Amstrong Sembiring
JJ Amstrong Sembiring (lahir 26 Juli 1970} [1]) adalah praktisi hukum, aktivis [2]) , pendiri LSM KOMPARTA Indonesia. Selain sebagai aktivis dan praktisi hukum, ia adalah penulis. [3])
Amstrong Sembiring | |
---|---|
Berkas:JJ Amstrong Sembiring 2014-03-02 19-12.jpg | |
Lahir | JJ Amstrong Sembiring |
Pekerjaan | Praktisi Hukum |
Tempat kerja | PBH Komparta Indonesia |
Dikenal atas | Aktivis & Praktisi Hukum Publik |
JJ Amstrong Sembiring | |
---|---|
Lahir | 1970 |
Pekerjaan | Praktisi Hukum |
Karier
- Lulus dari Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia pada tahun 2006 ia mengantungi gelar M.H dalam Magister Hukum. [4])
Amstrong adalah Penulis [5]) dan Aktivis, [6])serta praktisi hukum, [7]) ia adalah pendiri LSM KOMPARTA Indonesia , [8]) merupakan LSM “anti privatisasi air” yang peduli dengan permasalahan tentang air sekitarnya [9]) dan ia juga merupakan pendiri lembaga hukum bernama Pusat Bantuan Hukum KOMPARTA Indonesia , [10]) selain aktivis, [11]) ia aktif membentuk forum sosial [12]) politik. [13]) Ia lulus dari Universitas Indonesia (UI) dengan mengantungi gelar M.H. (Magister Hukum). [14])Sebelum mempelajari ilmu hukum ia pernah kuliah di Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB Bandung) tidak selesai, dan kemudian gelar sarjana hukum diperolehnya dari salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta. Karier sebagai Pengacara diawali bertahun-tahun sebagai Pengacara Publik di lembaga hukum yang dibentuk bersama dengan teman seperjuangan, maupun program sosial bermitra dengan lembaga lain dan sejalan dengan idealisme gerakan hukum tersebut. Berbagai Kasus Publik ditangani antara lain koordinator Tim Advokasi Hukum 150 PKL di Bandung Pada tahun 2001(ada korban meninggal dunia 1 (satu) orang) dimana Walikota Bandung kemudian dituntut sebesar Rp.5 Rupiah (lima rupiah) sebagai sebuah simbol arti dari perlawanan hukum. Di tahun 2002 ia ditunjuk sebagai koordinator Tim Kuasa Hukum Forum Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta menggugat pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pengadilan Jakarta Pusat maupun PTUN Jakarta. Pada tahun 2003 sebagai koordinator Lembaga untuk melakukan Gugatan Hukum terhadap Privatisasi Air di Jakarta terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta di PN Jakpus, kemudian perkara tersebut menang [15]) dan kemudian melakukan gugatan terhadap mitra asing Perusahaan Air Minum (PAM Jaya) yaitu TPJ (THAMES PAM JAYA) dan Palyja (PAM LYONNAISE JAYA). [16]) Pada tahun yang sama [17]) mengajukan permohonan Judicial Review [18]) terhadap UU SDA (Sumber Daya Air) di Mahkamah Konstitusi (MK). [19]) Pada tahun 2004 ia ditunjuk sebagai koordinator dari Gerakan rakyat Indonesia Baru (GRIB) bersama Sri Bintang Pamungkas dan kawan-kawan menggugat KPU dan mengajukan permohonan Judicial Review terhadap UU PILPRES [20]) ke Mahkamah Konstitusi . Kemudian, ia juga aktif menangani kasus-kasus hukum aktivis , seperti hal peristiwa Longmarch Jakarta Bandung 2003 dalam rangka memperingati 5 (lima) Tahun Reformasi [21]) dan 10 (sepuluh) tahun Reformasi [22]) dalam rangka memperingati Kebangkitan Nasional, [23]) serta aktivis 98 [24]) Penolakan BBM 2008 [25]) sempat tersangkut nama Rizal Ramli (Mantan Koordinator Bidang Perekonomian di Era Gus Dur). [26]) Dan kasus lainnya masih banyak lagi baik perdata maupun pidana. Keahlian meliputi litigasi pidana, perdata, tata usaha negara; advokasi kebijakan meliputi legal reform atau judicial reform khususnya bidang hak-hak sipil dan politik dan filsafat hukum.
Peristiwa Hukum Pertama Kali Di Indonesia
- Pengadilan Putuskan Kenaikan Tarif Air Minum Ditunda 29 Januari 2004
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan subsider Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (KOMPARTA) terhadap Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Andriani Nurdin memerintahkan Gubernur dan DPRD DKI Jakarta menunda kenaikan tarif air minum sebesar 40 persen untuk golongan III/K3A dan IV sampai batas waktu yang wajar.
Hakim menilai Pemprov harus melakukan sosialisasi kenaikan tarif, meningkatkan pelayanan, baik administrasi dan kualitas air minum, kepada masyarakat, khususnya kepada pelanggan terlebih dahulu. Tergugat, menurut hakim, berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat terhadap air bersih dengan memberikan kebijakan berdasarkan kaidah keadilan, kepatuhan, ketelitian, serta sikap hati-hati sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, majelis menilai masyarakat selaku konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur, mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Namun, hakim tidak mengabulkan tuntutan primer KOMPARTA yang meminta pembatalan kebijakan kenaikan tarif air minum tersebut. Hakim berpendapat tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum sehingga bisa membatalkan kebijakan tersebut. Selain itu kebijakan itu belum diberlakukan sehingga kerugian secara faktual akibat kenaikan tarif air minum belum ada.
Putusan ini sekaligus mematahkan eksepsi yang diajukan pihak tergugat. Eksepsi tergugat yang antara lain menyatakan gugatan itu kurang pihak di mana seharusnya melibatkan Pemerintah RI cq Departemen Dalam Negeri cq Gubernur DKI ditolak majelis hakim. Hakim berpendapat, sesuai UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Daerah Otonomi maka dasar gugatan itu bisa dibenarkan. Dalam hal ini Gubernur dan DPRD DKI Jakarta adalah penyelenggara otonomi daerah. Hakim juga mengatakan penggugat sesuai putusan Mahkamah Agung bisa menentukan siapa saja yang akan digugatnya.
Selain menunda kenaikan tarif air minum, pihak tergugat juga dibebani biaya perkara secara tanggung renteng. Menanggapi keputusan itu, kuasa hukum tergugat I dan II, M Natsir, menyatakan masih pikir-pikir atas vonis yang dijatuhkan. "Masih ada waktu dua minggu. Nanti baru kita putuskan," ujarnya usai persidangan, Kamis (29/1). Sementara kuasa hukum KOMPARTA, JJ Amstrong Sembiring, menyatakan puas atas putusan yang sempat tertunda-tunda pembacaannya itu. Ia mengatakan akan membawa putusan pengadilan ini ke Komisi D DPRD DKI Jakarta. "Kita bicara dulu dengan Komisi D," ujarnya.
