Curug Maribaya

salah satu sungai di dunia

Maribaya terletak di sebelah utara kota Bandung. Tepat nya berada di sebelah timur Lembang. Kawasan ini dulu terkenal dengan pemandian air panas nya. Tapi saat ini yang masih terkenal adalah alam nya yang masih asri dan menyatu dengan kawasan Taman Hutan Raya Djuanda.

Air terjun Maribaya
Air terjun utama di Air terjun Maribaya
LokasiBandung Barat, Jawa Barat, Indonesia
Tinggi total120 m
Jumlah titik1
Rata-rata laju aliran700 m³/s (38,430 cu ft/s)

Untuk menuju ke sini bisa dari arah kota Bandung atau bisa juga dari arah kota Subang. Saya sengaja ambil yang dari kota Subang karena memang sekalian mau ke Tangkuban Parahu. Jalur ini memang menjadi jalur alternatif menuju Bandung dan pemandangan di kiri kanannya yang enak dilihat.

Seperti biasa sebelum melakukan perjalanan, saya mencari cari dulu sebanyak mungkin informasi. Baik informasi tentang rute nya atau fasilitas dari tempat yang akan kita kunjungi. Ini semua agar perjalanan jadi efisien.

Dari informasi yang didapat, baik berupa tulisan atau gambar dari internet, Maribaya adalah kawasan wisata alam yang dulunya terkenal dengan pemandian air panasnya. Tapi saat ini yang paling dikenal adalah adanya curug / air terjun yang ada di beberapa tempat di lokasi ini. Juga keadaan yang masih alami dengan pohon-pohon yang tinggi dan tentu saja udara yang segar.

Saya dan keluarga memulai perjalanan dari Bekasi berangkat jam 6 pagi. Dengan harapan kalau berangkat agak pagi nanti jalan tol tidak terlalu padat. Pengalaman sebelumnya kalau weekend apalagi long weekend kalau sudah agak siang arus lalu lintas padat. Bahkan cenderung macet.

Kali ini perjalanan rencananya akan melewati jalur tol Cikampek – Cipularang – keluar di Sadang. Dari Sadang – Subang – Ciater – Lembang. Jalur ini biasanya menjadi jalur alternatif ke Bandung, selain lewat tol Cipularang langsung ke Bandung. Disamping karena untuk menghindari kemungkinan macet di Cipularang - saat saya pergi ini adalah long weekend – juga di jalur ini pemandangannya bagus dan yang lebih penting lagi dekat dengan lokasi yang akan kami tuju.

Perjalanan di tol Cikampek lancar. Ada sedikit kepadatan di beberapa tempat, tapi umumnya lancar. Begitu juga di tol Cipularang keluar di Sadang, perjalanan lancar. Sementara jalur Sadang ke Subang umumnya lancar. Cuma kadang-kadang harus mengurangi kecepatan karena ada jalan yang menyempit atau rusak. Atau juga karena angkot yang jalannya agak pelan dan kadang-kadang berhenti mendadak

Perjalanan mulai mengasyikan saat melintas dari kota Subang menuju ke Ciater. Jalanan yang naik turun enak dilewati karena mulus. Pemandangan di kiri kanan juga enak dilihat. Banyak penjual buah nanas yang menggantungnya di depan kios yang memang merupakan ciri khas jalanan sini. Buah nanas dari Subang, tepatnya di sekitar Jalan Cagak terkenal berbentuk besar, airnya banyak dan manis.

Jalanan mulus dan naik turun seperti ini terus sampai ke daerah Ciater. Selepas Ciater jalanan juga mulus tapi mulai banyak tanjakan yang lumayan curam dan panjang. Melewati sini mobil harus sehat. Kalau tidak akan lelet saat menanjak dan bahkan mesin bisa kepanasan (overheat). Beberapa kali terlihat mobil yang berhenti di pinggir jalan dan ngebul radioatornya.

Walaupun begitu di jalur ini kita dimanjakan dengan hamparan luas kebun teh di kiri kanan jalan. Banyak bis wisata dari arah berlawanan yang parkir di pinggir jalan ini. Terlihat juga beberapa rombongan turis dari luar negeri yang sedang asik menikmati hijaunya kebun teh dan berfoto.

Perjalanan dengan banyak tanjakan dan hamparan hijaunya kebun teh sudah mulai berkurang. Sekarang sudah mulai berganti dengan pemandangan pepohonan di kiri kanan jalan. Satu dua bangunan juga mulai terlihat. Ini pertanda sudah hampir mendekati Lembang. Saya mengurangi kecepatan mobil sambil memperhatikan kiri kanan untuk mencari jalan yang ke arah Tangkuban Parahu. Saya ternyata terlewat, karena jalan ke Tangkuban Parahu kalau dari arah Ciater tidak terlalu jelas terlihat. Papan penunjuk pun minim dan tertutup oleh spanduk-spanduk dan baliho entah untuk acara apa. Akhirnya diputuskan untuk ke Maribaya dulu lalu siangnya ke Tangkuban Parahu.

