Tanah Sepenggal Lintas, Bungo
Tanah Sepenggal Lintas adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bungo, Jambi, Indonesia. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Tanah Sepenggal. Pusat pemerintahan kecamatan terletak di Embacang Gedang. Sekitar 80% penduduk daerah ini bekerja sabagai petani karet.
Tanah Sepenggal Lintas | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jambi | ||||
Kabupaten | Bungo | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | - | ||||
Populasi | |||||
• Total | 25,000 jiwa jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 15.08.17 | ||||
Kode BPS | 1509041 | ||||
Desa/kelurahan | 12 desa | ||||
|
Legenda Pendiri Tanah Sepenggal dan Tanah Sepenggal Lintas
Saat Kesultanan Mataram berperang dengan Belanda, keluarga kerajaan terpecah menjadi dua. Keluarga yang pro Belanda dan menentang belanda. Sri Mangkubumi adalah kelompok yang menentang belanda. Oleh karena situasi yang tidak memungkinkan, maka Sri Mangkubumi mengadakan Musyawarah. Hasil musyawarah tersebut diputuskan mereka harus meninggalkan kerajaan Mataram menuju Sumatra. Bersama dengan pengikutnya yang setia maka Sri Mangkubumi menyiapkan perbekalan secukupnya. Dalam perjalanan tersebut rombongan terdiri dari lebih kurang 40 kepala keluarga. Tujuan perjalanan tersebut adalah Kesultanan Jambi.
Kesultanan Jambi memang sudah lama menjalin kerjasama baik dengan kerajaan di Pulau Jawa. Hal ini diceritakan pula dalam Legenda Rangkayo Hitam. Dikisahkan pula bahwa Rangkayo Hitam sempat mempersunting salah satu putri kerajaan di Tanah Jawa.
Kepala keluarga tersebut masuk kedalam Jung atau Penjalang, jenis kapal layar tradisional yang dipakai oleh kerajaan-kerajaan masa lampau. Rombongan tersebut singgah di Pelabuhan Sabak, dekat Pulau Berhala, Kesultanan Jambi, daerah Tanjung Jabung saat ini.
Setelah beristirahat, rombongan tersebut menemui Sultan Jambi di Pusat kerajaan yang telah berada di Kota Jambi. Konon Sultan Jambi mempunyai Istri dari Kesultanan Mataram. Di Jambi rombongan Mataram bertemu dengan Debalang raja Jambi yang bertugas menyambut kedatangan rombongan tersebut. Sultan/ Raja Jambi tidak percaya begitu saja terhadap rombongan tersebut terutama istri raja jambi yang juga keturunan Mataram. Untuk meyakinkan, maka Sri Mangkubumi mengeluarkan Gupil yang bertuliskan aksara jawa. Sri Mangkubumi hanya memiliki 2/3 bagian gupil karena selebihnya disimpan oleh istri Sultan Jambi yang konon bernama "Ayunan Tunggal". Setelah dicocokkan kedua gupil tersebut maka barulah rombongan tersebut dipercayai sebagai rombongan keluarga Kesultanan Mataram.Adanya bukti hubungan kekeluargaan tersebut menyebabkan rombongan mataram dilayani oleh kesultanan Jambi secara khusus, dengan senang hati.
Tidak beberapa lama rombongan beristirahat di Pusat Kesultanan Jambi, akhirnya rombongan diberi kuasa untuk mengambil wilayah dari Muara Sungai Tembesi hingga ke barat daerah Kesultanan Jambi yang berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat. Rombongan tersebut diiringi oleh beberapa orang utusan Kesultanan Jambi sebagai penunjuk jalan. Perjalanan diputuskan lewat air dengan menyusuuri Sungai Batanghari dan diteruskan masuk ke Sungai Batangtebo terus menyusuri hingga ke hulu sungai. Perjalanan melelahkan tersebut memakan waktu yang cukup lama.