Edy Can - Tempo News Room
- Globalisme Dan Privatisasi Air di Indonesia
Membuat keharusan kepada kita semua melakukan perubahan strategis khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia untuk dapat menciptakan daya saing tinggi dengan negara-negara semi maju atau sudah maju yang tentunya hal ini jelas lebih dititik beratkan pada ekonomi. Maka tak heran dengan kondisi seperti ini. Kita dimabukkan oleh sebuah keadaan sehingga seluruh unsur kehidupan sepertinya ter-arsobsi (terserap) ke sana. Dan begitu hebatnya pesona globalisme, maka apapun tak luput menjadi sasaran arus globalisasi.
Demikian pula, tak terkecuali dengan sektor jasa pelayanan air bersih yang di privatisasi. Dimana perusahaan multinasional dengan topeng manisnya untuk memprivatisasi air adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan, alih teknologi, bahkan menutupi resiko utang sejumlah PDAM yang ada di Indonesia”, baik PDAM yang ada di Bali, Tangerang, Bekasi, Sumatera Utara, Kalimantan, Jakarta dan lainnya, terhadap sejumlah landers yang ada di jagad raya ini seperti halnya IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui lewat persyaratan pinjaman, tak lain merupakan bagian dari kepentingan kapitalisme global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air milik pemerintah (PDAM). Air Bagian Dari HAM Air yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang mengandung suatu nilai universal, dimana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi, dieleminir sebagian dan atau seluruhnya, hal kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, yang bisa dirtikan bahwa keberadaan air bagi rakyat banyak tidak bisa lagi di dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-undang atau Peraturan Pemerintahan yang berlaku di sebuah Negara, misalkan dibatasi dengan keberadaan oleh adanya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Apalagi air yang merupakan suatu kebutuhan pokok bagi masyarakat, serta merupakan suatu elemen yang terpenting bagi kelangsungan kehidupan manusia, suadah merupakan keharusan mendapatkan suatu proteksi yang memadahi bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan umat manusia. Dan fundamentalisnya, hal ini tentunya telah bertentangan, sebagaimana air di dalam perspektif konsep hak asasi manusia (HAM) yang berlaku secara universal, di dalam keterkaitan hubungannya negara dengan warganya, dalam hal ini rakyat yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holder), kemudian di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder) mengandung imperatif. Dan kemudian dimana kewajiban negara yang mendasar seharusnya adalah melindungi (proteksi) dan menjamin hak asasi warganya (rakyat), dalam hal itu dimana salah satunya adalah hak atas air – mengupayakan pemenuhan secara positip atau menjamin akses rakyat atas air yang sehat untuk segala kebutuhannya mulai dari urusan rumah tangga, urusan irigasi, urusan produksi lainnya. Dengan demikian keberadaan air lebih dari sekadar cuma barang konsumsi; sebab air adalah barang sosial yang artinya rakyat disini bukan sekedar berkedudukan sebagai konsumen an sich, melainkan rakyat didudukkan lebih sebagai pemilik hak. Maka dengan sendirinya upaya apapun dari pihak negara ataupun kekuatan di luar negara untuk memperlakukan air sebagai barang komoditi ekonomik “harus kita tolak”. Bahwasanya air merupakan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus menjadi tanggung-jawab pemerintah. Dan dengan demikian juga, bilamana pemerintah tidak sanggup mengelola perusahaan penyedia air untuk rakyat sebagaimana telah diamanatkan di dalam konstitusi maka sebenarnya yang harus diubah adalah cara-cara pengelolaannya bukan menjualnya ke pihak mitra strategis asing. Dan sebenarnya yang perlu diperhatikan oleh perusahaan air minum sebagai public utilities, terlepas dari keberadaan PDAM yang masih sulit memenuhi kebutuhan masyarakat konsumennya, yang disebabkan oleh berbagai kendala yang komplek akibat dari laju urbanisasi (pertumbuhan penduduk), aktivitas ekonomi (perkembangan industri yang cepat), persoalan kelembagaan, teknologi, anggaran, pencemaran maupun sikap masyarakat turut mempengaruhi, sebagai berikut : Pertama, adalah masalah hal penyediaan air oleh PDAM di Indonesia yang sebagaimana patut diketahui, di Indonesia terlalu berlebihan jika menggunakan istilah “air minum” sebagaimana yang telah dikenal selama ini, dengan istilah “air minum” yang disediakan oleh PDAM; namun sebaliknya yang ada fakta empiriknya yang dirasakan masyarakat pelanggan adalah justeru “air bersih” yang setelah dimasak terlebih dahulu oleh para pelanggan yang kemudian “air bersih” tersebut baru dapat dijadikan “air minum”. Jadi, dengan kata lain PDAM tidak menyediakan (baca ; menjual) “air minum”, tetapi sekedar “air bersih”. Kedua, bahwa PDAM di Indonesia, termasuk PDAM Jaya yang ada di DKI Jakarta yang menyediakan air bersih bagi masyarakat konsumennya adalah merupakan termasuk “cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak”. Dan analogis dari cabang-cabang produksi lainnya sejenis itu adalah seperti perusahaan yang menyediakan aliran listrik, bahan bakar gas untuk memasak, dan angkutan umum; dan bahkan telepon pun sudah pula menjadi bagian dari produk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena ia sebagai cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, “harus dikuasai negara”, termasuk tegasnya PDAM dalam artian, sebagaimana juga yang telah diamanatkan di dalam pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang bukan saja berlaku untuk Republik Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara, termasuk negara-negara yang sudah maju, seperti halnya di Amerika dan Eropa. Dan di dalam pengertian yang dimaksud “dikuasai negara” disini adalah “dikuasai” yang bisa dilakukan oleh “pemerintah pusat” atau “pemerintah daerah”. Dan kemudian lebih lanjutnya disisi lain yang dimaksud “penguasaan” itu adalah tentunya dengan komposisi penyertaan modal (equitas, saham) dari pihak pemerintah yang harus lebih dari 50 persen (tidak sekedar mayoritas) dari total penyertaan seluruh modal. Dan baru kemudian sisanya, kurang dari 50 persen dikuasai oleh penyerta-penyerta yang lain. Disini pemerintah pusat, atau pemerintah daerah yang mempunyai otoritas tersebut, bisa saja menunjuk pihak swasta untuk menyelenggarakan penyediaan air minum (bersih), akan tetapi harus jelas ditetapkan dalam sebuah perjanjian tertulis dan dimana proses tendernya tentunya haruslah juga secara terbuka bagi perusahaan-perusahaan swasta lain, dan khusus swasta nasional yang memang ingin bekerjasama dalam usaha penyediaan air, sehingga