Revolusi Nasional Indonesia

artikel daftar Wikimedia

Intro (Ricky)

Revolusi Nasional Indonesia
 
Bung Tomo, salah satu pemimpin pejuang revolusioner.[1]
Tanggal17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
LokasiIndonesia
Hasil Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia
Pihak terlibat
  Indonesia

  Belanda(sejak 1946)

  Britania Raya (hingga 1946)
Tokoh dan pemimpin
  Sukarno
  Jen. Sudirman
  Let.Gen. Sri Sultan Hamengkubuwana IX
  Mohammad Hatta
  Syafruddin Prawiranegara
  Simon Spoor
  Hubertus van Mook
  Willem Franken
  Sir Philip Christison
Kekuatan
Pasukan Republikan:
183.000
Pemuda:
Diperkirakan 60,000
Tentara Kerajaan Belanda:
20,000 - 180,000 orang
Tentara Hindia Belanda:
60,000
Inggris:
30,000+[1]
Korban
45,000 hingga 100,000 pejuang tewas

1,200 militer Inggris tewas [2] 3,144 tentara Hindia Belanda tewas[3]

3,084 tentara Kerajaan Belanda tewas[3]
25,000 hingga 100,000 rakyat sipil tewas [4]

Revolusi Nasional Indonesia adalah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda. Rangkaian peristiwa ini terjadi antara deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda di tahun 1949. Meskipun demikian, gerakan revolusi sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai Tahun Kebangkitan Bangsa.

Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis. Selain itu terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional. Dalam peristiwa ini pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, namun tidak memiliki kontrol di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik, Kerajaan Belanda berhasil ditekan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.[5]. Revolusi ini berujung pada berakhirnya administrasi kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia, di mana kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau dihilangkan.

Latar belakang (Alven)

Pergerakan nasionalisme Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, seperti Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia PNI, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia, PKI, tumbuh dengan cepat di pertengahan abad 20. Budi Utomo, Sarekat Islam dan gerakan nasional lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan bergabung bersama Volksraad Belanda dengan harapan Indonesia akan diberikan pemerintahan sendiri oleh Belanda tanpa campur tangan Kerajaan Belanda [6]. Sedangkan gerakan nasionalisme lainnya memilih cara non kooperatif dengan menuntut kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari koloni Hindia Belanda[7]. Yang paling terkenal memimpin pergerakan ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua mahasiswa dan pemimpin nasionalis yang diuntungkan dengan reformasi politik etis

Pendudukan Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia II merupakan faktor penting untuk revolusi pergerakan nasionalis berikutnya. Belanda memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan penjajahan di tanah Indonesia dengan melawan kekuatan tentara Jepang dan dalam waktu tiga bulan awal pertempuran dengan Jepang, Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda. Jawa dan sebagian Sumatera (kekuasaan pemerintahan Indonesia tanpa Hindia Belanda) menjadi langkah Jepang untuk menduduki wilayah Indonesia dengan mendukung gerakan nationalis Indonesia. Walaupun hal itu dilakukan semata untuk keuntungan Jepang dengan memanfaatkan gerakan nasionalis untuk dapat menerima Jepang di Indonesia dengan cara Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Hal ini menimbulkan lahirnya lembaga - lembaga Indonesia baru (termasuk organisasi lokal) dan pemimpin politik Indonesia yaitu Soekarno.

Ketika Jepang berada di ambang kekalahan perang dunia II, Belanda kembali untuk berusaha membangun wewenang mereka di tanah Indonesia[8]. Pada 7 September 1944, ketika Jepang berada di titik kekalahan dalam perand dunia II Perdana Menteri Jepang yang bernama Koiso menjanjikan untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia walaupun tidak ada tanggal yang ditetapkan untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia[9]

Deklarasi kemerdekaan

Euforia revolusi (Andy)

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.


Pada pertengahan sebelum berita tentang Deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia menyebar ke pulau-pulau lain, dan banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu kota Jakarta tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-Republik, dan suasana revolusi menyapu seluruh negeri. Kekuatan eksternal di dalam negeri telah menyingkir, itu terjadi seminggu sebelum tentara sekutu masuk ke Indonesia, dan Belanda telah lemah kekuatannya dikarenakan Perang Dunia II. Disis lain, orang Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan meletakkan senjata mereka dan juga menjaga ketertiban, sebuah kontradiksi bahwa sebagian besar Jepang yang sudah terlatih menyelesaikan serta menyerahkan senjata kepada Indonesia.

Hasil kekosongan kekuasaan berminggu-minggu setelah Jepang menyerah, menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi Partai Republik. Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-Republik (Badan Perjuangan). Saat itu yang sangat disiplin adalah tentara Jepang namun dibubarkan yaitu Giyugun (PETA) dan Kelompok Heiho. Dan banyak sekali kelompok yang tidak displin dikarenakan awal pembentukan mereka serta sesuatu yang mereka anggap sebagai semangat Revolusioner. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang sering menarik diri dari daerah perkotaan untuk menghindari konfrontasi.

