Bambu
Artikel ini perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. |
Bambu | |
---|---|
Hutan bambu di Kyoto, Jepang | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
(tanpa takson): | |
(tanpa takson): | |
(tanpa takson): | |
Ordo: | |
Famili: | |
Subfamili: | |
Supertribus: | |
Tribus: | Bambuseae |
Upasuku | |
Baca selengkapnya Taksonomi Bambuseae. | |
Diversitas | |
[[Taksonomi Bambuseae|Sekitar 92 genera dan 5.000 spesies]] |
Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh, aur, dan eru. Di dunia ini bambu merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat. Karena memiliki sistem rhizoma-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60cm (24 Inchi) bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam. [1]
Genus dan geografi
Bambu diklasifikasikan ke lebih dari 10 genus dan 1450 spesies.[2] Spesies bambbo ditemukan di berbagai lokasi iklim, dari iklim dingin pegunungan hingga daerah tropis panas. Mereka terdapat di sepanjang Asia Timur dari 50o Lintang Utara di Sakhalin sampai ke sebelah utara Australia, dan di bagian barat India hingga ke Himalaya.[3] Mereka juga terdapati di sub-Sahara Afrika,[4] dan di Amerika dari pertengahan Atlantik Amerika Utara[5] hingga ke selatan ke Argentina dan Cili, mencapai titik paling selatan Bambu pada 47o Lintang Selatan. Benua Eropa tidak memiliki spesies bambu asli.[6]
Baru-baru ini telah diupayakan untuk membudidayakan bambu secara komersial di Danau Besar Afrika di Afrika Tengah bagian timur, terutama di Rwanda. Selain itu, berbagai perusahaan di Amerika Serikat juga menumbuhkan, memanen, dan mendistribusikan spesies bambu seperti Phyllostachys edulis.[7]
Terdapat dua bentuk bambu secara umum, yaitu bambu berkayu dari suku Arundinarieae dan Bambuseae, dan bambu rerumputan dari suku Olyreae. Analisis molekuler dari pastida menunjukkan bahwa terdapat tiga sampai lima garis keturunan utama dari bambu.[8]
Ekologi
Bambu adalah tanaman dengan laju pertumbuhan tertinggi di dunia, dilaporkan dapat tumbuh 100 cm (39 in) dalam 24 jam.[1] Namun laju pertumbuhan ini amat ditentukan dari kondisi tanah lokal, iklim, dan jenis spesies. Laju pertumbuhan yang paling umum adalah sekitar 3–10 sentimeter (1,2–3,9 in)* per hari. Bambu pernah tumbuh secara besar-besaran pada periode Cretaceous, di wilayah yang kini disebut dengan Asia. Beberapa dari spesies bambu terbesar dapat tumbuh hingga melebihi 30 m (98 ft) tingginya, dan bisa mencapai diameter batang 15–20 cm (5,9–7,9 in). Namun spesies tertentu hanya bisa tumbuh hingga ketinggian beberapa inci saja.
Bambu termasuk dalam keluarga rumput-rumputan, yang dapat menjadi penjelasan mengapa bambu memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini berarti bahwa ketika bambu dipanen, bambu akan tumbuh kembali dengan cepat tanpa mengganggu ekosistem. Tidak seperti pohon, batang bambu muncul dari permukaan dengan diameter penuh dan tumbuh hingga mencapai tinggi maksimum dalam satu musim tumbuh (sekitar 3 sampai 4 bulan). Selama beberapa bulan tersebut, setiap tunas yang muncul akan tumbuh vertikal tanpa menumbuhkan cabang hingga usia kematangan dicapai. Lalu, cabang tumbuh dari node dan daun muncul. Di tahun berikutnya, dinding batang yang mengandung pulp akan mengeras. Di tahun ketiga, batang semakin mengeras. Hingga tahun ke lima, jamur dapat tumbuh di bagian luar batang dan menembus hingga ke dalam dan membusukkan batang. Hingga tahun ke delapan (tergantung pada spesies), pertumbuhan jamur akan menyebabkan batang bambu membusuk dna runtuh. Hal ini menunjukkan bahwa bambu paling tepat dipanen ketika berusia antara tiga hingga tujuh tahun. Bambu tidak akan bertambah tinggi atau membesar batangnya setelah tahun pertama, dan bambu yang telah runtuh atau dipanen tidak akan digantikan oleh tunas bambu baru di tempat ia pernah tumbuh.
