Tawan Karang

Revisi sejak 4 November 2013 07.40 oleh Prabb (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 7432973 oleh Hanamanteo (bicara))

Tawan karang (taban karang) merupakan salah satu hukum tradisi/adat yang berlaku di Bali pada masa lalu. Hukum ini memperbolehkan seorang raja atau masyarakat pesisir menyita kapal yang terdampar di wilayah mereka beserta muatannya dan menjadikan penumpangnya sebagai budak atau kadang-kadang dibunuh.

Hak tawan karang diperbolehkan jika ada kapal yang terdampar di karang-karang muka laut atau pesisir termasuk penumpang dan muatannya, hanya masyarakat setempat yang dapat menolong atau menyelamatkannya. Tujuan hak tawan karang adalah menjaga dan melindungi territorial atau wilayah kekuasaan dari musuh-musuh asing sehingga dianggap sebagai local genius dan menjadi embrio hukum adat antarbangsa dan melahirkan faham wawasan yaitu wawasan nusantara.

Penyebutan tawan karang sudah ada sejak abad X Masehi pada masa Bali Kuno seperti tertulis dalam prasasti Sembiran (923 M) yang terbuat dari tembaga.

IIIb. 3. "me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma IIIb. 4. katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"

Terjemahan: IIIb. 3. "dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah IIIb. 4. diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"

Senada dengan hal tersebut, dalam sebuah prasasti yang lebih tua yaitu prasasti Bebetin A.I (818 Saka atau 896 M) menyebutkan penyitaan langsung terhadap perahu yang rusak:

IIb. 3. "anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"

Terjemahan: II.b 3. "jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"

Hak tawan karang ini bahkan berlanjut hingga kedatangan pelaut-pelaut Eropa. Penguasaan Pulau Bali oleh pasukan Belanda juga diawali oleh respon tawan karang masyarakat Sanur terhadap kapal dagang belanda yang terdampar di daerah tersebut, walaupun sebenarnya masyarakat Sanur tidak melakukan penyitaan terhadap kapal tersebut. Hal tersebut sengaja dilontarkan atau propaganda oleh pihak Belanda agar dapat menjadi alasan menyerang Pulau Bali.

Hak tawan karang tersebut akhirnya hilang semenjak Belanda menguasai Pulau Bali dan menerapkan aturan yang dibuat Belanda dan cenderung menguntungkan pihaknya.


Sumber Penulisan

http://arkeologi.web.id/articles/epigrafi-a-manuskrip/12-tawan-karang-suatu-aturan-transportasi-laut-di-bali-pada-masa-lalu