Menjadi Indonesia ialah sebuah gerakan moral untuk mengajak mahasiswa berbuat nyata dan memberi makna pada Indonesia. Menjadi Indonesia digagas Tempo Institute sejak tahun 2009[1]. Setiap tahun, Tempo Institute mengadakan kompetisi esaimahasiswa [2].

Tempo Institute memilih 30 (tiga puluh) penulis esai terbaik untuk mengikuti “Kemah Kepemimpinan — Menjadi Indonesia” di Jakarta dan Bogor selama dua (2) minggu. Dalam kemah ini, finalis menjalani pelatihan jurnalistik, pelatihan kepemimpinan dan sekaligus bertemu dengan tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga di Indonesia[3].

Dalam kompetisi tersebut, Tempo Intitute menekankan agar mahasiswa memulai esainya dengan mengamati kondisi di sekitar. Peserta dilecut untuk mengangkat permasalahan paling menarik atau paling penting di sekelilingnya, di wilayahnya, di “area kekuasaannya”. Ini bukan kompetisi membuat makalah dengan basis teori yang rigid, tapi tentang pendapat subyektif. Tulisan bisa berupa refleksi, observasi mendalam, atau gagasan konkret atas sebuah persoalan. Saat menyosialisasikan kompetisi ini ke kampus-kampus, Tempo Institute mengajak mahasiswa agar 'tetap menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan'[4]

Selain mengajak mahasiswa menulis, Tempo Institute merangkul tokoh-tokoh Indonesia dan meminta menuliskan surat untuk anak muda. Kumpulan surat tersebut kemudian dibubukan dengan judul Surat dari dan untuk Pemimpin [5]. Buku tersebut berisi sekitar 90 surat dari para pemimpin dari berbagai bidang, dari Wakil Presiden RI Boediono, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, sastrawan Goenawan Mohamad, petinju Chris John, pengacara senior Adnan Buyung Nasution, budayawan Franz Magnis-Suseno hingga band Slank.

Goenawan Mohamad, dalam suratnya mengajukan pertanyaan yang menggelitik: Mengapa kita menjadi Indonesia? Haruskah kita menjadi Indonesia? Apakah kita belum menjadi Indonesia? Ia pun menuliskan, Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai[6]. Sedangkan Franz Magnis-Suseno berpesan, 'Adik-adikku, jangan mau dikalahkan oleh pesimisme, kekecewaan dan segala macam kebencian. Berjuanglah bagi masa depan yang lebih manusiawi, lebih luhur dan lebih maju. Anda akan berhasil.'[7]

Referensi

Pranala luar