Delapan belas Arhat

Revisi sejak 11 Februari 2014 08.14 oleh Okkisafire (bicara | kontrib)

Delapan belas Arhat (h=十八羅漢/ 十八阿羅漢; p=Shíbā Luóhàn/ Shíbā āLuóhàn; wg:Lóhàn; Hokkien=Cap Pek Lo Han/ Cap Pwee Lo Han) digambarkan dalam Buddhisme Mahayana sebagai para pengikut asli dari Buddha yang telah menjalankan Jalan Utama Berunsur Delapan dan mencapai Empat Tingkat Pencerahan. Mereka telah mencapai kondisi Nirwana dan terbebas dari keinginan duniawi. Mereka ditugaskan untuk melindungi Buddhisme dan tetap berada di bumi untuk menunggu kedatangan Maitreya, sesosok Buddha masa mendatang yang diramalkan mencapai pencerahan beberapa ribu tahun setelah Buddha Gautama parinibbana. In China, delapan belas Arhat juga menjadi subyek populer kesenian Buddhis.

Kepercayaan di China

 
Olesan tinta peringatan yang ditugaskan oleh Qianlong menggambarkan Asita. Sudut kanan atas menampilkan inskripsi puji-pujian Qianlong.

Aslinya, para Arhat hanya terdiri atas 10 murid Buddha Gautama, meskipun sūtra awal-awal dari India hanya menunjukkan 4 dari antaranya, yaitu Pindola, Kundadhana, Panthaka, dan Nakula, yang diberi instruksi untuk menunggu kedatangan Maitreya.[1] Penggambaran paling awal para Arhat ini oleh China dapat dirunut hingga sejauh abad keempat Masehi,[2] dan terutama difokuskan pada Pindola yang dipopulerkan dalam kesenian oleh buku Metode untuk Mengundang Pindola (Hanzi: 請賓度羅法; Pinyin: Qǐng Bīndùluó Fǎ).

Selanjutnya jumlah mereka meningkat menjadi 16 dengan memasukkan para penatua dan ahli spiritual lainnya. Ajaran mengenai para Arhat akhirnya sampai di China yang menyebut mereka Luohan (羅漢, kependekan dari a-luo-han, sebuah transkripsi China untuk Arhat), tetapi hanya sampai tahun 654 M saat Nandimitrāvadāna (Hanzi: 法住記; Pinyin: Fǎzhùjì), Catatan Durasi Hukum, diucapkan oleh Arhat Nadimitra Agung, diterjemahkan oleh Xuanzang ke dalam bahasa Cina sehingga nama para Arhat ini diketahui. Untuk beberapa alasan, Kundadhana dikeluarkan dari daftar.[3]

Suatu waktu diantara periode Dinasti Tang akhir dan awal Lima Dinasti dan Sepuluh Negara di China, dua Luohan lainnya ditambahkan dalam daftar sehingga jumlahnya meningkat menjadi 18.[4] Namun, penggambaran 18 Arhat hanya bertahan di China sementara wilayah lain seperti Jepang tetap bertahan dengan angka enam belas yang daftar namanya berbeda sebagian. Penggambaran 18 Arhat (bukannya 16) tetap bertahan hingga masa modern tradisi Buddhisme di China. Kultus mengenai para Arhat sebagai penjaga Buddhisme baru memperoleh momentum oleh para penganut Buddhis China pada akhir abad ke-19, sebab of the ninth century for mereka baru melalui masa penganiayaan yang hebat dibawah pemerintahan Kaisar Wuzong dari Tang. Faktanya dua Arhat terakhir yang ditambahkan, yaitu Penjinak Naga dan Penjinak Harimau, secara terselubung bergesekan dengan Taoisme.

