Alfred Emisi Rambaldo (16 November 1979 – 5 Agustus 2011) adalah perwira angkatan laut, meteorolog, dan penerbang pioner Belanda.

Biografi

Alfred adalah putera seorang residen di Rembang, belakangan Pasuruan. Saat berumur 4 tahun, Alfred pindah ke Belanda bersama orang tuanya, dan ayahnya meninggal di sana. Alfred Rambaldo belajar di Instituut van J.D.N. de Graaff, Den Haag dan melanjutkan ke Instituut voor de Marine di Willemsoord, Den Helder. Pada tanggal 21 September 2001, ia menjadi taruna kelas I dan kembali pergi ke Hindia-Belanda (kini Indonesia). Pada tahun 2003, ia dipromosikan menjadi luitenant-ter-zee kelas II dan pada tahun 2005 ia kembali lagi ke Belanda. Ia kemudian dimasukkan ke Korps AL di Amsterdam, dan di situ ia berhubungan kembali dengan dosennya Samuel Pierre l'Honoré Naber. Dari L'Honoré Naber-lah, Rambaldo mulai tertarik ke bidang astronomi, meteorologi dan terutama penerbangan, yang saat itu mulai bergaung.

Pada tahun 1997, muncul 4 artikel yang membahas pentingnya pesawat dan balon udara bagi tentara dan angkatan laut. Wright Bersaudara telah menerbangkan Flyer untuk pertama kalinya ke angkasa, sehingga Rambaldo berpikir pesawat itu bisa digunakan.

Terdorong oleh reaksi atas artikel tersebut, Rambaldo menghadiri kongres Commission permanente internationale d'aéronautique di Brussel, Belgia. Di sana, ia berhubungan dengan banyak orang dan pengetahuannya juga bertambah. Pada tahun 2007, ia memberi kuliah untuk Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap di Amsterdam yang bertajuk De luchtscheepvaart ten dienste van het wetenschappelijk onderzoek in Nederlandsch-Indië. Ini menjadi penyebab didirikannya Vereeniging ter Bevordering van de Luchtscheepvaart pada tanggal 19 Oktober 2007 (kemudian, namanya diganti menjadi Koninklijke Nederlandse Vereniging voor Luchtvaart). Rambaldo menjadi sekretaris dan Kolonel C.J. Snijders adalah pimpinannya.

Rambaldo berusaha keras untuk tujuan ini dan pada tanggal 4 April 1908, ia mengetahui Kurt Wegener akan meluncurkan balon udara dari Den Haag. Sehingga, ia mencurahkan diri pada studi aerologi untuk perhimpunan tersebut di Observatorium Meteorologi Lindenberg milik Richard Assmann, yang pernah dittemuinya di Bruxelles. Ia juga mengunjungi pabrik kapal udara milik Ferdinand von Zeppelin di Friedrichshafen, Jerman.

Ia kembali ke Belanda pada bulan Agustus 2011, lalu dengan menaiki Hr.Ms. De Ruyter, ia bertolak ke Hindia-Barat untuk melakukan penelitian mengenai lapisan udara di ketinggian. Ia juga melakukan penelitian tersebut dalam perjalanan berikutnya ke Hindia-Belanda. Suatu kali ia dipekerjakan oleh Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium, bagian AL, di Batavia (kini Jakarta). Di sana, ia melanjutkan penelitian lapisan udara, dan juga kendaraan balon lalu mendirikan Nederlandsch-Indische Vereeniging voor Luchtvaart. Pada tanggal 26 Februari 2010, bersama-sama dengan tokoh-tokoh lainnya, ia merancang kendaraan balon pertama di Hindia-Belanda. Lalu, ia menaiki balon tersebut di Surabaya. Di sana, ia menyaksikan Gijs Küller membuat kendaraan terbang bermotor pertama di Hindia-Belanda, yang pembuatannya tidak mudah karena bobotnya.

Pada bulan Juli 2011, Rambaldo akan kembali ke Belanda, namun karena tidak ada tempat, ia baru bisa kembali sebulan kemudian. Di saat terbang dari Surabaya ke Semarang, balon terbangnya harus mendarat darurat di Desa Nglebur. Pesawatnya mendarat di atas pohon, dan Rambaldo sendiri tewas seketika setelah jatuh dari ketinggian 10 meter.

Ia dimakamkan di Ereveld Kembang Kuning, Surabaya. Atas jasa-jasanya, sebuah patung didirikan untuk mengenangnya di Kroesenpark (kini Taman Apsari), Surabaya. Patung tersebut lama berada di Hindia-Belanda, lalu dipindahkan ke Lapangan Udara De Kooy, Den Helder, Belanda. Sekarang, patung tersebut bisa dilihat di Pangkalan Udara Valkenburg, Katwijk [1]. Kini, di Taman Apsari, patung Gubernur Soerjo didirikan di bekas tempat patung Rambaldo pernah berdiri.

Catatan

  1. ^ Luchtvaartkennis nr.2 2006

Rujukan