Banyak spesies bambu tropis akan mati pada temperatur mendekati titik beku, sementara beberapa bambu di iklim sedang mampu bertahan hingga temperatur −29 °C (−20 °F). Beberapa bambu yang tahan dingin tersebut mampu bertahan hingga zona 5-6 dalam kategori USDA Plant Hardiness Zones, meski pada akhirnya mereka akan meruntuhkan daun-daunnya dan menghentikan pertumbuhan, namun rizomanya akan selamat dan menumbuhkan tunas bambu baru di musim semi berikutnya.
Sebagai makanan hewan
Tunas bambu empuk, ranting, dan dedaunan adalah sumber makanan utama dari panda di Cina, panda merah di Nepal, dan lemur bambu di Madagascar. Tikus memakan buah bambu. Gorilla gunung Afrika juga memakan bambu, dan telah didokumentasikan mengkonsumsi nira bambu yang telah berfermentasi dan mengandung alkohol.[4] Simpanse dan gajah juga memakan bagian dari batang bambu.
Larva dari pelubang bambu (ngengat Omphisa fuscidentalis) di Laos, Myanmar, Thailand, dan Cina memakan pulp dari bambu yang masih hidup. Larva ngengat ini menjadi bahan makanan setempat.
Pembungaan massal
Kebanyakan bambu berbunga sangat jarang. Faktanya, bambu hanya berbunga dengan interval 5 sampai 120 tahun. Pembungaan massal pada spesies tertentu berbeda-beda waktunya. Pembungaan massal yang paling lama periodenya adalah bambu dari spesies Phyllostachys bambusoides. Spesies ini berbunga secara massal dalam waktu bersamaan meski terpisah secara geografis dan iklim, dan setelah itu bambu akan mati menyisakan rizomanya. Pembungaan ini memiliki dampak yang kecil, sehingga mengindikasikan keberadaan alarm biologis di dalam sel yang memicu penjatahan energi untuk memproduksi bunga dan menghentikan pertumbuhan vegetatif.[9] Mekanisme ini, termasuk penyebabnya secara volusi, masih menjadi pertanyaan.
Satu hipotesis yang menjelaskan evolusi dari pembungaan massal ini adalah untuk "mengenyangkan" predator, di mana pembungaan dan pembuahan dalam waktu yang bersamaan akan meningkatkan ketahanan populasi benih mereka dengan membanjiri area dengan buah sehingga predator akan memakan yang mereka butuhkan dan lalu meninggalkan biji-bijian yang tersisa untuk tumbuh menjadi tanaman baru. Bambu memiliki siklus pembungaan yang jauh melebihi usia hidup rodent sehingga mampu mengatur populasi rodent agar tidak terbiasa memakan buah bambu. Dan bambu dewasa yang mati sebelum berbunga akan lebih efektif jika tidak dipertahankan sebagai mekanisme penyimpanan energi untuk melakukan pembungaan.[10]
Hipotesis lainnya adalah berdasarkan pada teori kebakaran hutan bambu, di mana kematian massal pasca pembungaan memicu gangguan habitat. Bambu yang mengering di atas biji-bijian yang telah jatuh di atas tanah dapat memicu kebakaran hutan akibat sambaran petir.[11] Karena bambu dapat menjadi tanaman suksesi yang agresif, dan tunas bambu yang baru dapat mencegah pertumbuhan tanaman yang lain sehingga mereka mampu menguasai lahan.
Namun kedua hipotesis diragukan dengan berbagai alasan. Hipotesis "pengenyangan" predator tidak menjelaskan secara detail mengapa pembungaan massal memakan waktu hingga 10 kali usia hidup rodent. Dan hipotesis kebakaran bambu diragukan karena tidak ditemukan bukti terjadinya kebakaran hutan bambu akibat sambaran petir; hampir semuanya disebabkan oleh manusia.[12] Dan teori pemanfaatan sambaran petir sebagai satu-satunya alasan dalam kemajuan evolusi bambu diragukan karena sambaran petir merupakan kejadian alam yang sangat tidak terduga.[13] Meski kebakaran hutan akibat sambaran petir sebenarnya terjadi dalam jangka waktu evolusi kehidupan di bumi di beberapa tempat. Dan spesies tanaman Pinus contorta membutuhkan pemicu ekologis seperti kebakaran hutan untuk menyebarkan biji lebih cepat, dan Sequoiadendron giganteum membutuhkan kebakaran hutan agar tunas mereka mampu mendominasi hutan.
