Sufisme

gerakan Islam bercabang dari Sunni
Revisi sejak 27 Oktober 2013 12.52 oleh SamanthaPuckettIndo (bicara | kontrib) (melengkapi)

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi [butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.

Etimologi

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.

Tokoh tasawuf di Indonesia

Tokoh –tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Hamzah Al-Fasuri, Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, Syekh Yusuf Al-Makasari dan Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[1]

Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[1] diantaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain. [2]

Contoh paham

Berikut contoh paham Sufi atau paham tasauf:

Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual

 
Empat tingkatan kedalaman beragama

Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.

Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.

Paham kesatuan wujud

Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini ditolak oleh Al Ghazali dan Ibnu Taymiah.

Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [2] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhan-nya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [3]

Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.

Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.

Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [5] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [6]

.

Tasawuf dan ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang di zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.[3]

Kesenian sufi

Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.

      • Kesenian Sufi Cirebon [7]***

Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung, Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut.

Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah pada saat itu Mertasinga 2004.

Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [8]

tasawuf itu sulit didefinisikan agar dapat dipahami dengan mudah

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Anwar, Rosihan. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia 2009) hlm. 225
  2. ^ Referensi dari Cirebon
  3. ^ Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002) hlm.23

Bacaan tambahan

  • Abun-Nasr, Jamil. Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life. London, Hurst, 2007.
  • Al-Badawi, Mostafa. Sufi Sage of Arabia. Louisville: Fons Vitae, 2005.
  • Algan, Refik & Camille Adams Helminski, translators, Rumi's Sun: The Teachings of Shams of Tabriz, (Sandpoint, ID:Morning Light Press, 2008) ISBN 978-1-59675-020-3
  • Ali-Shah, Omar. The Rules or Secrets of the Naqshbandi Order, Tractus Publishers, 1992, ISBN 978-2-909347-09-7.
  • Angha, Nader. "Sufism: A Bridge Between Religions". MTO Shahmaghsoudi Publications, 2002, ISBN 0-910735-55-7
  • Angha, Nader. "Sufism: The Lecture Series". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1997, ISBN 978-0-910735-74-2.
  • Angha, Nader. "Peace". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1994, ISBN 978-0-910735-99-5.
  • Aractingi, Jean-Marc and Christian Lochon, Secrets initiatiques en Islam et rituels maçonniques-Ismaéliens, Druzes, Alaouites,Confréries soufies; éd. L'Harmattan, Paris, 2008 (ISBN 978-2-296-06536-9).
  • Arberry, A.J.. Mystical Poems of Rumi, Vols. 1&2. Chicago: Univ. Chicago Press, 1991.
  • Austin, R.W.J.. Sufis of Andalusia, Gloustershire: Beshara Publications, 1988.
  • Azeemi,Khwaja Shamsuddin. Muraqaba: Art and Science of Sufi Meditation, Houston:Plato Publishing,Inc., 2005, ISBN 0-9758875-4-8.
  • Barks, Coleman & John Moyne, translators, The Drowned Book: Ecstatic & Earthy Reflections of Bahauddin, the Father of Rumi, (NY: HarperCollins, 2004) ISBN 0-06-075063-4
  • Bewley, Aisha. The Darqawi Way. London: Diwan Press, 1981.
  • Burckhardt, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore: 1963.
  • Chopra, R M, "Great Sufi Poets of The Punjab", Iran Society, Calcutta, 1999.
  • Colby, Frederick. The Subtleties of the Ascension: Lata'if Al-Miraj: Early Mystical Sayings on Muhammad's Heavenly Journey. City: Fons Vitae, 2006.
  • Dahlén, Ashk, Sufi Islam, The World's Religions: Continuities and Transformations, ed. Peter B. Clarke & Peter Beyer, New York, 2008.
  • Emin Er, Muhammad. Laws of the Heart: A Practical Introduction to the Sufi Path, Shifâ Publishers, 2008, ISBN 978-0-9815196-1-6.
  • Emin Er, Muhammad. The Soul of Islam: Essential Doctrines and Beliefs, Shifâ Publishers, 2008, ISBN 978-0-9815196-0-9.
  • Ernst, Carl. The Shambhala Guide to Sufism. HarperOne, 1999.
  • Fadiman, James and Frager, Robert. Essential Sufism. Boulder: Shambhala, 1997.
  • Farzan, Massud. The Tale of the Reed Pipe. New York: Dutton, 1974.
  • Gowins, Phillip. Sufism—A Path for Today: The Sovereign Soul. New Delhi: Readworthy Publications (P) Ltd., 2008. ISBN 978-81-89973-49-0
  • Khan, Inayat. "Part VI, Sufism". The Sufi message, Volume IX—The Unity of Religious Ideals
  • Koc, Dogan, "Gulen's Interpretation Of Sufism", Second International Conference on Islam in the Contemporary World: The Fethullah Gülen Movement in Thought and Practice, December 2008
  • Lewinsohn (ed.), The Heritage of Sufism, Volume I: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi (700-1300).
  • Michon, Jean-Louis. The Autobiography (Fahrasa) of a Moroccan Soufi: Ahmad Ibn 'Ajiba (1747–1809). Louisville: Fons Vitae, 1999.
  • Nurbakhsh, Javad, What is Sufism? electronic text derived from The Path, Khaniqahi Nimatullahi Publications, London, 2003 ISBN 0-933546-70-X.
  • Rahimi, Sadeq (2007). Intimate Exteriority: Sufi Space as Sanctuary for Injured Subjectivities in Turkey., Journal of Religion and Health, Vol. 46, No. 3, September 2007; pp. 409–422
  • Schimmel, Annemarie, Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1983. ISBN 0-8078-1223-4
  • Schmidle, Nicholas, "Pakistan's Sufis Preach Faith and Ecstasy", Smithsonian magazine, December 2008
  • Sells, Michael (ed.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, Poetic and Theological Writings, ISBN 978-0-8091-3619-3.
  • Shah, Idries. The Sufis. New York: Anchor Books, 1971, ISBN 0-385-07966-4.
  • Shah, Sirdar Ikbal Ali. "The General Principles of Sufism," The Hibbert Journal, Vol. XX, October 1921/ July 1922.
  • Shaikh Sharfuddin Maneri. Letters from a Sufi Teacher. Mountain View, CA: Golden Elixir Press, 2010. ISBN 978-0-9843082-4-8.
  • Seker, Nimet. Jewish and Muslim Mysticism: Jewish Mystics on the Sufi Path Qantara.de April 2010
  • Wilcox, Lynn. "Women and the Holy Qur'an: a Sufi Perspective". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1998, ISBN 0-910735-65-4

Pranala luar