Dalam seni China

Karena tidak ada catatan sejarah terperinci bagaimana para Luohan tampak seperti apa, wujud mereka pada kesenian awal China tidak dibedakan.[5] Penggambaran pertama 18 Luohan digambar oleh Bhikkhu Guan Xiu (Hanzi: 貫休; Pinyin: Guànxiū) di tahun 891 M yang saat itu sedang tinggal di Chengdu. Legenda menyebutkan bahwa ke-18 Luohan mengetahui keahlian kaligrafi dan melukis Guan Xiu sehingga mereka muncul dalam mimpinya untuk meminta bhikkhu tersebut menggambarkan potret mereka.[6] Lukisan tersebut menampilkan mereka sebagai orang asing, dengan alis tebal, mata lebar, pipi menggantung, dan hidung besar. Mereka duduk di dataran, bersandar pada pepohonan pinus dan bebatuan. Sebagai tambahan, mereka digambarkan tidak rapi dan "eksentrik" yang menekankan bahwa mereka adalah gelandangan dan pengemis yang telah meninggalkan semua keinginan duniawi. Saat Guan Xiu ditanyai bagaimana ia bisa memperoleh ide penggambaran tersebut, ia menjawab: "Dalam sebuah mimpi aku melihat mereka dan para Buddha. Setelah bangun, aku menggambarkan apa yang aku lihat di dalam mimpi tersebut. Jadi, aku bisa menyebut para Luohan ini sebagai 'Luohans dalam sebuah mimpi dream'." Lukisan Guan Xiu ini menjadi penggambaran tetap untuk 18 Luohan dalam ikonografi Buddhisme China, meskipun pada penggambaran modern mereka terlihat lebih China dan kehilangan wujud orang asing sehingga ekspresi mereka dapat lebih menonjol. Lukisan tersebut didonasikan Guan Xiu ke Kuil Shengyin di Qiantang (sekarang Hangzhou), di sana lukisan tersebut dirawat dengan sangat hati-hati serta penuh penghormatan.[7] Banyak artis terkenal seperti Wu Bin dan Ding Guanpeng mencoba (dengan penuh iman) mengimitasi lukisan yang asli.

Kaisar Qianlong adalah seorang pemuja para Luohan. Pada saat kunjungannya melihat lukisan pada tahun 1757, Qianlong tidak hanya mengamati mereka secara teliti tetapi juga menulis sanjungan untuk setiap lukisan Luohan. Kopi dari puji-pujian tersebut diberikan kepada biara tersebut untuk disimpan. Pada tahun 1764, Qianlong memerintahkan lukisan-lukisan yang terdapat di Biara Shengyin untuk diproduksi ulang dan diukir pada papan-papan batu supaya awet. Ukiran-ukiran tersebut dipasang ke dalam stupa marmer untuk ditampilkan kepada publik. Kuil tersebut hancur pada masa Pemberontakan Taiping tetapi kopian lukisan tinta dari prasasti-prasasti tersebut diamankan di dalam serta di luar China.[8]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ M.V. de Visser (1919). The Arhats in China and Japan. Princeton University Press. hlm. 62. ISBN 9780691117645. 
  2. ^ Patricia Bjaaland Welch (2008). Chinese art: a guide to motifs and visual imagery. Tuttle Publishing. hlm. 197. ISBN 9780804838641. 
  3. ^ John Strong (2004). Relics of the Buddha. Princeton University Press. hlm. 226. ISBN 9780691117645. 
  4. ^ Patricia Eichenbaum Karetzky (1996). Court Art of the Tang. University Press of America. hlm. 128. ISBN 9780761802013. 
  5. ^ Masako Watanabe (2000). Guanxiu and Exotic Imagery in Rakan Paintings. Orientations, vol. XXXI, no. 4. hlm. 34–42. 
  6. ^ Roy Bates (2007). 10,000 Chinese Numbers. Lulu.com. hlm. 256. ISBN 9780557006212. 
  7. ^ Susan Bush and Ilsio-yen Shih (1985). Early Chinese Texts on Painting. Cambridge, MA, and London. hlm. 314. 
  8. ^ Harvard University Library.