pihak-pihak swasta nasional pun mempunyai kemampuan untuk ikut serta dalam usaha tersebut, dengan hal tentunya meliputi suatu minimum ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan air minum itu sendiri, yaitu pertama, masalah kualitas air dan pelayanan. Kedua, masalah akses air yang tidak boleh diskriminatif terhadap semua pelanggan. Dan ketiga, masalah besarnya tarif yang terjangkau oleh semua jenis pelanggan. Sementara, untuk dalam hal masalah kualitas air dan pelayanan, bisa diartikan secara tegas, yakni bahwa air yang disediakan haruslah berkualitas. Misalnya, tidak boleh tercampur dengan kotoran atau semacamnya (contohnya, air keruh, air yang berbau kaporit, air berwarna kecoklat-coklatan yang tak layak untuk bisa dikonsumsi bagi kesehatan). Dan jangan terulang lagi kisah sangat tak sedap seperti halnya dari pelanggan yang ada di Jakarta setahun lalu yang pernah diberitakan pernah menemukan seekor “cacing” dari air yang disediakan oleh PDAM. Dan dengan demikian berarti hal tersebut menunjukkan kualitas produk dan pelayanan yang sangat rendah. Kemudian selanjutnya, dalam hal masalah akses air yang tidak boleh diskriminatif terhadap semua pelanggan, artinya, bahwa masyarakat pelanggan, di wilayah mana pun, dan kaya atau pun tidak, haruslah mendapatkan debit air yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Sebab, semua orang membutuhkan air, Apalagi dua pertiga tubuh manusia terdiri atas air, dan seperti kita ketahui sedikitnya setiap orang membutuhkan 50 liter air untuk air untuk minum, masak, mencuci, untuk sanitasi dan sebagainya. Oleh sebab itu tidak bisa dinafikan, betapapun juga, orang tidak akan bisa hidup tanpa air, karena air itu sendiri tak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan, sebab lagi air itu sendiri adalah kehidupan kita semua (aqua vitae, life water). Lalu serta, dalam hal masalah kebijakan besarnya tarif yang harus terjangkau oleh semua jenis pelanggan, artinya dimana ketika pemerintah memberlakukan kebijakan kenaikan tarif tersebut, maka sebelumnya haruslah sudah mengkalkulasikan atau memperhitungkan kemampuan atau daya jangkau para pelanggan atau masyarakat pelanggan. Dan dengan demikian juga sebaiknya apabila dari kebijakan tarif sebesar itu ternyata Perusahaan Air Minum tersebut meraih keuntungan lebih besar dari yang telah ditentukan, maka seyogyanya keuntungan yang lebih tersebut seharusnya dikembalikan lagi kepada masyarakat pelanggan (misalnya dengan bentuk kompensasi lain seperti halnya dengan ditingkatkannya lagi soal aspek kualitasnya yang lebih sangat prima dan dengan begitu, ada persyaratan lain selain tarif an sich). Sehingga tingkat keuntungan tersebut mempunyai suatu standarisasi tingkat keuntungan. Dan kemudian sebaliknya, apabila dengan tarif yang sudah ditentukan tersebut, andaikata Perusahaan Air Minum tersebut bilamana kemudian merugi, yang tentunya kerugian tersebut memang sudah diaudit atau dibuktikan oleh akuntan publik, maka kerugian tersebut haruslah ditanggung oleh pemerintah pusat atau daerah, yaitu dengan cara memberikan sejumlah subsidi, bertujuan agar PDAM tersebut masih tetap bisa beroperasi. Namun subsidi yang dimaksud itu bukan ditujukan bagi perusahaan, tetapi kepada masyarakat pelanggannya keseluruhan. Dengan demikian hal itu telah menjadi bagian tanggungjawab pemerintah pusat (dan Pemda) untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Ketiga, air yang merupakan suatu barang publik atau barang sosial, yang tidak semestinya diperjual-belikan apalagi masih banyak rakyat yang belum dapat akses air bersih, maka PDAM (seperti halnya Palyja dan TPJ yang ada di Jakarta) semestinya harus tetap dibawah tanggung-jawab pemerintah sepenuhnya (sehingga dalam mengambil suatu kebijakan tertentu, misalkan saja dalam hal suatu kebijakan tarif air, yang sejatinya kebijakan itu tidak ada intervensi atau imut campur tangan dari pihak-pihak lain, dalam hal ini mitra asingnya). Dan kemudian perlu ditekankan disini, bahwa bagaimanapun bentuknya, bahkan juga jika kepemilikan/ownership-nya masih ditangan pemerintah dan swasta hanya mengelola saja, semuanya itu adalah bentuk privatisasi. Pada umumnya, istilah privatisasi menjadi perdebatan karena orang mengasosiasikannya dengan kepemilikan. Jika sudah terjadi divestasi atau penjualan aset negara secara penuh, baru dikatakan sebagai privatisasi. Padahal, walaupun aset tersebut masih milik negara dan yang dialihkan hanyalah tugas-tugasnya/ pengelolaannya, tetap merupakan bentuk privatisasi atau juga sebagai bagian dari model privatisasi. Maka dalam hal ini mengenai kasus Jakarta menggunakan model konsesi, yaitu Build-Operate-Transfer (BOT). Pengaturan seperti ini, kadang dianggap sebagai “konsesi sebagian” (partial concession) karena tanggung jawab yang diserahkan pada perusahaan swasta, hanya pada porsi tertentu. Kepemilikan terhadap fasilitas modal akan diserahkan kembali ke pemerintah setelah masa kontrak habis. Namun, model atau bentuk manapun yang digunakan, perlu diingat bahwa pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa bisnis swasta, bagaimanapun mereka mencoba untuk bertanggung jawab dalam menjalankan bisnis mereka, tidak didisain untuk menyediakan pelayanan publik atas dasar persamaan dan keadilan. Pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan sumber daya air Indonesia harus benar-benar dilakukan dengan hati-hati. Karena, walau bagaimanapun, perusahaan swasta tidak mempunyai kewajiban sosial dan tidak mungkin menjalankan suatu usaha tanpa mencari keuntungan. Hal ini dapat merugikan rakyat banyak, terutama mereka yang tidak mampu. Apalagi jika penilaian kinerja PDAM seperti yang tertera di atas hanya mementingkan aspek finansial, operasional dan administrasi saja. Padahal, ada aspek-aspek lain yang juga penting seperti keberlanjutan lingkungan dan konservasi air, yang justru dapat menjamin akses dan ketersedian air untuk masa yang akan datang, tidak menjadi hitungan. Sehingga, PDAM, apalagi jika dikelola swasta yang tujuannya adalah untuk mendapatkan profit, tidak akan mementingkan aspek-aspek tersebut. Dan mengenai kinerja dan kondisi keuangan PDAM yang buruk juga memang tidak bisa lepas dari masalah tarif yang dikenakan ke pelanggan, tidak dapat menutupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan (tidak cost recovery). Jika memang ini masalah, memang tarif pelayanan air PDAM tersebut perlu dinaikkan sehingga dapat menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, yang harus juga harus dibarengi dengan upaya penyehatan lain seperti mengurangi tingkat kebocoran, menanggulangi korupsi dan peningkatan efisiensi. Sehingga