Serat Sindujoyo

Revisi sejak 20 Januari 2014 10.39 oleh Mmunarist (bicara | kontrib) (tambahan serat)

Sindu Joyo Sebagai nelayan Kyai Sindujoyo tidak seperti nelayan umumnya dalam kerjanya. Beliau menarik seroh (sodoh) tak ubahnya seorang yang melaksanakan lelaku (tirakat). Pada bagian ujung sodoh(seroh)nya dibiarkan terbuka tidak diikat seperti nelayan umumnya sehingga ikan yang masuk diserohnya keluar lagi lewat ujung serohnya. Beliau hanya membawa ikan yang cukup untuk dikonsumsi keluarganya selebihnya dilepas kembali ke laut.

Saat melaut ini beliau berkenalan dengan MERTOJOYO lelaki dari Manukan yang sama-sama mencari ikan. Beliau juga bagian dari pasukan Ampel Dento. Dalam melaksanakan lelakunya, beliau sering mendorong alat tangkap serohnya hingga beliau menemukan tempat yang sunyi dan cocok untuk melaksanakan tapa. Tempat tersebut ada di Kali Tanggok. Di atas sebuah pohon di kali Tanggok inilah Kyai sindujoyo melakukan tapa selama tiga bulan.

Setelah usai melakukan tapa beliau terbangun dan heran melihat banyak armada laut yang melintas di Kali Tanggok. Saat menghampiri armada inilah Kyai Sindujoyo bertemu kembali dengan Martojoyo. Dari Martojoyo inilah kyai Sindujoyo mengetahui, bahwa iring-iringan armada laut ini adalah pasukan Ampel Dento yang akan berperang melawan pasukan Gumeno yang dipimpin Kidang palih.

Perang di Gumeno ini telah menyebabkan kekalahan di pihak Ampel Dento. Pasukan yang dipimpin langsung oleh sang patih pulang dengan membawa kekalahan. Kekuatan kembali disusun lagi untuk menyerang Gumeno, Tapi lagi lagi pasukan Ampel Dento menelan kekalahan. Kekalahan demi kekalahan ampel Dento membuat murka Raja Ampel. Akhirnya disusunlah kekuatan yang jauh lebih besar, tapi tak seorangpun berani menjadi panglima perang. Kemudian Martojoyo mengusulkan kepada sang Raja, agar Kyai Sindujoyo yang berasal dari desa ROOMO agar diperkenankan untuk memimpin pasukan ampel dento. Usul itupun disetujui raja Ampel Dento. Dan Martojoyo diutus untuk memanggil Kyai Sindujoyo agar bersedia menghadap sang Raja.Setelah menghadap raja ampel Dento, Kyai Sindujoyo diajak ke gudang senjata, untuk memilih senjata yang cocok. Dipilihlah tombak yang paling jelek diantara ratusan tombak di gudang.

Dibawah pimpinan Kyai Sindujoyo ternyata ekspedisi ini berhasil merahi kemenangan dan Kyai Sindujoyo berhasil membunuh Kidang Palih. Mendengar berita kekalahan pasukan Gumeno dan kematian Kidang Palih membuat istri Kidang Palih tidak Terima. Beliau ingin membalas kematian suaminya kepada Kyai Sindujoyo. Dengan berdandan bak seorang lelaki, istri Kidang Palih berkuda mengejar Kyai Sindujoyo. Pertarungan terjadi Istri Kidang palih tewas dengan tikaman tombak tepat di dadanya. Begitu mengetahui yang terbunuh seorang wanita, Kyai sindujoyo amat menyesal dan meninggalkan medan perang tanpa pamit dengan pasukan yang dipimpinnya.


Seperti halnya di Surakarta, Kyai Sindujoyo menolak pemberia hadiah dari raja Ampel Dento. Ratusan kerbau itu diberikan pada Rakyat Gumeno yang telah ditinggalkan pemimpinnya, dan beliau memilih satu kerbau untuk dijadikan tempat bertapa. Dari kali Tanggok beliau masuk ke dalam kerbau selama empat puluh hari, dan sampailah bangkai kerbau tersebut di desa KARANG PASUNG sekarang jadi kelurahan KROMAN. Saat keluar dari kerbau Kyai Sindujoyo menjumpai anak buaya yang terjepit akar pohon bakau(Tanjang). Lalu buaya kecil itu diangkat dan dikembalikan ke laut. Kyai Sindujoyo membuka lahan dengan membabat hutan bakau ini untuk membuat rumah yang baru di desa KARANG PASUNG.

