Tanin
Tanin (atau tanin nabati, sebagai lawan tanin sintetik) adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa pahit dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid.
Tanin (dari bahasa Inggris tannin; dari bahasa Jerman Hulu Kuno tanna, yang berarti “pohon ek” atau “pohon berangan”) pada mulanya merujuk pada penggunaan bahan tanin nabati dari pohon ek untuk menyamak belulang (kulit mentah) hewan agar menjadi kulit masak yang awet dan lentur. Namun kini pengertian tanin meluas, mencakup aneka senyawa polifenol berukuran besar yang mengandung cukup banyak gugus hidroksil dan gugus lain yang sesuai (misalnya karboksil) untuk membentuk perikatan kompleks yang kuat dengan protein dan makromolekul yang lain.
Senyawa-senyawa tanin ditemukan pada banyak jenis tumbuhan; pelbagai senyawa ini berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari pemangsaan oleh herbivora dan hama, serta dalam pengaturan pertumbuhan[1]. Tanin yang terkandung dalam buah muda menimbulkan rasa kelat (sepat)[2]; perubahan-perubahan yang terjadi pada senyawa tanin bersama berjalannya waktu berperan penting dalam proses pemasakan buah.
Kandungan tanin dari bahan organik (serasah, ranting dan kayu) yang terlarut dalam air hujan (bersama aneka subtansi humus), menjadikan air yang tergenang di rawa-rawa dan rawa gambut berwarna coklat kehitaman seperti air teh, yang dikenal sebagai air hitam (black water). Kandungan tanin pula yang membuat air semacam ini berasa kesat dan agak pahit.[3]
Manfaat
Tanin terutama dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit agar awet dan mudah digunakan. Tanin juga digunakan untuk menyamak (mengubar) jala, tali, dan layar agar lebih tahan terhadap air laut. Selain itu tanin dimanfaatkan sebagai bahan pewarna, perekat, dan mordan[4].
Tanin yang terkandung dalam minuman seperti teh, kopi, anggur, dan bir memberikan aroma dan rasa sedap yang khas. Bahan kunyahan seperti gambir (salah satu campuran makan sirih) memanfaatkan tanin yang terkandung di dalamnya untuk memberikan rasa kelat ketika makan sirih. Sifat pengelat atau pengerut (astringensia) itu sendiri menjadikan banyak tumbuhan yang mengandung tanin dijadikan sebagai bahan obat-obatan.[4] Tanin yang terkandung dalam teh memiliki korelasi yang positif antara kadar tanin pada teh dengan aktivitas antibakterinya terhadap penyakit diare yang disebabkan oleh Enteropathogenic Esclierichia culi (EPEC) pada bayi [5] Hasil penelitian Yulia (2006) menunjukkan bahwa daun teh segar yang belum mengalami pengolahan lebih berpotensi sebagai senyawa antibakteri, karena seiring dengan pengolahan menjadi teh hitam, aktivitas senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri pada daun teh menjadi berkurang[6]
Pakan Ternak
Tanin yang terkandung dalam pakan ternak seperti pada daun kaliandra, dapat menjadi anti nutrisi pada ternak ruminansia jika dikonsumsi berlebih. Hal ini dapat diatasi dengan cara melakukan manipulasi proses pencernaan oleh mikroba rumen dengan menginokulasi isolasi bakteri toleran tanin supaya mengoptimalkan pemanfaatan kaliandra sebagai sumber pakan [7] Tanin mampu memproteksi protein bahan pakan, seperti daun katuk, sehingga tidak terdegradasi di rumen [8] Tanin juga bermanfaat sebagai agensia pelindung asam lemak tak jenuh, sehingga tidak terdegradasi oleh mikroba rumen dalam sistem pencernaan ruminansia [9]
Penyamakan
Dalam proses penyamakan, tanin bereaksi dengan protein dari belulang. Proses ini akan mengawetkan kulit dari serangan-serangan bakteri. Di samping itu, penyamakan akan memberi warna tertentu, serta membentuk kepadatan dan kelenturan kulit tersamak yang berbeda-beda; bergantung kepada sifat-sifat kulit asal dan kepada proses penyamakan yang digunakan.[4] proses penyamakan dapat menggunakan tanin dari kulit kayu akasia sebagai bahan penyamak nabati [10]
Perekat kayu
Tanin yang terkandung dalam tanaman bakau dan akasia dapat di ekstrak yang dapat dijadikan perekat kayu lamina.Perekat autokondensat tanin bakau dan akasia memiliki nilai keteguran geser kayu laminanya yang tidak berbeda dengan menggunakan perekat fenolformaldehida dan ureaformaldehida[11]
Catatan kaki
- ^ Katie E. Ferrell; Thorington, Richard W. (2006). Squirrels: the animal answer guide. Baltimore: Johns Hopkins University Press. hlm. 91. ISBN 0-8018-8402-0.
- ^ McGee, Harold (2004). On food and cooking: the science and lore of the kitchen. New York: Scribner. hlm. 714. ISBN 0-684-80001-2.
- ^ Tannins, lignins and humic acids in well water on www.gov.ns.ca
- ^ a b c Lemmens, R.M.H.J., N. Wulijarni-Soetjipto, R.P. van der Zwan & M. Parren. 1997. Pendahuluan dalam R.M.H.J. Lemmens dan N. Wulijarni-Soetjipto (Eds). Tumbuh-tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 3 : 15-38. Balai Pustaka, Jakarta
- ^ [1][Korelasi kadar tanin pada produk teh komersial dengan aktivitasnya sebagai senyawa antibakteri epec K1-1]
- ^ [2][Kandungan tanin dan potensi anti Streptococcus mutans daun teh var. Assamica pada berbagai tahap pengolahan][Yulia Rita]
- ^ [3][Uji Bakteri Toleran Tanin dan Pengaruh Inokulasinya Pada Ternak Kambing Berpakan Kaliandra (Calliandra calothyrsus)]
- ^ [4][Evaluasi invitro protein daun katuk]
- ^ [5][Berbagai Usaha Memintas Rumenkan Asam Lemak Tak Jenuh]
- ^ [6][Pemanfaatan Tanin dari Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) sebagai Bahan Penyamak Nabati][Nugraha, Ganjar]
- ^ [7][Autokondensasi Tanin dan Penggunaannya sebagai Perekat Kayu Lamina][Susanti, Cicilia Maria Erna]
Pranala luar
- Tannins: fascinating but sometimes dangerous molecules
- Tannin ChemistryPDF (1.41 MB)
- Haslam, Edwin (1989). Plant polyphenols: vegetable tannins revisited. CUP Archive. ISBN 978-0-521-32189-1.