Pembungaan massal juga memiliki dampak ekonomi dan ekologis. Kemunculan buah bambu yang secara drastis dapat memicu pertumbuhan populasi rodent, sehingga dapat memicu kerusakan tanaman pertanian setempat. Seperti pembungaan massal oleh tanaman bambu Melocanna bambusoides di Teluk Bengal yang terjadi setiap 30-35 tahun sekali.[14] Rodent juga memicu penyebaran penyakit seperti typhus, typhoid, dan wabah pes.[9][10]
Dalam beberapa kasus, pembungaan massal memicu munculnya kultivar baru di tempat tersebut dengan karakteristik yang berbeda dengan populasi bambu sebelumnya. Sehingga periode pembungaan berikutnya mungkin tidak akan sama dengan periode pembungaan sebelumnya.
Pembudidayaan
Bambu tumbuh dengan cara menyebarkan perakaran dan rizomanya di bawah tanah. Persebaran ini bisa sangat luas, dan jika tidak dikendalikan bisa menyebabkan tunas tumbuh di tempat yang tidak diinginkan, bahkan berpotensi invasif. Seberapa luas perakaran bambu menyebar ditentukan oleh jenis tanah dan iklim setempat. Rizoma yang berada di dalam tanah bisa dipotong jika diinginkan, dan jika rizoma terpisah dari badan utamanya, biasanya akan mati.
Kayu komersial
Kayu bambu dihasilkan dari bambu budidaya dan bambu liar, biasanya dari genus Phyllostachys.
Pemanenan kayu
Bambu yang digunakan untuk kegiatan konstruksi harus dipanen ketika batang mencapai kekuatan tertingginya dan ketika kadar gula di dalam batang berada dalam kondisi terendah, karena keberadaan gula mempermudah bambu untuk diserang hama.
Manfaat
Kuliner
Meski tunas bambu mengandung toksin taxiphyllin, senyawa glikosida sianogenik, yang mampu menghasilkan sianida di dalam lambung, pemrosesan yang sesuai akan menjadikan tunas bambu bisa dimakan. Berbagai masakan Asia menggunakan tunas bambu, dan tunas bambu dijual dalam bentuk segar maupun kalengan. Lemur bambu emas memakan tunas bambu mentah dan mereka tidak terpengaruh toksin taxiphyllin.
Tunas bambu dalam kondisi terfermentasi adalah bahan utama dalam berbagai kuliner di Himalaya. Di India disebut khorisa. Di Nepal, tunas bambu difermentasikan dengan kunyit dan minyak sayur, lalu dimasak dengan kentang menjadi masakan yang dimakan bersama nasi (alu tama (आलु तामा) in Bahasa Nepali).
Di Indonesia, tunas bambu dipotong tipis-tipis dan direbus bersama santan dan rempah-rempah untuk membuat gulai rebung. Resep lain yang memanfaatkan tunas bambu yaitu sayur lodeh dan lumpia. Tunas bambu yang telah diiris dicuci bersih dan/atau direbus sebelum dimakan untuk menghilangkan toksin.
Acar tunas bambu digunakan sebagai pelengkap makanan, bisa juga dibuat dari inti batang bambu muda (pith)
Getah dari batang bambu muda disadap ketika musim hujan untuk menghasilkan minuman beralkohol. Daun bambu bisa dipakai sebagai pembungkus makanan ringan.
Bagian dalam batang bambu tua biasanya digunakan sebagai alat memasak di banyak budaya Asia. Sup dan beras yang dimasak di dalam batang bambu dipaparkan ke api hingga matang. Memasak di dalam batang bambu dipercaya menghasilkan rasa yang berbeda.
Bambu juga digunakan untuk membuat sumpit dan alat memasak lainnya seperti spatula. Bambu merupakan bahan baku dari berbagai peralatan rumah tangga yang utama sebelum datangnya era peralatan rumah tangga dari plastik. Bakul nasi, tampah, bubu/perangkap ikan, tempat kue (besek), topi bambu (caping) adalah contoh dari beberapa peralatan yang terbuat dari bambu.
Konstruksi
Rumah-rumah di pedesaan Jawa dan Sunda masih banyak yang memakai dinding bambu. Pohon bambu yang tebal terutama di bagian pangkal dipakai sebagai kaso. Batang bambu juga banyak dipakai sebagai jembatan darurat.
