Kelenteng Hoo Tong Bio

bangunan kuil di Indonesia

TITD Hu Tang Miao (Hokkien=Ho Tong Bio) atau biasa dikenal dengan sebutan Klenteng Banyuwangi, merupakan Klenteng tertua di wilayah Jawa Timur dan Bali. Dewata utama yang dipuja di klenteng ini adalah Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren. TITD Hu Tang Miao merupakan Klenteng induk dari sembilan klenteng Chen Fu Zhen Ren yang tersebar di Jawa Timur, Bali, dan Pulau Lombok.

Tempat Ibadah Tridharma Ho Tong Bio
Informasi umum
LokasiIndonesia Banyuwangi, Jawa Timur
AlamatJalan Ikan Gurami Nomor 54, Banyuwangi, Banyuwangi

Sebagai Klenteng Induk, perayaan di TITD Hu Tang Miao seringkali menjadi yang paling ramai didatangi umat Tridharma. Umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren dari lain daerah juga secara rutin mengunjungi Klenteng Hu Tang Miao. Ada pula umat beragama lain yang datang secara rutin karena alasan pribadi mereka masing-masing.[1].

Etimologi

TITD merupakan singkatan dari Tempat Ibadah Tri Dharma atau secara umum disebut sebagai Klenteng.

Sejarah

Pada mulanya, klenteng paling pertama yang dibangun untuk Chen Fu Zhen Ren berlokasi di Lateng. Namun, setelah Blambangan diserang Belanda pada tahun 1765, pusat kerajaan dipindahkan di Kota Banyuwangi sekarang (sebelumnya berada di sekitar Muncar). Warga cina ikut bermigrasi dan memindahkan lokasi Klenteng Chen Fu Zhen Ren ke Klenteng Hu Tang Miao yang sekarang. Belanda menguasai daerah Banyuwangi baru di tahun 1774 sehingga Banyuwangi ditinggalkan penduduknya. Untuk mengembangkan pertanian, Belanda mempekerjakan 100 orang Cina di Banyuwangi [2].

Tanggal pendirian TITD Hu Tang Miao tidak diketahui karena tidak adanya catatan. Prasasti tertua yang diketahui adalah sebuah panel kayu bertanggal Qianlong Jiachen (1784) yang memuat kaligrafi Tan Cin Jin (Chen Fu Zhen Ren). Sumber lain dari catatan dokter Franz Epp berkebangsaan Jerman yang menyatakan bahwa Hu Tang Miao direnovasi kembali pada tahun 1848 [3]. Menurut Epp:

"Pagoda mereka dan Dewa yang ada di dalamnya adalah yang tertua di Jawa dan telah berdiri sebelum kedatangan bangsa Eropa. Seperti Lateran di Roma, kuil ini dapat disebut "Induk atau kepala dari semua Kota dan seluruh Dunia" sehubungan dengan kuil-kuil yang lain di Jawa, karena kuil-kuil selanjutnya menganggap diri mereka sebagai keturunan atau cabangnya. Orang-orang Cina mempunyai rasa hormat amat besar tehadap kuil induk ini" [4].

Arsitektur

Pintu gerbang utama untuk masuk ke kawasan klenteng Ho Tong Bio memiliki tiga buah pintu, yaitu dua buah pintu samping untuk umat dan pintu utama di tengah yang dipergunakan untuk ritual. Pintu masuk utama ke dalam klenteng juga ada tiga buah, yaitu pintu utama di tengah untuk roh-roh suci, pintu naga di sayap kiri, dan pintu harimau di sayap kanan. Terdapat kepercayaan bagi warga Tionghoa untuk masuk melalui pintu naga dan keluar dari pintu harimau, karena memiliki arti simbolik memasuki keberuntungan (naga) dan keluar dari kemalangan (harimau).

Daftar altar

Daftar altar di Klenteng Ho Tong Bio:

  1. Tian
  2. Kongco Chen Fu Zhen Ren
  3. Cim Kong Sin (Dewa Kepiting)
  4. Pek Ho Sin (Dewa Macan Putih)
  5. Bi Lek Hut
  6. Wi Tho Pho Sat
  7. Guan Yin didampingi Long Nie dan San Jay
  8. Cap Pek Lo Han (9 pertama)
  9. Cap Pek Lo Han (9 terakhir)
  10. Tee Cong Ong Pho Sat didampingi Ming Kung dan Tao Ming Ho Sang
  11. Kwan Kong didampingi Coo Jang Ciang Cin dan Kwan Ping Day Tze
  12. Thian Siang Sing Bo didampingi Suen Feng Oel dan Jien Lie Yen
  13. Kong Tek Cun Ong
  14. Lao Cu
  15. Sik Kia Moni Hut
  16. Khong Hu Cu
  17. Ngo Co
  18. Jay Sen Ye
  19. Hok Tek Cing Sin

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Salmon, Claudine dan Sidharta, Myra. 24 Juni 2000. "Kebudayaan Asia-Dari Kapten Hingga Nenek Moyang yang Didewakan: Pemujaan Terhadap Kongco di Jawa Timur dan Bali (Abad ke-18 dan 20)", Hal. 27.
  2. ^ Salmon, Claudine dan Sidharta, Myra. 24 Juni 2000. "Kebudayaan Asia-Dari Kapten Hingga Nenek Moyang yang Didewakan: Pemujaan Terhadap Kongco di Jawa Timur dan Bali (Abad ke-18 dan 20)", Hal. 7.
  3. ^ Franz Epp, Schilderungen aus Hollandisch-Ostindien, Heidelberg, C.F. Winter, 1852, hal. 469-71, dikutip oleh Mary Somers Heidhues, "Dissecting the Indies: The Nineteenth Century Doctor Franz Epp", Archipel, 1995, hal. 35.
  4. ^ Franz Epp, Banjoewangi", Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1849, II, 2, hal. 249.

Pranala luar