Perjalanan panjang tersebut menghantarkan rombongan pada daerah seperti Teluk yang bentuknya berkelok seperti meringkuknya kucing yang sedang tidur. Diseberang teluk tersebut terlihat daratan yang disinari rembulan. Untuk mengingat tempat tersebut rombongan menamai daerah tersebut Pulau Sri Bulan dan Keluk Kucing Tidur
Rombongan tersebut menepi dan naik ke daratan. Disanalah mereka memutuskan untuk menetap dan mendirikan pemukiman. Mereka membuat rumah besar yang dikenal dengan sebutan Balai Panjang yang kemudian ditetapkan menjadi nama daerah tersebut Balai Panjang (Desa Tanah Periuk hari ini). Sri Mangkubumi sendiri memutuskan tidak melanjutkan perjalanan itu dan menetap di Balai Panjang.
Setelah menetap sekian lama di Balai Panjang, diantara anggota rombongan tersebut ada pula yang memutuskan tetap melanjutkan perjalanan ke hulu sungai, mencari wilayah baru untuk ditempati. Perjalanan tersebut diikuti oleh seseorang yang berpengaruh pula yang bernama Sri Tanwah. Sri Tanwah sendiri adalah adik perempuan dari Mangkubumi yang konon terkenal kecantikannya. Kecantikan tersebut hingga hari ini diyakini dimiliki oleh keturunan beliau yang masih bertahan di daerah Candi (Desa Candi dan Sekitarnya).
Rombongan Sri Tanwah tersebut bertemu daratan seperti tanjung yang oleh rombongan dinamai Tanjung. Sebagian anggota Rombongan tersebut memutuskan untuk naik ke daratan termasuk Sri Tanwah. Diatas daratan Tanjung tersebut terdapat bukit yang dinamakan Penggoda atau Pesiban Tanah di sebelah barat bukit tersebut terdapat bukit pula yang dinamakan Bukit Setunggang atau Bukit Sangka Puyuh.
Tidak semua anggota rombongan ikut menetap pula bersama Sri Tanwah. Rombongan lainnya memutuskan meneruskan perjalan ke masuk ke anak sungai Batangtebo bagian kiri yang dikenal dengan nama Sungai Batang Uleh. Dalam perjalanan tersebut rombongan melihat adanya sepah sirih dan asap menandakan adanya aktivitas penduduk di hulu sungai. Perjalanan diputuskan menuju arah asap yang terlihat tadi. Semak belukar tidak menjadi penghalang bagi rombongan. Semua ditebas oleh anggota rombongan. Namun saat perjalanan sudah hampir sampai, ternyata pedang salah satu anggota rombongan patah. Akhirnya diputuskan untuk menepi dan berhenti.
Disaat rombongan sedang beristirahat, terlihat ada sesosok wajah manusia yang terbang melayang ke Arah Teluk Kecimbung (Desa Teluk Kecimbung sekarang). Karena penasaran, semua anggota rombongan mengejar sosok tersebut dan terlihat bahwa yang mereka lihat bukanlah manusia melainkan "Mahluk Halus/ Jin".
Rasa capek dan lelah yang sangat menjadikan rombongan tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Anggo Karti salah satu rombongan Mataram memilih menetap di daerah tersebut. Sedangkan beberapa orang anggota rombongan lebih memilih kembali pulang ke Balai Panjang. Anggo Karti dan rombongan yang memilih menetap tersebut menamakan daerah tersebut Rambah (Desa Rambah sekarang).
Setelah sekian lama, rombongan Sri Mangkubumi menetap di Balai Panjang, maka rombongan tersebut banyak yang membuka daerah-daerah baru yang kemudian menjadi Desa- Desa pada hari ini. Tersebut pula kisah tentang seorang yang bernama Berambai Lidah yang memutuskan untuk membangun pemukiman di daerah kebun kapas Sri Mangkubumi yang terletak di Desa Lubuk Landai hari ini. Orang-orang Tanah Periuk menamakan dia juga "Orang Tuo Tengka". Orang ini diyakini sebagai pendiri desa Lubuk Landai saat ini
Lubuk Landai sendiri berasal dari Kata Lebak Landai. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Landai konon mengacu pada Landai (Sarung) Keris yang terjatuh di Lebak tersebut. Namun hal yang berbeda dituturkan oleh tetua lubuk landai yang meyakini bahwa leluhur mereka adalah Pakubuwono, Keponakan Sri Mangkubumi yang menyusul pamannya dalam rombongan kedua dari Mataram.