Sesampainya di Lembang, di pertigaan ada petunjuk jalan kalau ke Maribaya ambil jalan yang ke kiri. Tertulis jaraknya 4 km dari pertigaan Lembang. Saya mengikuti petunjuk arah itu. Jalanan ke kiri ini makin ke dalam makin menyempit. Disana-sini banyak jalan bergelombang. Sepintas disini seperti jalan lingkungan perumahan.

Setelah ketemu tempat wisata ala koboy, De Ranch, masih jalan lurus. Ikuti saja jalan yang makin lama makin menurun dan berkelok, tapi tetap bergelombang. Mobil saya yang kemarin sesekali bunyi kriyet, disini makin sering bunyinya akibat melewati jalan berbatu. Setelah melewati turunan yang agak curam, nanti di sebelah kanan ketemu dengan parkiran khusus bus. Saya masih terus. Sepertinya sudah hampir sampai di kawasan wisata Maribaya.

Saat mau masuk ke loket pertama, karena agak padat saya diarahkan untuk ke loket kedua. Jaraknya masih beberapa ratus meter dari situ. Ketemu loket kedua dan membayar tiket masuk saya langsung menuju ke parkiran mobil dari pintu loket kedua ini. Walau sudah agak senior (baca: bapak-bapak) tapi petugas loketnya melayani dengan ramah.

Di parkiran ini tidak banyak mobil pribadi yang parkir. Hanya terlihat 1-2 saja. Saya sampai di lokasi sekitar jam 11 siang. Saya mulai mencari petunjuk dimana tempat-tempat yang menarik di sekitar sini. Ada semacam penunjuk ke arah curug Omas yang merupakan curug terbesar di kawasan Maribaya ini. Saya hampir selalu milihat foto curug Omas ini saat membaca informasi seputar Maribaya. Berarti memang curug ini terkenal. Sebenarnya di sini bukan hanya ada curug Omas, di dekat saya parkir ini ada juga beberapa curug, walau memang agak kecil. Jadi kurang menarik orang untuk melihatnya. Saya pun juga tidak melihat curug-curug ini. Saya ingin terlebih dahulu ke curug Omas.

Dari petunjuk dipasang di pohon, curug Omas berjarak sekitar 200 meter dari tempat saya parkir. Saya pun langsung menuju ke sana. Melewati jalan setapak dan agak sedikit menanjak. Saya berbarengan dengan pengunjung lain yang juga banyak mengarah dari dan ke arah curug Omas ini.

Cuma saya agak kaget, ternyata kalau mau masuk curug Omas dari Maribaya harus membayar karcis lagi. Saya coba tanyakan ke petugas loket kenapa harus bayar lagi, kan tidak jauh dari Maribaya. Dijawab karena curug Omas masuk kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Jadi harus membayar tiket untuk masuk kawasan itu. Ya akhirnya saya masuk juga ke arah curug Omas.

Dari loket Taman Hutan Raya ini jalan menuju ke curug Omas agak bagus. Jalanan dibuat berundak dari semen dan batu-batu kecil dan di salah satu sisinya diberi pagar besi. Disamping bisa untuk menjaga agar tidak terjatuh ke samping, pagar ini bisa juga sebagai pegangan. Jalanan licin kalau agak basah. Apalagi jalanan menuju ke curug agak menanjak lalu menurun saat mendekati curug. Jadi harus ekstra hati-hati agar tidak terpeleset.

Bunyi air terjun yang khas sudah terdengar makin keras. Dan orang-orang yang mendekati curug juga sudah banyak. Kami sepertinya berbarengan dengan rombongan anak-anak sekolah dari luar daerah.

Ada beberapa anak kecil dan ibu-ibu yang menawarkan untuk menyewa tikar. Saya belum berminat untuk duduk-duduk. Saya masih ingin melihat curug dari berbagai titik.

Dari beberapa tulisan blog ada yang menulis kalau warna air di curug Omas ini keruh, ada sampah dan bahkan berbau. Itu katanya kejadian beberapa tahun lalu. Tapi saat saya berkunjung untungnya tidak mengalami hal itu. Air sungai memang tidak terlalu bening, hanya kecoklatan. Tapi tidak ada bau yang tidak sedap karena kotornya air. Sampah pun saya lihat terlalu terlihat. Malah terlihat putih saat air terjun dari ketinggian dan menimpa air yang dibawahnya. Ini menimbulkan butiran-butiran air yang lembut dan terbawa angin ke atas.