Pada September 1945 kontrol instalasi infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di Jawa, telah diambil alih oleh Republik pemuda. Untuk menyebarkan pesan revolusioner, pemuda mendirikan stasiun radio mereka sendiri dan koran, serta grafiti yang menyatakan sentimen nasionalis. Pada sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan milisi dibentuk. Koran Republik dan jurnal yang umum di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta, yang memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45 ('generasi 45') sebagian besar dari mereka banyak yang percaya bahwa pekerjaan mereka bisa menjadi bagian dari revolusi.

 
Tan Malaka Pejuang

Para pemimpin Republik berjuang untuk dapat berdamai dengan orang-orang populer di Indonesia yang sentimen, di karenakan beberapa menginginkan perjungan menggunakan senjata, dan yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan yang lebih beralasan. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka menyebarkan gagasan bahwa ini adalah perjuangan revolusioner untuk dipimpin dan dimenangkan oleh pemuda Indonesia. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah pemerintah dan lembaga untuk mencapai kemerdekaan melalui diplomasi. Pro-Revolusi melakukan demonstrasi yang berlangsung di kota-kota besar, termasuk salah satu yang dipimpin oleh Tan Malaka di Jakarta dengan lebih dari 200.000 orang, yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh Soekarno dan Hatta, karna takut akan kekerasan yang terjadi.

Pada September 1945 banyak pemuda Indonesia yang memplokamirkan diri, siap mati untuk "100% kemerdekaan" karna tidak dapat sabar. Hal itu umum bagi etnis 'diluar-kelompok' - interniran Belanda, Eurasia, Ambon dan Cina - dan siapa saja akan dianggap sebagai mata-mata, menjadi sasaran intimidasi, penculikan, perampokan, dan kadang-kadang pembunuhan, bahkan pembantaian terorganisir. Serangan tersebut akan terus sampai batas tertentu untuk jalannya revolusi. Akhirnya tingkat kekerasan meningkat di seluruh negeri, Soekarno dan Hatta menyerukan kepada pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan bersenjata melihat pimpinan yang lebih tua seperti mengkhianati revolusi, yang akhirnya sering menyebabkan konflik di kalangan masyarakat Indonesia.

Kekacauan internal

Beberapa kekacauan internal terjadi di pihak Indonesia selama terjadinya revolusi, antara lain:

Revolusi sosial

"Revolusi sosial" yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrat dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.

Kultur kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan Belanda seringkali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal, antara lain para raja, bupati, atau kadang sekedar orang-orang kaya, seringkali menjadi sasaran penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatera dan Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya kebanyakan daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia telah kembali jatuh ke tangan Belanda.

Kebanyakan orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka yang hidup di bawah kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer, "Merdeka ataoe mati!" seringkali menjadi pembenaran untuk pembunuhan yang terjadi di daerah kekuasaan Republik. Para pedagang seringkali mengalami situasi sulit ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak Republik untuk memboikot semua ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga tidak mengenal ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi pihak Republik. Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk menuntut kebijakan proaktif dari para pemimpin, seringkali berakhir tidak hanya menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tapi juga perampokan dan pemerasan. Pedagang Cina, khususnya, seringkali diminta untuk memberikan harga murah dengan ancaman pembunuhan.

Pemberontakan Komunis

Untuk informasi lebih lengkap mengenai topik ini, silakan kunjungi artikel Peristiwa Madiun

Pada 18 September 1948 Republik Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun, oleh anggota PKI yang berniat menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan Sukarno Hatta, yang dianggap budak Jepang dan Amerika[10]. Pertempuran antara TNI dan PKI ini, tetap dimenangkan pihak TNI dalam beberapa minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo, Gubernur Jawa Tiur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin relijius gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional[10] dan memperkuat simpati Amerika yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme, menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak Republik Indonesia mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon sekutu potensial di awal era perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet. [11]

Pemberontakan Darul Islam

Untuk informasi lebih lengkap mengenai topik ini, silakan kunjungi artikel Negara Islam Indonesia

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.

Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.

Awalnya TNI tidak merespon karena sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun setelah seluruh teritori kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mulai menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah beberapa provinsi lainnya menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan ini berhasil dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.

slot 1

Pembentukan pemerintah republikan

Pada akhir bulan Agustus, pemerintah Republikan telah berdiri di Jakarta. Hingga pemilihan umum digelar, Komite Indonesia Nasional Pusat dibentuk untuk membantu Presiden. Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten. Mendengar berita pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa raja menyatakan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Sementara beberapa lainnya, terutama yang pernah didukung oleh pemerintah Belanda.[12].

Khawatir Belanda akan berusaha merebut kembali kekuasaan di Indonesia, Pemerintah Republikan yang baru dibentuk tersebut dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan masih sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat sedikit.[13] Pada bulan November 1945, parlemen dibentuk dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menterinya.