Dalam perkembangannya, rombongan maupun keturunan dari orang-orang yang berada di Balai Panjang berhasil mendirikan 7 Desa diluar Balai Panjang. Sehingga diawal kemerdekaan ada 8 Desa dan setiap desa tersebut mempunyai pemimpin dengan gelar masig-masing:
1. Desa Balai Panjang/ Tanah Periuk
2. Desa Candi
3. Desa Rantau Embacang
4. Desa Empelu
5. Desa Teluk Pandak
6. Desa Tanjung
7. Desa Lubuk Landai
8. Desa Sungai Mancur
Hingga hari ini jumlah desa terus bertambah akibat pemekaran wilayah. Dimasa lampau orang-orang yang berada di Tujuh Desa menganggap jika ke Balai Panjang artinya "Pulang Kampung" karena mereka tahu bahwa semua leluhur mereka berasal dari Balai Panjang, titik awal Marga Tanah Sepenggal bermula. Keturunan yang berasal dari Balai Panjang tidak hanya sebatas Kecamatan Tanah Sepenggal hari ini saja namun diyakini hingga ke Lubuk Banteng, Kecamatan Bathin III.
Sejak tahun 2006, Tanah Sepenggal dimekarkan sehingga terbentuk kecamatan baru Tanah Sepenggal Lintas. Dua Wilayah kecamatan ini hanya terpisah oleh Sungai Batang Tebo. Bagian Selatan Sungai dinamakan Tanah Sepenggal, sedangkan bagian utara yang dilewati oleh Jalan Lintas Sumatera disebut Tanah Sepenggal Lintas.
Desa yang berada di Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas hari ini :
2. Lubuk Landai
3. Paku Aji
6. Rantau Makmur
7. Sungai Lilin
8. Sungai Mancur
9. Sungai Puri
10.Sungai Tembang
11.Tanah Periuk
12.Tebing Tinggi
Desa yang berada di Kecamatan Tanah Sepenggal:
1.Candi
2.Empelu
3.Pasar Lubuk Landai
4.Pasar Rantau Embacang
5.Sungai Gambir
6.Tanah Bekali
7.Tanjung
8.Telentam
9.Teluk Pandak
Hingga hari ini tidak diketahui makam Sri Mangkubumi. Dipercaya bahwa mangkubumi pulang kembali ke Mataram. Di awal-awal kemerdekaan saat masih menganut SistemPasirah sebagai pemimpin Kecamatan / Marga Tanah Sepenggal, masih tersisa benda-benda bersejarah berupa Gupil (Stempel), Piagam, Pedang, Sundang, Parang, Tombak, Baju Kerajaan, Ikat Pinggang. Namun hari ini barang-barang tersebut telah hilang, konon yang tersisa hanya ikat pinggan dan baju kerajaan yang hari ini tidak semua orang yang bisa melihat.
Gelar Adat Di Tanah Sepenggal Lintas
Sebelum UU No.5 Tahun 1979 desa-desa di Tanah Sepenggal dan Tanah Sepenggal Lintas dipimpin oleh seseorang bergelar Rio. Rio ini dibantu oleh:
1. Patih
2. Ngebi
3. Debalang Batin
4. Juru Tulis
Setelah berlakunya UU tersebut pada masa orde baru, maka Rio diganti oleh Kepala desa dan pembantunya dilebur menjadi perangkat desa seperti kepala Dusun, RT, RW, dll.
Adapun di Tanah Sepenggal, Setiap Rio mempunyai gelar sesuai asal daerahnya. Berikut gelar tersebut.
1. Rio Darno gelar untuk pemimpin Desa Balai Panjang/ Tanah Periuk
2. Rio Sri Tanwah gelar untuk pemimpin Desa Pegoda/ Candi
3. Rio Mudo gelar untuk pemimpin Desa Lubuk Landai
4. Rio Suko Berajo gelar untuk pemimpin Desa Rantau Babancang / Rantau Embacang
5. Rio Indo Jayo gelar untuk pemimpin Desa Empelu
6. Rio Muko-Muko gelar untuk pemimpin Desa Teluk Pandak
7. Rio Sanggam gelar untuk pemimpin Desa Tanjung
8. Rio Anggorkarti gelar untuk pemimpin Desa Sungai Mancur
Referensi
Sumber: Muhammad, H.M, Hukum Adat Desa Tanah Periuk, 2003