setiap warga dapat menikmati pelayanan air bersih dan kualitas pelayanannya dapat ditingkatkan. Dan untuk PDAM yang bermasalah tentunya, haruslah diupayakan solusi-solusi penyehatan dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan kinerja PDAM. Maka sebagai bagian dari upaya peningkatan efisiensi dan pelayanan PDAM, harus juga didisain mekanisme partisipasi masyarakat dimana masyarakat atau pelanggan dapat ikut mengontrol kinerja PDAM tersebut. Kemudian dalam pola kemitraan publik-swasta itu sendiri, jika memang sudah terjadi atau harus terjadi, harus juga dirumuskan mengenai konsep dan mekanisme partisipasi publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dari kemitraan tersebut, supaya masyarakat tidak terlalu dirugikan. Dan dengan demikian, air dan pelayanan air harus diberikan pada harga yang adil, pantas dan terjangkau. Pelayanan air bersih ini memang tidak boleh diberikan secara gratis, namun harus ada sistem subsidi bagi kaum lemah. Pengaturan mengenai sistim tarif diatur oleh regulasi pemerintah. Keempat, adalah masalah prinsip kerjasama PDAM dengan mitra-mitra asingnya dalam rangka untuk mempercepat pelayanan air minum kepada masyarakat seharusnya berpegang pada prinsip kerjasama yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi seluruh stake holders, yakni sebagai berikut : a. Terhadap Masyarakat : Mendapat kualitas pelayanan yang lebih baik Tarif air yang terjangkau bagi seluruh masyarakat pelanggan b. Terhadap Karyawan PDAM : Seharusnya tidak ada PHK (Putus Hubungan Kerja) Mendapatkan suatu kesejahteraan yang lebih baik c. Terhadap PDAM : Tetap Mampu membayar utang Harus memperoleh keuntungan yang layak d. Terhadap Pemerintah Daerah (Pemda) : Menampakkan perbaikan lingkungan hidup yang berarti Perolehan Asli Daerah (PAD) meningkat e. Terhadap Mitra Swasta-nya : Adanya pengembalian modal (investasi) Harus memperoleh keuntungan yang layak Privatisasi Air Bahwa agenda privatisasi air didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalisme global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank. World Bank menyatakan, “Manajemen Sumber Daya Air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang effisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan” (World Bank, 1992). Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta. Bahwa selain itu juga politik ekonomi World Bank, mengatakan air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada dibawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Bahwa dengan privatisasi air maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar, “siapa ingin membeli /siapa ingin menjual”. Ambil contoh saja ironi sebuah pelayanan publik Pelayanan Sanitasi Nasional (Obras Sanitarias de la Nacion, OSN) Buenos Aires di Argentina, merupakan perusahaan yang berjalan cukup baik tidak dibebani oleh hutang dan mengalami surplus sebelum privatisasi, harus rela diprivatisasi hanya untuk mengikuti anjuran pragmatisnya Bank Dunia untuk melakukan privatisasi sistem penyediaan air. Pada akhirnya menyebabkan 7200 pekerja kehilangan pekerjaan dan jutaan orang seperti yang tinggal di La Matanza dan Laferre masih menunggu keuntungan dari privatisasi ini, seperti adanya pendistribusian air berkualitas dan perluasan sistem saluran air semakin meningkat dibawah kontrol swasta, kemudian di sisi lain dipakai sebagai alat untuk mengeruk kekayaan bagi kepentingan individu atau sekelompok orang. Dan program privatisasi selalu dianggap sebagai sulap yang dapat membantu Argentina dari krisis ekonomi yang telah menyebabkan inflasi tinggi, tidak lebih daripada kesuksesan fatamorgana yang dipenuhi oleh kebohongan, penghianatan, kerakusan dan keserakahan dari para kroni pejabat pemerintahan mantan Presiden Carlos Menem dan investor telah mengeruk keuntungan sangat besar dari penjualan saham-sahamnya. Dan privatisasi Buenos Aires yang sebagaimana pernah diumumkan oleh Bank Dunia sebagai kesuksesan besar dan menjadikannya model untuk privatisasi yang diikuti di Filipina dan Afrika Selatan hanyalah ilusif. Dan demikianlah gambaran privatisasi Buenos Aires yang terjadi. Dan buah dari privatisasi air tesebut hanya menjadikan tingginya tarif dan semakin buruknya kualitas pelayanan sebagaimana pernah terjadi di Elsavador, Bolivia dan negara dunia ketiga lainnya. Bahwa dengan begitu, haruskah Indonesia terperangkap di lubang yang sama? Dan inilah sesuatu yang disebut zaman globalisme, dimana di dunia tata kerja berubah sama sekali, dan serta nasib individual atau hak asasi secara individu tak menentu. Dimana alasan motif dasar globalisasi (Neo- Liberal) adalah keuntungan ekonomi jangka pendek, yang membangun sebuah masa depan yang berdasarkan pada logika material (ekonomi), bukan berdasarkan pada logika kemanusiaan (spiritual)..
JJ. Amstrong Sembiring, pendiri LSM Komunitas KOMPARTA INDONESIA / Praktisi Hukum. Dan artikel ini merupakan intisari dari makalah yang disampaikan pada acara YIC (Youth International Conference) 2004 yang berlangsung dari tanggal 4 – 7 Agustus 2004, di Solo, Jawa Tengah. (Sumber Artikel 26 August 2004 – www. sekitarkita.com)
Fenomena Air Bersih Air adalah kebutuhan vital yang menjadi barang publik (public goods) merupakan elemen terpenting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Sejak diciptakan, tubuh manusia telah mengandung 60% unsur air. Pakar kesehatan telah menganjurkan minimal 2 liter air harus diminum setiap hari agar dapat menjaga fungsi ginjal. Kebersihan tanpa air sulit diciptakan, demikian pula para cendikiawan maupun ilmuwan menetapkan adanya suatu kehidupan diantaranya ditenggarai adanya air. Dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat akan tersedianya air bersih, maka di kota Jakarta berdiri PDAM (Perusahaan Daerah air Minum) semenjak tahun 1922, jauh sebelumnya berdiri atas andil pemerintahan kolonial Belanda dengan infrastruktur yang pada awalnya sangat sederhana. Namun demikian, masih banyak masyarakat memanfaatkan kali Ciliwung / kali Cideng / kali Krukut dan sumur galian menjadi andalan pokok untuk mendapatkan air guna kebutuhan segala macam, dari mulai mandi, memasak, menyuci, minum hingga sampai untuk buang hajat sekalipun dikali. Tak ada bedanya, pemerintahan kolonial Belanda (red, masyarakatnya sebagian telah maju) membangun prasarana air-minum yang bahan bakunya diambil juga dari sungai. Perbedaanya, air sungai (air kali) itu kemudian diolah lagi dengan kemajuan teknologi dimilikinya hingga diolah agar menjadi lebih bersih dan lebih jernih untuk bisa dimanfaatkan. Suatu bangsa yang sebagian besar masyarakatnya telah maju “terpelajar” mengisyaratkan kebersihan