Kepulauan Kei

kepulauan di Indonesia

Kepulauan Kai (atau Kei) di Indonesia berada di sebelah Tenggara Kepulauan Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku.

Geografi

Penduduk setempat menyebut kepulauan ini "Nuhu Evav" (Kepulauan Evav) atau "Tanat Evav" (Negeri Evav), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di Selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah Barat kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, termasuk di dalamnya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dullah (Du), Dullah Laut (Du Roa), pulau-pulau Kur (Kuur), Tam (Taam) dan Toyando (Tahayad), dan beberapa pulau kecil yang tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km².

Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.

Sejarah

Prasejarah

Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti Goa kuno Ohoidertavun yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei Kecil. Di sekitar goa kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200 meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan tulisan kuno. Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan masyarakat di masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti matahari, bulan, dan bintang, serta perahu sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki spesifikasi dengan karya lukisan suku Aboringin yang ditemukan di wilayah Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor di masa lalu. Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji, ungkap Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter itu secara antropologis mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan keturunan antara suku asli kepulauan Kei dengan suku asli Aborigin di Australia.

Sejarah Lisan

Menurut hikayat yang dituturkan turun-temurun, diyakini bahwa leluhur orang Kei berasal dari Bali, wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua bersaudara ini memutuskan untuk membagi dua rombongan. Rombongan pertama dipimpin Jangra memilih pulau Kei Besar sebagai tempat tujuan dan akhirnya menetap di tempat yang kini bernama Ler-Ohoylim. Rombongan kedua bertolak ke pulau Kei Kecil. Desa Letvuan di Pulau Kei Kecil adalah tempat pertama kali keluarga kerajaan beserta para pengiringnya dari Bali itu menginjakkan kakinya di Kepulauan Kei, lalu menetap bersama penduduk setempat. Karenanya Letvuan menjadi pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali Surabaya) yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.

Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu atau Sadewa.

Selain Bali, orang Kei yakin bahwa leluhur mereka ada juga yang datang dari Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Kesultanan Jailolo dan Ternate).

Bahasa

Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang digunakan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. di Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur), Bahasa Kei digunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.

Kosa Kata

Beberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada français /fʁɑ̃ sɛ/ dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.

Kosa kata Bahasa Kei moderen mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Kei asli.

Contoh beberapa kata serapan :

  • Gur = Guru
  • Agam = Agama
  • Masikit = Masjid
  • Pen = Pena

Ucapan Salam

  • Fel be / Fel be he : Apa khabar?
  • Bok át / Bok bok wat: Baik-baik saja

Peribahasa

  • Adat en'ot rat na'a dunyai : Adat menciptakan raja di dunia, artinya terhormat atau tidaknya seseorang bergantung pada perilaku dan tutur katanya.
  • Vu'ut ain mehe ngivun ne manut ain mehe ni tilur : Telur dari satu ekor ikan saja, dan telur dari satu ekor burung belaka, artinya semua orang itu pada hakikatnya bersaudara, laksana banyak telur yang berasal dari satu ekor ikan atau satu ekor burung saja.
  • Sar Sangongo weat yaf : Laksana ngengat menggoda api, pepatah ini adalah peringatan halus bagi para pemberani yang suka bermain-main dengan bahaya.

Perekonomian

Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.

Seni Budaya

Alat Musik

Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:

  • Savarngil (Seruling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
  • Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
  • Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.

Tarian

Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga. Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mereka.

Referensi