Serat Sindujoyo

Serat Sindujoyo merupakan manuskrip yang ditulis oleh Ki Tarub Agung pada tahun 1856 M, sesuai dengan yang tertulis pada kolofon naskah yaitu :

Bismillahir rohmanirrohim.

Kalanipun duk sinerat,

ing dina ngahat ta mangko,

wayahipun pukul songo,

manis pakenaniro,

ing sasi Ramelan iku,

tanggalipun ping sawelas.

 

Taun jimakir winarni,

Ing windu karar punika,

Sadasa iku mangsane,

Wukune landep punika,

Sampune sinengkalan,

”Gajah pepitu puniku,

Sapta tunggal” Kang winarna.

Yang artinya:

Dengan menyebut nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang,

Awal waktu penulisan kisah ini,

Pada hari Ahad,

Jam sembilan,

Di hari pasaran legi,

Dalam bulan Ramadhan,

Tanggal sebelas.

Tahun jimaki,

Dalam windu karar,

Mangsa sepuluh

Wuku landep,

Sesudahnya diberi candra sengkala (prasasti),

”Gajah pepitu itu,

Sapta tunggal (tahun 1778 Saka)”.                                    Dari keterangan tersebut dapat kita runtutkan tahun penulisannya yaitu Gajah = esti = 8, pepitu = 7, sapta= 7, tunggal= 1. Maka naskah ini ditulis pada tahun 1778 Çaka. Jika dikonversikan ke dalam masehi yaitu tahun 1856 M.

Naskah ini berjumlah 188 halaman, dengan 107 halaman di antaranya berisi ilustrasi, 76 halaman di antaranya berisi ilustrasi penuh. Ilustrator dari manuskrip ini adalah Kyai Buder.

Naskah Serat Sindujoyo ini menceritakan tentang seorang santri Sunan Prapen (cucu Sunan Giri) yang gemar melakukan perjalanan. Sindujoyo sendiri bernama asli Pangaskarta(beberapa orang menyebutnya Bangaskarta) yang merupakan putra dari Kyai Kening dari desa Kelanting, Lamongan. Suatu ketika, Pangaskarta dan Imam Sujono -salah satu santri lainnya- mengadakan perjalanan ke arah barat. Di tengah perjalanan mereka berdua bertemu dengan dua kakak beradik yang kemudian mengikuti mereka untuk bertapa di Gua Sigolo-Golo yang berada di Sragen, Jawa Tengah. Setelah tiga bulan bertapa di Gua Sigolo-Golo, Sunan Amangkurat Kertasura memanggil mereka untuk mengikuti sayembara guna menangkap Tumenggung Banyumas yang sombong. Keempat orang tersebut pun akhirnya berhasil memenangkan sayembara tersebut. Sunan Amangkurat Kertasura memberi mereka hadiah berupa kebo bule. Begitulah salah satu bagian cerita dalam Serat Sindujoyo ini. Bagian cerita berikutnya merupakan kisah perjalanan Sindujoyo dalam menghadapi musuh-musuhnya dan menegakkan ajaran Islam.

Saat ini naskah Serat Sindujoyo yang asli terdapat di Makam Dalem, yaitu makam Sindujoyo di desa Karang Poh kabupaten Gresik dengan kondisi yang memprihatinkan. Beberapa halaman sobek karena termakan usia. Naskah ini ditulis dengan huruf pegon berbahasa Jawa.


Sumber :

  1. Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
  2. Danandjaja, James. 1982. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Penerbit Grafiti.
  3. Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta : Pustaka Jaya.
  4. Mustakim. 2006. Gresik Dalam Panggung Sejarah Indonesia: dari Kerajaan sampai Kemerdekaan. Gresik : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gresik.
  5. Mustakim. 2005. Mengenal Sejarah dan Budaya Masyarakat Gresik. Gresik : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gresik.
  6. Widodo, Dukut Imam. 2004. Grissee Tempoe Doeloe. Gresik : Pemerintah Kabupaten Gresik.
  7. http://grisseeisgresik.blogspot.com/2011/03/sosok-kyai-sindujoyo-santri-sunan.html