adalah pangkal kesehatan. Mereka membudayakan bahwa sungai haruslah indah, bersih dari segala kotoran. Maka, rumah mereka sebagian besar dibangun akan menghadap sungai dimana semua limbah di buang ke tanah. Namun, beda sekali dengan suatu masyarakat masih dikatakan terbelakang, biasanya mereka akan membangun rumah dengan membelakangi sungai selain agar bisa praktis untuk membuang segala limbah, sehingga kali di kota cepat sekali menjadi keruh dan dangkal akibat limbah. Perusahaan yang mengelola air minum tatkala itu disebut Perusahaan Air Leideng. Sementara masyarakat menyebut air yang keluar langsung dari kran dengan menamai istilah AIR LEIDENG. Bahkan nama istilah tersebut akhirnya membahana di semua kota yang telah memiliki sarana-prasarana air minum yang dikelola oleh perusahaan Belanda tersebut. Istilah tersebut yang telah membudaya di dalam masyarakat bahwa dikatakan air minum pada kenyataannya tidak dapat langsung diminum, melainkan harus dimasak dahulu untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tidak mati oleh zat kimia (kaporit). Demikian pula, meski setelah pengambi-alihan Perusahaan Leideng menjadi milik asset Pemerintah daerah (PEMDA) telah berubah nama menjadi Perusahaan daerah Air Minum (PDAM), kemudian berganti nama menjadi PAM JAYA (red, asset tetap milik Pemda DKI) hingga sekarang tak ada bedanya bahwa katanya istilah “air minum” adalah air yang tidak bisa langsung dapat diminum. Kononnya, pihak swasta akan merealisasikan program “Air Langsung Minum” di tahun 2007 dimana air olahan tersebut nantinya dapat langsung diminum oleh para konsumen air minum. Air bersih adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang fundamental harus dipenuhi bagi kelangsungan kehidupan manusia yang berada di atas permukaan bumi, maka sudah sewajarnya mendapatkan suatu proteksi memadai bagi kepentingan pemenuhannya. Dalam konteks pengelolaan air bersih yang dipersepsikan seolah-olah berlimpah dan merupakan barang bebas, ternyata kian waktu semakin terbatas jumlahnya. Keterbatasan itu bisa disebabkan oleh berbagai alasan, seperti hal pertambahan penduduk sangat signifikan, erosi lingkungan (rusaknya lingkungan), dan sebagainya. Meskipun demikian, pengelolaan air bersih tidak hanya melulu dipacu secara proporsionalitas dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat serta perkembangan wilayah dan industri yang cepat, namun seretnya dana dan mengbengkaknya biaya operasional juga merupakan suatu bencana yang besar. Bencana itu mulai dari pengadaan penyedian air minum, mengelola, membangun dan memelihara sistem pelayanan air minum, memasang dan memelihara pipa-pipa transmisi dan pipa distribusi, menglola sistem pendistribusian air minum, menyediakan air minum dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan fasilitas kota, meningkatkan mutu dan kesejahteraan untuk meningkatkan pelayanan umum. Di beberapa wilayah yang memiliki garis pantai, air yang berasal dari sumur sudah tidak bisa direkomendasikan lagi untuk keperluan rumah tangga, terutama untuk aktivitas memasak karena adanya abrasi laut dan bentuk pencemaran lainnya. Maka, pasokan air minum untuk golongan masyarakat / wilayah yang kondisinya seperti itu amat bergantung pada Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) (Kompas /22/10/2001). Namun menjadi ironis lagi, mereka yang hidup pas-pasan itu harus membeli air minum dengan harga yang lebih mahal dari sebagian orang yang tinggal di perumahan elite. Saat ini pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 milyar penduduk dunia. Sebagian besar masyarakat desa di sebuah negara tropis (red, Indonesia) harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Dan perlu diketahui masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas. Banyak air tanah di perkotaan telah tercemar oleh bakteri dan logam, penyedotan air tanah secara berlebihan telah menurunkan permukaan air tanah dan menyusupnya (intrusi) air laut, sehingga kualitas air tanah pun makin menurun. Selain itu, hujan deras selama musim penghujan tidak lagi mampu mengisi air tanah di Jakarta dan daerah perkotaan lain yang padat penduduknya. Rumah-rumah yang berdesakan, gedung-gedung yang bertingkat menjulang, jalan-jalan yang beraspal, serta permukaan tanah yang penuh “penuh beton” menghalangi air hujan masuk ke dalam tanah. Sementara penyedian air bersih di masa depan amat bergantung kepada air pemukaan (surface water), selain dari sungai, sumur air artesis, mata air, dan sumber air lainnya. Bahkan, masyarakat di beberapa wilayah lain di perkotaan ada yang akhirnya hanya menggunakan air PAM (Perusahaan Air Minum) untuk mandi, sedangkan untuk minum mereka terpaksa mengeluarkan uang ekstra untuk membeli Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang harganya lebih mahal dari bensin. Warning ! harian Jepang Yomiuri Shimbun, Forum Air Dunia yang ke-3 di Osaka, Jepang (19/3) mengemukakan, bahwa air bersih kini sukar di jangkau masyarakat kelas bawah saat perusahaan-perusahaan swasta mulai menggarap bisnis tersebut. Menjadi pertanyaan, bagaimana nantinya 10, 20, 30 tahun mendatang?
JJ. Amstrong Sembiring, pendiri LSM Komunitas KOMPARTA INDONESIA / Praktisi Hukum. Dan artikel ini merupakan intisari dari makalah yang disampaikan pada acara YIC (Youth International Conference) 2004 yang berlangsung dari tanggal 4 – 7 Agustus 2004, di Solo, Jawa Tengah. (Sumber Artikel 26 August 2004 – www. sekitarkita.com)
- Pertama di Indonesia, Hakim PN Jakbar Mainan Handycam Saat Sidang
Rina Atriana - detikNews. Jumat, 10/01/2014 16:43 WIB. Jakarta - Seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY). [27]) Hakim berinisial SH itu dinilai tidak serius karena menggunakan handycam saat persidangan berlangsung. "Dia merekam dengan handycam saat sidang. Rekam dengan handphone saja tidak boleh, ini malah pakai handycam," ujar pelapor Amstrong Sembiring, di kantor KY, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2014). [28])
Amstrong merupakan kuasa hukum dari pihak berperkara yang kasusnya tengah ditangani SH dan dua hakim lainnya. Sebelum ditemui komisioner KY Taufiqurrohman, Amstrong sempat terlibat adu mulut dengan resepsionis. [29]) Ia meminta segera dipertemukan dengan komisioner. Kasus yang ditangani SH adalah terkait pembagian warisan yang melibatkan adik kakak. SH diketahui merekam saat berlangsungnya persidangan dengan agenda mendengarkan putusan sela 4 Desember 2013 lalu. "Laporan itu sudah masuk, nanti KY akan periksa setelah majelis selesai memutus perkaranya. Baru pertama hakim sidang mainan handycam, kalau smsan sih sudah pernah dilaporkan," jelas Taufiq kepada wartawan di KY.