Tekstil
Instrumen musik
Di Indonesia, bambu sering digunanakan sebagai alat musik tradisional yang menjadi ciri khas masing-masing daerah Indonesia. Salah satu contohnya adalah Angklung dan Seruling yang berasal dari Sunda
Pengolahan air
Transportasi
Bambu pada kebudayaan Asia
Mitos dan legenda
Bambu sebagai media tulis
Bambu sebagai senjata
Di beberapa daerah Asia Timur dan Asia tenggara bambu digunakan sebagai alat bela diri.Contohnya adalah Bela diri silambam pada zaman Tamil kuno, pada bela diri ini petarung akan sering saling berpukulan dengan tongkat bambu.
Galeri
-
Sebuah "Katedral Bambu" di Chaguaramas, Trinidad and Tobago.
-
Bambu Raksasa dengan seorang laki-laki dewasa sebagai pembanding ukuran tinggi.
-
Dracaena sanderiana, Bambu ini terlihat seperti tanaman lain, Dikenal sebagai "Bambu yang beruntung."
-
Sebuah rumpun Bambu Raksasa di Ecuador.
-
Bamboo bonsai.
-
Ukiran bambu Cina pada zaman Dinasti Qing.
-
Frame sepeda yang terbuat dari bambu (1896)
-
Jajaran bambu di Stuart, Florida, digunakan sebagai pemisah antara gereja dengan parkiran padat di pasar furnitur
-
Mounts Botanical Garden, Pantai Palem Bagian Barat, Florida
Referensi
- ^ a b Farrelly, David (1984). The Book of Bamboo. Sierra Club Books. ISBN 087156825X.
- ^ Gratani, Loretta (2008). "Growth pattern and photosynthetic activity of different bamboo species growing in the Botanical Garden of Rome". Flora. 203: 77–84. .
- ^ Bystriakova, N. (2003). "Distribution and conservation status of forest bamboo biodiversity in the Asia-Pacific Region". Biodiversity and Conservation. 12 (9): 1833–1841. doi:10.1023/A:1024139813651. Diakses tanggal 12 August 2009.
- ^ a b "Gorillas get drunk on bamboo sap". The Daily Telegraph. 23 March 2009. Diakses tanggal 12 August 2009.
- ^ "Arundinaria gigantea (Walt.) Muhl. giant cane". PLANTS Database. USDA.
- ^ editor-in-chief, Anthony Huxley, editor, Mark Griffiths, managing editor, Margot Levy. (1992). Huxley, A., ed. New RHS Dictionary of Gardening. Macmillan New RHS Dictionary of Gardening. ISBN 0-333-47494-5.
- ^ McDill, Stephen. "MS Business Journal". MS Business Journal. Diakses tanggal 7 July 2011.
- ^ Kelchner SA; the Bamboo Phylogeny Group (2013) Higher level phylogenetic relationships within the bamboos (Poaceae: Bambusoideae) based on five plastid markers. Mol Phylogenet Evol pii: S1055-7903(13)00062-6. doi: 10.1016/j.ympev.2013.02.005
- ^ a b Thomas R. Soderstrom; Cleofe E. Calderon; Thomas R. Soderstrom; Cleofe E. Calderon (1979). "A Commentary on the Bamboos (Poaceae: Bambusoideae)". Biotropica. 11 (3): 161–172. doi:10.2307/2388036. JSTOR 2388036.
- ^ a b Janzen, DH. (1976). "Why Bamboos Wait so Long to Flower". Annual Review of Ecology and Systematics. 7: 347–391. doi:10.1146/annurev.es.07.110176.002023.
- ^ Keeley, JE (1999). "Mast flowering and semelparity in bamboos: The bamboo fire cycle hypothesis". American Naturalist. 154 (3): 383–391. doi:10.1086/303243. PMID 10506551.
- ^ Saha, S (2001). "The Bamboo Fire Cycle Hypothesis: A Comment". The American Naturalist. 6 (158): 659–663. doi:10.1086/323593. PMID 18707360.
- ^ Keeley, JE (2001). "On incorporating fire into our thinking about natural ecosystems: A response to Saha and Howe". American Naturalist. 158 (6): 664–670. doi:10.1086/323594. PMID 18707361.
- ^ [1]
Pranala luar
- Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Bamboo". Encyclopædia Britannica (edisi ke-11). Cambridge University Press.
- Bamboo Structural Design ISO Standards
- Resources on Bamboo
- Bamboo Art(Video)