jenius. Ini karena, beliau akan memberikan argumen dan pendapat yang begitu kuat dan mendalam yang akan membuat orang tertarik dan yakin terhadap pandangannya.

Ijazah Yang Dimiliki

Ijazah yang diraih oleh Syeikh Taqiyuddin antaranya adalah:

1. Ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah

2. Ijazah al-Ghuraba 'dari al-Azhar

3. Diploma Bahasa dan Sastra Arab dari Dar al-Ulum;

4. Gelar dalam Peradilan dari Ma'had al-Ali li al-Qadha '(Sekolah Tinggi Peradilan), salah satu cabang al-Azhar.

5. Pada tahun 1932 beliau meraih Syahadah al-'Alamiyyah (Ijazah Internasional) Syariah dari Universitas al-Azhar asy-Syarif dengan mumtaz jiddan.

Kegiatan Beliau Setelah Tamat Kuliah

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina, dan kemudian bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah lokal di Haifa di bawah Kementerian Pendidikan Palestina. Selain itu, ia juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyyah lain di Haifa.

Dia sering berpindah-pindah lebih dari satu daerah dan sekolah sejak tahun 1932 sampai tahun 1938. Dia kemudian mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah, karena beliau melihat pengaruh imperialis Barat ("westernisasi") dalam bidang pendidikan yang ternyata lebih besar dari bidang peradilan. Dalam hal ini beliau berkomentar:

"Adapun golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah missionaris mereka telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah berdasarkan filosofi dan hadlarah (peradaban) yang khas dari kehidupan mereka, baik sebelum adanya pendudukan kaum imperialis tersebut maupun sesudahnya. Lalu, tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber tsaqafah (kebudayaan) sebagaimana sejarah dan kebangkitan barat dijadikan sumber asli untuk apa yang merusak cara berpikir kita. "

Oleh sebab itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani lalu menjauhi bidang pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau tidak melihat pekerjaan yang lebih utama selain pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini beliau berkata,

“Adapun an-Nizhamul Ijtima’iy, yang mengatur hubungan lelaki dan wanita, dan segala hal yang terbit darinya (yakni al-Ahwalu asy-Syakhshiyyah), tetap menerapkan syari’at Islam sehingga sekarang, meskipun telah berlaku penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain syariat Islam dalam bidang itu sehingga saat ini…”

Maka dari itu, Syeikh Taqiyuddin sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Dan ternyata banyak kawan beliau (yang pernah sama-sama belajar di al-Azhar) bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syeikh Taqiyuddin akhirnya diberi jawatan sebagai setiausaha di Mahkamah Syariah Beisan. Beliau kemudian dipindahkan ke Thabriya. Namun demikian, kerana beliau mempunyai cita-cita dan pengetahuan dalam masalah peradilan, maka beliau mengajukan permohonan kepada al-Majlis al-Islami al-A’la, agar menerima permohonannya untuk mendapatkan tanggungjawab menangani peradilan. Dalam hal ini, beliau merasakan dirinya mempunyai kelayakan yang mencukupi untuk menangani masalah peradilan.

Setelah lembaga peradilan menerima permohonannya, lalu beliau ke Haifa sebagai ketua setiausaha (Basy Katib) di Mahkamah Syariah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Musyawir (Penolong Qadhi) dan beliau terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadhi di Mahkamah Ramallah sehingga tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam setelah Palestin jatuh ke tangan Yahudi.

Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya al-Ustadz Anwar al-Khatib mengirim surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestin untuk diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds. Syeikh Taqiyuddin menerima permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds pada tahun 1948.

Kemudian, Al Ustadz Abdul Hamid As-Sa’ih iaitu Ketua Mahkamah Syariah dan Ketua Mahkamah Isti’naf pada waktu itu, telah mengangkat Syeikh Taqiyuddin sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan beliau tetap memegang kedudukan itu sehingga tahun 1950. Pada tahun 1950 inilah, beliau lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, kerana beliau mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majlis Niyabi (Majlis Perwakilan).

Pada tahun 1951, Syeikh an-Nabhani berkunjung ke kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Usaha beliau ini berterusan sehingga awal tahun 1953, ketika beliau mulai sibuk dengan penubuhan Hizbut Tahrir, yang telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga 1953.