SEJARAH BATIK TULIS DI MADURA
Seni batik Madura diperkirakan masuk ke wilayah madura sejak tahun 1293, dan kemudian terus berlanjut hingga abad ke-17. Saat itu kerajaan Sumenep dipimpin oleh Ario Prabuwinoko. Pada masa itu, kain batik madura mulai dikenal oleh masyarakat madura secara luas dan sejak saat itu juga, batik Madura mulai dikenalkan sebagai warisan leluhur yang berbeda dengan batik milik daerah lain yang ada di nusantara ini, batik madura benar-benar kaya dengan motif dang sangat beragam.
Pada masa itu terjadi peperangan di Pamekasan Madura antara Raden Azhar (Kiai Penghulu Bagandan) melawan Ke’ Lesap. Raden Azhar adalah ulama penasihat spiritual Adipati Pamekasan yang bernama Raden Ismail. Sedangkan Ke’ Lesap merupakan putra asli Madura yang merupakan keturunan Cakraningrat I dengan istri selir. Pada peperangan itu, Raden Azhar memakai pakaian batik madura dengan motif leres, motif leres adalah yakni kain batik madura dengan motif garis melintang yang simetris. Ketika memakai kain batik madura motif leres tersebut, Raden Azhar memiliki kharisma, tampak gagah dan berwibawa. Sejak itulah, batik madura menjadi perbincangan di masyarakat Madura, terutama pembesar-pembesar di Pamekasan.
CIRI KHAS BATIK MADURA
Pulau madura dikenal sebagai pulau penghasil garam, mungkin karena itulah salah satu sebab mengapa batik Madura banyak bercorak dengan titik–titik berwarna putih, layaknya butiran garam yang dihasilkan di pulau Madura. Titik putih ini menjadi salah satu ciri utama dari batik Madura. Secara umum desain batik Madura terpengaruh oleh kepantaian pulau Madura. Warna merah, hijau, biru dan kuning menjadi simbol bagaimana batik madura menyesuaikan corak alam asli pulau Madura. Jika dilihat secara filosofi warna–warna tersebut mempunyai arti tertentu. Disinilah kita bisa memilih batik Madura mana yang sesuai dengan karakter dan keinginan kita.
Batik madura memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan batik dari daerah lain, seperti batik Yogyakarta, batik solo, batik pekalongan dan batik cirebon. Batik madura memiliki ciri dengan motif batik yang menggunakan warna cerah dan berani, seperti warna merah, kuning dan hijau. Selain itu, motif batik madura banyak menggunakan motif bunga dan daun. Banyak juga motif batik madura memiliki kesamaan dengan motif batik Yogyakarta, karena ada hubungan darah antara raja mataram dengan para pembesar di madura pada dahulu kala. Batik madura juga dikenal dengan motif yang lebih bebas.
Di Jogjakarta dan Solo, kain batik motif parang merupakan pakaian kebesaran para raja. Konon, rakyat biasa pantang memakai. Itu dulu, sekarang bolehlah asal tidak dipakai saat bertemu raja. Misalnya, untuk kondangan atau menghadiri rapat. Tokoh penting yang mengenalkan kain batik ke Madura adalah Adipati Sumenep, Arya Wiraraja yang merupakan sekutu dekat Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit.
Adanya kesamaan motif kain batik Madura dan Jogjakarta karena ada hubungan darah antara raja Mataram dengan para pembesar di Madura. Kerajaan Bangkalan pada zaman raja Cakraningrat I adalah bawahan Kesultanan Mataram yang dipimpin Sultan Agung.
Perjalanan sejarah batik Madura saat ini boleh dikatakan mencapai kejayaan, apalagi dengan pencanangan Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Para pengrajin batik di sentra-sentra batik Madura mengalami kegairahan membatik. Seperti sentra batik tulis Tanjung Bumi di Bangkalan, sentra batik tulis Banyumas Klampar, Pamekasan, dan sentra batik tulis Pakandangan Sumenep. Pemkab Pamekasan bahkan menetapkan desa Banyumas Klampar kecamatan Proppo sebagai desa batik.