Ini adalah artikel yang memenuhi kriteria penghapusan cepat, tetapi tidak ada alasan yang diberikan untuk memenuhinya. Pastikan bahwa alasan Anda telah memenuhi salah satu syarat KPC. Ganti tag dengan {{db|1=alasan Anda}}
. NA
Jika artikel ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa artikel ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
- Kepada nominator: Tempatkan templat:
{{subst:db-reason-notice|Tawan Karang|header=1|tidak ada alasan yang diberikan}} ~~~~
- pada halaman pembicaraan pembuat/pengunggah.
Kepada pengurus: artikel ini memiliki isi pada halaman pembicaraannya yang harus diperiksa sebelum dihapus.
Pengurus: periksa pranala balik, riwayat (beda), dan catatan sebelum dihapus. Periksa di Google.
Halaman ini terakhir disunting oleh Hanamanteo (kontribusi | log) pada 07:25, 4 November 2013 (UTC) (11 tahun lalu)
Tawan karang (taban karang) merupakan salah satu hukum tradisi/adat yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang raja atau masyarakat pesisir menyita kapal yang terdampar di wilayah mereka beserta muatannya dan menjadikan penumpangnya sebagai budak atau kadang-kadang dibunuh.
Hak tawan karang diperbolehkan jika ada kapal yang terdampar di karang-karang muka laut atau pesisir termasuk penumpang dan muatannya, hanya masyarakat setempat yang dapat menolong atau menyelamatkannya. Tujuan hak tawan karang adalah menjaga dan melindungi territorial atau wilayah kekuasaan dari musuh-musuh asing sehingga dianggap sebagai local genius dan menjadi embrio hukum adat antarbangsa dan melahirkan faham wawasan yaitu wawasan nusantara.
Penyebutan tawan karang sudah ada sejak abad X Masehi pada masa Bali Kuno seperti tertulis dalam prasasti Sembiran (923 M) yang terbuat dari tembaga.
IIIb. 3. "me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma
IIIb. 4. katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"
Terjemahan:
IIIb. 3. "dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah
IIIb. 4. diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"
Senada dengan hal tersebut, dalam sebuah prasasti yang lebih tua yaitu prasasti Bebetin A.I (818 Saka atau 896 M) menyebutkan penyitaan langsung terhadap perahu yang rusak:
IIb. 3. "anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"
Terjemahan:
II.b 3. "jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"
Hak tawan karang ini bahkan berlanjut hingga kedatangan pelaut-pelaut Eropa. Penguasaan Pulau Bali oleh pasukan Belanda juga diawali oleh respon tawan karang masyarakat Sanur terhadap kapal dagang belanda yang terdampar di daerah tersebut, walaupun sebenarnya masyarakat Sanur tidak melakukan penyitaan terhadap kapal tersebut. Hal tersebut sengaja dilontarkan atau propaganda oleh pihak Belanda agar dapat menjadi alasan menyerang Pulau Bali.
Hak tawan karang tersebut akhirnya hilang semenjak Belanda menguasai Pulau Bali dan menerapkan aturan yang dibuat Belanda dan cenderung menguntungkan pihaknya.