Yang juga menarik adalah curug ini dipasang jembatan di atasnya. Sehingga kita bisa melihat langsung air yang terjun deras ke bawah tepat dari atasnya. Sepertinya enak melintasi jembatan sambil melihat ke bawah air yang terjun dari ketinggian. Saya pun, seperti juga pengunjung yang lain ingin mencobanya. Baru melewati sedikit bagian jembatan saja sudah mulai deg-degan. Terpikir dengan kayu-kayunya yang selalu lembab takut sudah lapuk. Apalagi saat di sela-sela kayu itu melihat ke bawah, melihat air yang jatuh dengan derasnya makin membuat deg-degan. Saya tidak meneruskan melihat ke bawah dan langsung saja jalan pelan-pelan ke ujung jembatan. Apalagi jembatan terasa seperti bergoyang-goyang yang makin membuat deg-degan. Jembatan bergoyang-goyang karena di belakang saya sepertinya banyak yang berbarengan memasuki jembatan. Dan pantesan saja bergoyang, saat saya sampai di ujung dan membaca tulisan di besi jembatan, ternyata disarankan maksimal 5 orang saat melewati jembatan ini. Mestinya pengunjung mengikuti saran yang tertulis pada jembatan itu agar pengunjung lain merasa nyaman.

Setelah sampai ujung jembatan saya menuju ke arah bawah. Disana juga disediakan jembatan untuk melihat curug dari bawah. Dari sini pemandangan curug lebih enak dilihatnya. Apalagi ditambah dengan semacam kabut yang pelan-pelan naik ke atas akibat deburan air ke bawah, makin menambah enak dilihat. Tapi harus siap-siap basah kalau deburan air tadi makin banyak dan terkena angin. Bisa seperti hujan lokal.

Lalu kami naik ke atas lagi di posisi saat datang. Di sini juga ada lapangan rumput yang luas dan di tengahnya ada semacam monumen. Agak ke atas berderet warung-warung berbagai makanan dan minuman. Kadang-kadang terlihat juga monyet yang sedang mencari makan. Tapi sayangnya di sekitar lapangan ini tidak disediakan tempat duduk yang memadai. Jadinya tidak bisa sekedar melemaskan kaki yang sudah gempor sejak berjalan menuju ke sini dan berjalan-jalan disini. Kecuali mau menyewa tikar yang memang dari sejak datang tadi ditawarkan.

Saya mencoba lagi menyeberangi curug lewat jembatan yang di atas. Kali ini saya mencoba ke arah atas dimana terdapat papan penunjuk ke goa Belanda dan goa Jepang. Tapi sayangnya jaraknya jauh dari sini, sekitar 5 km. Jadinya saya tidak mencoba ke arah goa-goa itu. Cuma mencoba naik ke atas lagi sekedar lihat-lihat hutan. Jalanan ke atas sini lebih menanjak dibanding yang sebelumnya. Hingga membuat kaki makin terasa pegal. Di atas sini juga banyak rombongan yang sedang berjalan juga. Di kiri kanan jalan ini ada tulisan nama pada pohon yang tumbuh. Jadi bisa membuat pengunjung tahu nama pohon.

Karena sudah makin pegal kaki, kami pun akhirnya kembali lagi ke parkiran. Istirahat sebentar sambil makan tahu goreng panas dan bakwan yang dijual di dekat kami parkir. Waktu menunjukkan sekitar jam 1 siang. Dan sepertinya masih cukup waktu untuk lanjut ke Tangkuban Parahu.

Sebenarnya masih banyak yang masih bisa dinikmati di Maribaya ini. Seperti misalnya mencoba tempat pemandian air panas yang dulunya terkenal. Curug-curug kecil yang ada di antara baru masuk Maribaya hingga ke arah hutan kota. Sementara untuk Hutan Raya Juanda saya baru mengunjungi curug Omas. Sepertinya masih ada curug-curug lain dan goa-goa bersejarah. Sayangnya tempat itu terlalu jauh dari Maribaya. Mungkin suatu saat akan saya kunjuni lagi dari arah Dago Pakar. Syukur-syukur bisa sambil bertualang jalan kaki melintasi hutan kota yang rindang dan udara yang segar.

Fasilitas di Maribaya ini perlu diperbaiki, misalnya toilet yang seadanya. Kurangnya tempat untuk duduk-duduk dan berkumpul, yang ada sekarang cuma lapangan terbuka saja. Tempat-tempat makan dan minum yang menarik minat untuk membelinya. Mungkin perlu juga diadakan penginapan yang nyaman sehingga makin menarik pengunjung untuk ke Maribaya.


Harga tiket Maribaya

Tiket masuk orang : Rp. 3.250 Tiket masuk mobil : Rp. 3.000 Tiket parkir mobil : Rp. 2000

Harga tiket Taman Hutan Raya Juanda Tiket masuk orang : Rp. 7.500 Asuransi : Rp. 1000