Student Hidjo

Revisi sejak 10 Maret 2014 22.13 oleh Farras (bicara | kontrib) (~)

Student Hidjo (EYD Student Hijo) adalah novel tahun 1918 karya Marco Kartodikromo. Novel ini awalnya diterbitkan dalam bentuk serial di Sinar Hindia, kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk buku oleh Masman & Stroink pada tahun 1919.

Student Hijo
Sampul edisi Bentang tahun 2002
PengarangMarco Kartodikromo
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
GenreNovel
PenerbitSinar Hindia (serial)
Masman & Stroink (buku)
Tanggal terbit
1918 (serial)
1919 (buku)
Jenis mediaCetak (Serial, sampul keras, & sampul lunak)
OCLC63225475

Student Hidjo ditulis ketika Kartodikromo dipenjara. Novel ini menceritakan kisah Hidjo, seorang pelajar Jawa yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu dan jatuh cinta dengan seorang perempuan Belanda. Alur lain yang paralel terhadap cerita utamanya menceritakan kisah asmara administrator Belanda, Willem Walter. Ditulis dalam bahasa Melayu, novel ini merupakan salah satu karya penulis Jawa yang ikut memopulerkan kata "saya" sebagai kata tunjuk pribadi orang pertama.

Novel ini menggambarkan budaya pemuda baru Indonesia yang mengadopsi budaya dan bahasa Barat. Elemen tersebut dianggap Kartodikromo sebagai simile tambahan. Nilai-nilai budaya Jawa tradisional dan budaya Belanda diperbandingkan dan Kartodikromo berpendapat bahwa keduanya tidak bisa saling melengkapi. Nilai tersebut meliputi cinta yang digambarkan di novel ini sebagai sesuatu yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan orang tradisional melihat pernikahan sebagai jalan mencapai mobilitas sosial.

Latar belakang

Student Hidjo ditulis oleh Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dari Blora[1] yang memulai kariernya di Bandung dan sangat menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda.[2] Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai editor di harian Doenia Bergerak yang berpusat di Surakarta;[1] kota ini kelak dijadikan latar novelnya.[3] Ia menghabiskan lima bulan di Belanda[1] sejak akhir 1916 sampai awal 1917.[4] Sepulangnya ke Hindia Belanda, ia ditangkap oleh otoritas pemerintah Belanda karena "menyebarkan kebencian" dan dipenjara selama satu tahun di Weltevreden, Batavia (sekarang Sawah Besar, Jakarta). Di penjara itulah Kartodikromo menulis Student Hidjo.[5]

Pada awal abad ke-20, pengenalan teknologi dan budaya Barat mengakibatkan fragmentasi dalam gaya hidup tradisional Jawa.[6] Sementara itu, Politik Etis Belanda, yang menjamin hak-hak dan kebebasan tertentu seperti hak pendidikan dan kebebasan pers, menyebabkan kerusuhan masyarakat. Pengekangan pers yang lebih ketat setelah 1906 membuat Student Hidjo diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip" di sampulnya.[7]

Alur

Gaya

Student Hidjo ditulis dalam bahasa Melayu. Saat novel ini ditulis, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier, dosen Universitas Leiden. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai bahasa Melayu standar seperti Armijn Pane dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah dengan nada "sedih", bahasa di Student Hidjo hanya menunjukkan "kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi kemarahan".[8]

Tsuyoshi Kato, pakar sastra Indonesia dari Jepang, melihat bahwa Kartodikromo, seperit penulis Jawa lainnya, memilih untuk memakai kata "saya" saat menulis dari sudut pandang orang pertama, berbeda dengan penulis Minangkabau yang memilih "hamba". Ia menulis bahwa "saya" lebih diutamakan ketimbang kata Jawa karena kata tunjuk orang pertama memiliki beragam tingkatan kesopanan. Ia menulis bahwa melalui karya-karya seperti Student Hidjo dan Rasa Merdika (1924; karya Soemantri), penulis Jawa semakin memopulerkan kata ini. Kato berpendapat "saya" lebih aktif daripada "hamba" namun lebih "kontemplatif dan mencerminkan diri" ketimbang kata tunjuk "aku" dalam bahasa Jawa ngoko.[9]

Tema

Rilis dan tanggapan

Student Hidjo pertama diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk serial di harian Sinar Hindia yang berpusat di Semarang;[5] Kartodikromo menjadi editor di sana.[1] Cerita ini kemudian dijadikan buku dan diterbitkan oleh Masman & Stroink, perusahaan asal Semarang, pada tahun 1919.[5] Saat itu karya-karya berbau politik diterbitkan oleh penerbit kecil. Karya-karya terbitan Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah Hindia Belanda, cenderung bersifat apolitik.[10]

Kato menulis bahwa novel ini "biasa saja dalam hal aktivisme radikal", tetapi imajinasinya tak tertandingi jika dibandingkan dengan Sitti Nurbaya (1922; Marah Rusli), Salah Asuhan (1927; Abdoel Moeis), dan Rasa Merdika.[11]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ a b c d Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis.
  2. ^ Maier 1996, hlm. 186-187.
  3. ^ Maier 1996, hlm. 185.
  4. ^ Eneste 2001, hlm. 143.
  5. ^ a b c Maier 1996, hlm. 195.
  6. ^ Maier 1996, hlm. 198.
  7. ^ Maier 1996, hlm. 206.
  8. ^ Maier 1996, hlm. 192.
  9. ^ Kato 2003, hlm. 103-104.
  10. ^ Latif 2008, hlm. 127.
  11. ^ Kato 2003, hlm. 121.
Daftar pustaka