Beberapa minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun (PETA) dan Heiho dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Struktur komando dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan Republikan yang mulai tumbuh di bulan September lebih banyak dipimpin kelompok-kelompok kecil pemuda yang belum banyak terlatih, yang biasanya dipimpin oleh pemimpin karismatik.[12] Ketiadaan struktur militer yang patuh pada pemerintah pusat menjadi problem utama revolusi kala itu.[5] Dalam masa awal pembentukan struktur militer, perwira Indonesia yang dilatih Jepang mendapat posisi yang lebih tinggi dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda. Pada 12 November 1945, seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun, Sudirman, dipilih sebagai 'Panglima Besar'.[14]

Perjanjian Linggarjati

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :

  • Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
  • Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.

Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Operasi Product

Pada tengah malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan militer yang disebut sebagai Operatie Product, dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan republikan. Aksi militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda sebagai politionele acties ("aksi polisi") untuk penertiban dan penegakkan hukum. Pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatera serta Jawa Barat dan Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatera, installasi minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.

 
A Dutch military column during Operation Product

Negara-negara lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini. Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat segera mendukung Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda diboikot mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif dengan membentuk Good Offices Committee untuk mendorong negosiasi. PBB kemudian mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata.[15] Pada saat aksi militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947, Pasukan Belanda membantai banyak warga sipil di Desa Rawagede (saat ini wilayah Balongsari di Karawang, Jawa Barat]].

Tindakan Sekutu

Pihak sekutu Belanda menuduh Sukarno dan Hatta berkolaborasi dengan pihak Jepang dan mencela bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme Jepang.[16] Administrasi Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta dollar dari Amerika Serikat untuk mendanai pengembalian Indonesia sebagai jajahan mereka kembali.[17]

Dampak (Alven)

 
Wakil Presiden Indonesia, Hatta dan Ratu Belanda, Juliana menandatangani kedaulatan Indonesia di Den Haag, Belanda

Walaupun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak penduduk Indonesia yang meninggal dalam gerakan revolusi Indonesia. Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan Indonesia berkisar dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa. Selain itu, tentara Inggris yang berjumlah 1200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera antara tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda lebih dari 5000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia. Lebih banyak lagi tentara Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal dalam peperangan sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang gugur dalam peperangan, sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat Indonesia lainnya. Puluhan ribu Cina dan masyarakat asing lainnya di bunuh atau terpaksa kehilangan tempat tinggalnya di Indonesia, walaupun dalam kenyataannya masyarakat Cina yang tinggal di Indonesia mendukung gerakan revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Selain itu, lebih dari tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatera dan Jawa. [18].

Gerakan revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi, sosial dan budaya Indonesia itu sendiri, diantaranya kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar. Ada dua efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk membangun ekonomi mereka secara berkelanjutan setelah perang dunia II dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap hal yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya di blokade oleh Belanda.

Referensi

  1. ^ Frederick, William H. (1982). "In Memoriam: Sutomo" (PDF). Indonesia. Cornell Modern Indonesia Project. 33: 127–128. seap.indo/1107016901. 
  2. ^ Kirby, Woodburn S (1969). War Against Japan, Volume 5: The Surrender of Japan. HMSO. hlm. 258. 
  3. ^ a b http://www.1945-1950ubachsberg.nl/site/erevelden.htm
  4. ^ Friend, Bill personal comment 22 April 2004; Friend, Theodore (1988). Blue Eyed Enemy. Princeton University Press. hlm. 228 & 237. ISBN 978-0-691-05524-4. ; Nyoman S. Pendit, Bali Berjuang (2nd edn Jakarta:Gunung Agung, 1979 [original edn 1954]); Reid (1973), page 58,n.25, page 119,n.7, page 120,n.17, page 148,n.25 and n.37; Pramoedya Anwar Toer, Koesalah Soebagyo Toer and Ediati Kamil Kronik Revolusi Indonesia [Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, vol. I (1945); vol. II (1946) 1999; vol. III (1947); vol. IV (1948) 2003]; Ann Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt, 1870–1979 (New Haven:Yale University Press, 1985), p103.; all cited in Vickers (2005), page 100
  5. ^ a b Friend (2003), page 35
  6. ^ "Nationalism in Netherland East Asia’ "Pacific Affairs". 1931. diakses pada 10 November 2013
  7. ^ "Who Killed Brigadir Mallaby’ "J.G.A Parrot". 1931. diakses pada 10 November 2013
  8. ^ "Political Problems in Indonesia’ "Charles Bidien". 1945. diakses pada 10 November 2013
  9. ^ "The National Revolution 1945-50’ "Country Studies USA". 1931. diakses pada 10 November 2013
  10. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama DESTINIESp32
  11. ^ Ricklefs (1991), page 230
  12. ^ a b Ricklefs (1991), page 214
  13. ^ Friend (2003), page 33
  14. ^ Reid (1974), page 78
  15. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama RICKLEFSp226
  16. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama USCONGRESS_REV
  17. ^ Charles Bidien (5 December 1945). "Independence the Issue". Far Eastern Survey. 14 (24): 345–348. doi:10.1525/as.1945.14.24.01p17062. JSTOR 3023219. 
  18. ^ "Combination of footage and stories of Dutch war veterans.’ "Tom Verheul". 1995. diakses pada 10 November 2013