Artikel Hukum Menarik Perhatian Publik
- Hakim Dan Keadilan Ditengah Degradasi Moral
Dalam konteks tersebut, [30])degradasi dapat diartikan sebagai penurunan suatu kualitas. Degradasi moral hakim dapat diartikan bahwa moral hakim pada saat ini terus menerus mengalami penurunan kualitas atau degradasi dan tampak semakin tidak terkendali. Penurunan kualitas moral terjadi dalam segala aspek mulai dari tutur kata, cara pandang hingga perilaku. Degradasi moral hakim merupakan salah satu masalah krusial sosial bagi pencari keadilan yang perlu mendapat perhatian baik dari pemerintah/ lembaga terkait secara khusus serta masyarakat luas pada umumnya. Sebagaimana Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI Nomor 03/PB/MA/IX/2012 – 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI Nomor 04/PB/MA/IX/2012 – 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Dimana kode etik dan pedoman perilaku hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Faktor Modernisasi dan globalisasi sangat berpengaruh pada degradasi moral hakim pada saat ini. Globalisasi menuntut kesiapan mental dari masyarakat. Ketidak siapan mental menimbulkan kelengahan akan bahaya globalisasi yang timbul. Masyarakat modern seringkali digambarkan sebagai masyarakat yang diwarnai kapitalisme dan pemisahan antara dunia dan akhirat (sekularisme). Bahkan teori moralitas modern—sesuai dengan pemikiran jaman Pencerahan yang kini tidak lagi diterima—masih percaya akan konsep kemajuan historis yang secara linier menuju ke arah cara hidup masyarakat komersial sebagai kemajuan peradaban. Dunia modern memunculkan konsep-konsep moralitas tertentu, namun juga mencabut alasan-alasan untuk sungguh-sungguh menerima konsep-konsep tersebut. Modernitas membutuhkan moralitas, maupun membuat moralitas mustahil. Bernard James bahkan mengatakan bahwa modernitas memiliki kekuatan maut yaitu ‘kebudayaan progres modern’ dan kekuatan tersebut harus dihancurkan sebelum ia menghancurkan seluruh umat manusia. Istilah modern berasal dari kata Latin, modo , yang berarti “barusan”. Istilah ini muncul ketika Suger, seorang kepala biarawan, merekonstruksi basilika St. Denis di Paris pada sekitar tahun 1127. Gagasan arsitekturalnya menghasilkan suatu gaya yang belum pernah tampak sebelumnya, satu “tampakan baru” yang bukan Yunani, Romawi, maupun Romanesque. Ia tidak tahu bagaimana menamainya, hingga dia melirik istilah Latin, opus modernum yang berarti sebuah karya modern. Konsep ‘modernisme’ pada umumnya selalu dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan estetika atau gaya. Konsep ‘modern’ sering dikaitkan dengan penggal sejarah atau periodisasi. Sementara, konsep ‘modernitas’ digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan.
Bahaya tersebut secara tidak sadar bukan dihindari tetapi diikuti oleh sebagian dimasyarakat. Kurang fokus perhatian pemerintah/ lembaga akan bahaya yang mengintai ikut berperan, sehingga yang ada saat ini adalah sebagian dari hakim Indonesia mengalami degradasi moral yang akan berdampak pada kelanjutan proses penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perilaku perilaku tidak terpuji yang terjadi pada hakim saat ini seperti:
1. Berita tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstiusi, Akil Mochtar bagaikan “petir” yang menyambar rumah proses penegakan hukum Di Indonesia.
2. Daftar nama 8 hakim yang bakal dipecat KY dan MA . Menurut sumber KomisionerKY bidang Hubungan Antar Lembaga, Imam Anshori Saleh, mengatakan MKH untuk ke delapan hakim ini akan digelar pada minggu keempat bulan Februari 2014. Sidang digelar secara ‘maraton’ dari hari selasa hingga hari kamis. “Ya minggu keempat FebruariKY dan MA akan sidang maraton. Sehari sidangkan dua hakim. Dari selasa sampai kamis. Terus dilanjutkan minggu pertama pada 4 Maret 2014,” kata Imam saat dihubungi Line Indramayunews Biro Jakarta, Selasa (18/2).
Berikut identitas kedelapan hakim yang menunggu detik-detik MKH:
PZJ Wakil Ketua PN Mataram. Rekomendasi: Pemberhentian tetap dengan tidak hormat Majelis dari KY: Eman suparman, Imam Anshori, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Suap. ES Hakim PN Tebo, Jambi Rekomendasi: Pemberhentian tetap dengan hak pension Majelis dari KY: Eman Suparman, Imam Anshori, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Selingkuh MA Pengadilan Agama Tebo, Jambi. Rekomendasi: Pemberhentian tetap dengan hak pension Majelis dari KY: Eman Suparman, Imam Anshori, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Selingkuh RL Hakim PN Ternate Rekomendasi: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri Majelis dari KY: Abbas said, Imam Anshori, Taufiqurrahman, dan Ibrahim Kasus: Selingkuh dengan Staf RC Hakim Ad Hoc Tipikor PN Bandung Rekomendasi: Pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatan hakim Majelis dari KY: Eman Suparman, Imam Anshori, Ibrahim, dan Jaja Ahmad Jayus Kasus: Suap J Wakil PTUN Banjarmasin Rekomendasi: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri Majelis dari KY: Abbas Said, Eman Suparman, Taufiqurrohman, Ibrahim Kasus: Selingkuh PR hakim PTUN Surabaya Rekomendasi: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri Majelis dari KY: Abbas Said, Eman Suparman, Taufiqurrohman, Ibrahim Kasus: Selingkuh PSL hakim PTUN Pekanbaru Rekomendasi: Pemberhentian tidak dengan hormat Majelis dari KY: Abbas Said, Eman Suparman, Taufiqurrohman. Kasus: Narkoba. 3. Seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dibulan Januari 2014, yakni Hakim berinisial SH diketahui bernama Sigit Hariyanto SH dalam perkara perdata No 320 pada tahun 2013 dinilai tidak serius karena menggunakan handycam saat persidangan berlangsung. Seharus dalam mengemban profesinya dipegang teguh, Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.
4. Dan masih banyak lagi etika dan perilaku tidak sesuai dalam mengemban profesi hakim. [31])
Degradasi moral Hakim secara nasional dapat dilihat dari pemberitaan media masa seperti : etika dan perilaku yang banyak disimpangi, pemberitaan yang dapat menggambarkan turunnya moralitas sebagian citra hakim dan turunnya moralitas kinerja hakim: Dari gambaran diatas serta tak habis habisnya pemberitaan di media masa tentang turunnya moral hakim seakan tidak mampu mengusik telinga pemerintah kita yang sibuk mengurus masalah politik yang tidak pernah habis. Mereka tidak menyadari bahwa dengan banyaknya kasus korupsi, sebenarnya merekapun sudah terkena degradasi moral.
