Lakilaponto
Laki La Ponto berasal dari Muna (Wuna) karena sebelum ia memerintah di Buton ia adalah Raja Muna VII, putra Raja Muna VI Sugi Manuru dengan pasangannya Wa Tubapala. Nama itu seharusnya ditulis: La Kilaponto sesuai cara penamaan orang Muna yang masih terpelihara hingga sekarang. Setelah menyerahkan tahta kerajaan Muna ke adiknya La Posasu (gelar: Kobangkuduno) Ia selanjutnya menuju Buton karena mendengar kerajaan Buton sedang diserang oleh La Bolontio (Kapitan dari Banggai, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tengah sekarang). Dari sumber sejarah Selayar diketahui bahwa kedatangan La Kilaponto ke Buton atas permintaan Raja Mulae (Raja Buton V); dan selain La Kilaponto, turut pula membantu Opu Manjawari (Raja Selayar). Cerita rakyat menyebutkan bahwa La Bolontio hanya memiliki satu mata. Dalam sebuah pertarungan terbuka, La Kilaponto sempat terdesak dan jatuh ke tanah berpasir (diduga pertarungan itu dilakukan di pantai). Dalam situasi itu La Kilaponto kemudian menendang pasir langsung mengenai mata La Bolontio dan situasi kemudian berbalik, La Kilaponto akhirnya menguasai pertarungan dan berhasil membunuh La Bolontio. Karena keberhasilannya itu, La Kilaponto kemudian dinobatkan sebagai Raja Buton VI.
Laki La Ponto (Murhum) | |
---|---|
Lahir | Laki La Ponto 1584 Indonesia Muna, Sulawesi Tenggara, Indonesia |
Meninggal | 1584 Bau-bau, Indonesia |
Kewarganegaraan | Indonesia |
Gelar | Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis ; Halu Oleo ; Landolaki |
Masa jabatan | 1538-1584 |
Suami/istri |
|
Anak |
|
Orang tua | Sugi Manuru (ayah) Wa Tubapala (ibu) |
Kerabat | La Posasu (Raja Muna VIII - gelar: Kobangkuduno) (adik Laki-laki) |
Di kemudian hari La Kilaponto kemudian menobatkan dirinya sebagai Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatl Khamis atau lebih dikenal dengan Sultan Murhum dan mengubah bentuk pemerintahan Buton menjadi Kesultanan setelah ia memeluk agama Islam. Sejak itu Islam berkembang pesat di Buton. Nama Halu Oleo diabadikan oleh masyarkat Sulawesi Tenggara menjadi nama sebuah universitas negeri terbesar di daerah itu: Universitas Halu Oleo. Kata “Haluoleo” diambil dari nama salah seorang raja pada Kerajaan Konawe yang hidup sekitar abad tujuh belas. Haluoleo selain dikenal sebagai pemimpin yang bijak, diyakini pula sebagai ksatria yang tak kenal menyerah dan gigih membela tumpah darahnya. Secara harfiah Haluoleo berarti delapan hari dalam bahasa Tolaki – bahasa penduduk asli Kerajaan Konawe yang mendiami Kendari.
Sepak Terjang Laki La Ponto
Saat menjadi Raja Muna, laki la ponto dikenal sebagai raja masyhur penuh kharisma, seorang pendekar, sang jenderal, berjiwa pejuang, bahkan terbilang cerdas dibidang ketatanegaraan. Kehebatannya dibidang pemerintahan juga dibuktikan dengan kemampuannya menyatukan beberapa kerajaan di Sulawesi Tenggara, yang sebelumnya saling berseteru. Laki la ponto pun memiliki pertalian yang longgar menurut keturunan maupun perkawinan. Sehingga namanya terlukis indai di semua lembaran sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara, seperti di Kerajaan Muna, Kerajaan Buton (Wolio), Kerajaan Konawe, dan di Kerajaan Moronene.
Setiap kerajaan yang ia kunjungi, laki la ponto kerapkali mengalami pergantian nama. Penyebutan namanya tergantung pada pemberian masyarakat setempat, yang didasarkan pada latar belakang kehadirannya. Misalnya di Kerajaan Konawe bernama Haluoleo, di Kerajaan Moronene bernama landolaki, dan di Kerajaan Buton dikenal dengan sebutan Murhum.
Laki la ponto mengakhiri masa pemerintahannya karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun, sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun. Setelah ia meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih La Tumparasi (Sangi Boleka) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga. Laki La Ponto merupakan salah satu tokoh besar yang berasal dari Sulawesi Tenggara.