Dari permasalahan permasalahan yang timbul seperti contoh diatas, akan muncul pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Sebenarnya moral itu berkembang mulai dari bayi hingga akhir hayat, namun moral akan menjadi baik apabila pada saat moral berkembang diiringi dengan menanamkan kebiasaan kebiasaan yang akan membentuk karakter anak. Dalam pembentukan karakter tersebut perlu ditanamkan moral yang meluhurkan peradaban, kemanusiaan serta prinsip prinsip moral dan ilmu pengetahuan. Beberapa hal yang menyebabkan turunnya moral hakim antara lain, dari lingkungan, tak terlepas juga pengaruh budaya asing yang tanpa tersaring sama sekali dimana akan memberi dampak negatif. Salah satunya dalam hal pergaulan. Karena, kalau kita lihat di kota-kota besar budaya clubbing, minum-minuman keras, dan narkoba menjadi budaya baru. Dan kemudian, demikian juga media masa atau media informasi. Kemajuan IPTEK melahirkan berbagai macam media yang mutakhir seperti televisi,handpone, internet dan lain-lain dan banyaknya informasi yang bisa di peroleh dari media tersebut
Dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas, tetapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tertentu. Sampai sejauh ini perdebatan seputar permasalahan tersebut masih menjadi bahan pembicaraan. Masyarakat yang atomistik, impersonal, dan penuh persaingan dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat orangtidak lagi menemukan jati-diri-individualnya dalam jati-diri-sosial. Dalam masyarakat tersebut jati diri individual seseorang menjadi abstrak dan berdasarkan pilihan bebasnya sendiri. Moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan atas kesadaran untuk mengejar keutamaan hidup sebagai manusia, karena mengenai mana yang disebut keutamaan dan mana yang disebut cacat semakin sulit diperoleh kata sepakat. Apa yang secara tradisional dijadikan dasar material, objektif dan rasional untuk hidup bermoral, yakni kodrat kemanusiaan yang secara ontologis terarah pada Yang Baik, kini rupanya dipertanyakan, karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan eksistensial manusia. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang menjamin kebebasan individu dalam hubungan kontraknya dengan individu lain.
Adanya penyimpangan sosial
Longgarnya pegangan terhadap agama .Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kurang efektifnya pengawasan terhadap moral hakim yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga, maupun masyarakat. Pengawasan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebiasanya. Ditambah adanya budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis.dimana gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan,bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Hedonisme dapat didefinisikan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata. Media massa, dalam hal ini, memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik seks pada pria dan perempuan. Dukungan terhadap kriteria daya tarik seks itu sendiri pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa pria dapat digolongkan sebagai pengendali perekonomian, dimana mereka merupakan pasar potensial bagi barang konsumen.
Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral. Degradasi moral memang seharusnya mendapat perhatian lebih. Luangkan waktu sejenak wahai petinggi Negara, Lihat anak bangsa ini! Moral mereka ter-degradasi. Marilah kita perbaiki bersama.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana di atas, perlu terus diupayakan secara maksimal tugas pengawasan secara internal dan eksternal, oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. Wewenang dan tugas pengawasan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi, jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu, hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta etika dan perilaku hakim.
Hakim Menegakkan Hukum
Hakim adalah orang yang mengadili perkara, yang keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Dapat dibayangkan bila hakim tidak benar maka pengambilan keputusannya pasti sewena-wena, hanya menguntungkan atau mengakomodir kepentingan pribadi atau kelompok sang hakim yang tidak benar dan merugikan orang lain. Itulah sebabnya, orang yang mejadi hakim harus orang yang benar, yang memutuskan perkara secara benar dan adil. Hakim yang benar adalah seseorang yang tidak berdosa, yang hatinya tidak ada kejahatan, adakah manusia yang demikian?
Dalam memutuskan perkara duniawi saja dibutuhkan hakim yang memenuhi mekanisme fit dan proper test supaya tidak terjadi ketimpangan dalam pengambilan keputusan, terlebih lagi dalam memutuskan perkara rohani, kita membutuhkan hakim yang benar supaya tidak tersesat
Menghakimi berarti juga mengadili atau berlaku sebagai hakim. Dalam bahasa yunani kata Krino adalah kata utama yang menjelaskan menghakimi, selain kata Krino ada juga turunan dari kata ini yakni Katakrino dan Anakrino yang memiliki kenotasi yang sama yakni, memutuskan atau membuat penilai terhadap sesuatu. isinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim ini bermakna pengamalan tingkah laku sesuai agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini akan mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
- Pengacara, Hakim Dan Keadilan
Supremasi hukum di Indonesia cuma pemanis bibir hakim sebagai penguasa ruang sidang. Lihat saja kinerja institusi hukum, terutama lembaga peradilan dimana banyak masyarakat pencari keadilan belum puas, danmasih kecewa dengan institusi kehakiman yang belum bebas dari praktik suap. Padahal kesejahteraan hakim sudah di atas rata-rata, dengan penghasilan sekitar Rp 10 juta/bulan untuk hakim baru (0 tahun). “Dari hasil survei, 60 persen responden menyatakan kekuasaan kehakiman dinilai belum bersih dari praktik suap,” kata peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natoesmal dalam jumpa pers di Warung Daun, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (detiknews, 9/4/2013).
Badan Peradilan dalam lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 8/198 diubah dengan UU No.8/2004 dan terakhir di ubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Tentang Peradilan Umum memberi difinisi,” Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Pengadilan sebagai ujung tombak pelaku kekuasaan kehakiman bagi para pencari keadilan harus menjamin terlaksana keadilan dan kepastian hukum. Tetapi dalam praktik mencari keadilan peradilan belum dapat memberikan pelayanan sebagai public servise (pelayan publik) yang memadahi, apalagi berkaitan dengan kekusaan dan kewenangan yang dimiliki dari putusan yang dijatuhkan justru malah menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Lembaga tersebut terkesan lemah dan “kurang vitamin” menahan runtuhnya supremasi hukum. Tak heran bila jika masyarakat pencari keadilan menilai berbagai peristiwa hukum yang digelar hakim tak lebih dari rangkaian tontonan hukum yang semu. Kinerja peradilan hingga kini tetap tidak dapat diprediksi, dan opini masyarakat maupun pasar pun semakin menguat bahwa peradilan tidak dapat dan belum dapat melaksanakan fungsinya secara independen bebas dari pengaruh kepentingan. Korupsi dan suap tetap menjadi permasalahan utama yang membayangi kinerja dan kredibilitas institusi peradilan. Reformasi peradilan yang berjalan hingga kini kurang memperhatikan strategi dan arah reformasi yang seharusnya hendak dituju. Dengan kata lain hingga kini Reformasi Peradilan belum memenuhi harapan publik
Indenpendesi Bukan Semata
Independensi Peradilan secara umum dipakai untuk mewakili lembaga peradilan, termasuk individu-individu hakimnya, sebagai lembaga yang bebas dari intervensi dari pihak lain. Prinsip-prinsip dari Prinsip Dasar Independensi Peradilan Versi PBB menjelaskan bahwa imparsialitas peradilan ditentukan oleh perilaku hakim yang selalu memutus perkara yang diajukan kepada mereka berdasarkan fakta-fakta dan kaitannya dengan hukum yang berlaku, tanpa adanya pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak seharusnya ada, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, atau intervensi-intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan dengan alasan apapun.
Secara konstitutional, independensi peradilan merupakan prinsip yang harus dijabarkan, secara eksplisit, dalam konstitusi guna memastikan adanya jaminan pelaksanaan kekuasaan yudikatif yang selalu independen. Prinsip 1 dari Prinsip dasar lansiran PBB menyebutkan: “The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.” Secara Nasional, pengakuan terhadap independensi peradilan termaktub pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Dimana independensi peradilan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan suatu lembaga peradilan yang ideal. Katanya jika hal ini absen, maka peranan dari lembaga peradilan akan terdistorsi dan mengakibatkan turunnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya. Sayangnya, hal ini tengah dialami oleh lembaga peradilan Indonesia. Reduksi kepercayaan publik secara konstan adalah diakibatkan absennya prinsip independensi peradilan dalam upaya melindungi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan dan akses terhadap keadilan. Penyebabnya, adalah perilaku korup dari institusi peradilan.
Namun justifikasi independensi hakim juga bukan semata-mata sebagai “alat“, karena sekarang ini profesi hakim itu telah memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Barangkali ada “joke” dapat kita bisa refleksikan seabagai sebuah kisah lucu mempunyai intepretasi makna arti yang dalam sebagaimana kata “independensi” selalu sebagai alat justifikasi oleh hakim membawa atas nama keadilan dan kenyataan itu kerap membodohi dan semu semata bagi pencari keadilan. Alkisah tersebut, dimana beberapa hari sebelum sidang antara 2 perusahaan yang berperkara, seorang pengacara mendatangi kliennya, seorang pejabat yang korup. “Saya peringatkan kepada anda, hakim yang akan mengadili perkara kita ini sangat terkenal sebagai hakim yang bersih. Jadi, kalau anda benar-benar ingin menang dari lawan kita, jangan sekali-kali mencoba menyuapnya…” kata pengacara. “Tenang saja pak pengacara…. Saya tidak akan melakukannya dan saya malah semakin yakin bahwa kitalah yang akan menang” kata si pejabat. Singkat cerita, waktu persidangan pun tiba. Tanpa melalui proses yang terlalu lama, hakim pengadilan tersebut langsung memvonis bersalah Lawan si pengacara dan kliennya tersebut.
Pengacara itu heran ketika seusai sidang kliennya mengatakan bahwa perkara itu berhasil mereka menangkan karena dia telah mengirim sejumlah uang kepada hakim tersebut. “Hah…., bagaimana mungkin ?? Hakim itu terkenal sebagai hakim yang jujur dan bersih. Apakah dia sudah berubah dan menerima uang dari anda ?? tanya pengacara. “Hakim itu sama sekali tidak berubah….. Saya mengirim uang tersebut dengan mengatasnamakan lawan kita….” kata si pejabat sambil tersenyum penuh kemenangan. (sumber : http://www.kaskus.com)
Menurut Prof. JE Sahetapy menjadi salah satu pembicara dari 3 narasumber yang hadir dalam diskusi media KPK ini. Yang lainnya adalah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Ketua KPK Bambang Wdjojanto dan yang menjadi moderatornya yakni Juru Bicara KPK Johan Budi, SP, mengatakan, “Saya melihat dari sisi politik, zaman Pak Harto korupsi di bawah meja, sekarang korupsi termasuk mejanya, kurang ajar koruptornya, dan biasanya di dalam negara,” jelasnya. (sumber, baranews.co ,Selasa, 28 Januari 2014 ).
Pengacara
Ironis kenyataan, lembaga peradilan sebagai penegakan keadilan Republik Indonesia belum bisa diharapkan. Begitupun Polisi dan Jaksa sebagai aparat hukum, masih banyak yang “nakal”. Faktanya, hukum ternyata hanya mampu meloloskan para pelanggar HAM dan pelaku-pelaku praktek KKN. Sementara disisi lain, para profesional pengacara ‘alpa” lupa daratan dan hanya ingin membangun dunianya sendiri, dengan bergaya hedonisme serta pernak-perniknya. Hedonisme merupakan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia dipraktekkan dengan kasat mata, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata.
Celakanya media massa, dalam hal ini, turut memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik. Kecenderungan ini dapat dilihat dari fenomena mulai maraknya menunjukkan barang-barang mewah yang diperlihatkan . Bukan saja barang-barang yang memang dekat dengan bidang produksi (mobil, alat-alat telekomunikasi, dan sebagainya), tetapi juga bidang gaya domestik perawatan tubuh dan wajah, dan pakaian. Walaupun menunjukkan supaya mereka dapat digolongkan sebagai pasar yang menjanjikan. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya majalah atau media massa lain yang mulai dari majalah, tabloid, dan radio semakin mengukuhkan mereka sebagai golongan yang memiliki tempat khusus dihati pelaku ekonomi yang kapitalistik.
Tak heran juga, jika sebagian para pengacara tiba-tiba menjadi sadar citra, bergerak menuju lebih sering atau memelihara pemunculan di berbagai media secara teratur, khususnya televisi. Mereka hadir terus dan terus berbicara di televisi, sekalipun apa yang disampaikan tak ada manfaat atau konkretnya: tidak ada yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat setelah mereka mematikan pesawat televisinya.
Ironis, masih teringat berapa tahun lalu dalam tayangan sebuah media televisi swasta, seorang pengacara menyatakan, bila tidak membela kasus Koruptor, tidak ada pekerjaan. Maka tak heran jika Prof Sahetapy mengatakan, “Kalau ada pengacara tutup mulut mu jangan bicara, pengacara ini dibayar dengan uang haram dan halal? Karena bayar pengacara paling mahal. Kalau uang haram, harus usut pengacara baik itu TPPU,” ujar Guru Besar ilmu hukum di Universitas Airlangga JE Sahetapy dalam diskusi media KPK berjudul “Pemberantasan Korupsi Politik, Politisasi Pemberantasan Korupsi” di KPK, Jakarta (28/1).
Menurut Sahetapy, KPK harus menduga penghasilan dari para pengacara, apakah dengan membela orang bersalah para pengacara itu juga turut ‘bermain’ dengan hukum, seperti menyuap jaksa dan hakim. “Harus (diusut TPPU) begitu. Supaya kapok-kapok pengacara ini,” ujar Sahetapy. (sumber,baranews.co , Selasa, 28 Januari 2014 )
Di negeri ini profesi pengacara seharus mempunyai andil buat penegakan hukum yang lebih baik, namum tak terbantahkan kenyataan tak sedikit banyak yang berinter-play dengan berbagai pihak guna mempraktekkan hukum pada sebuah institusi hokum, dimana mereka bekerja semata-mata demi uang.
Hebatnya lagi, mereka bisa berinter-play dengan lembaga pencari keadilan. Mereka sangat bangga jika membela pejabat, mantan pejabat atau para konglomerat hitam dari jeratan hukum. Kabut tebal yang menyelimuti iringan-iringan kepalsuan, kesemuan dan kepura-puraan telah menghiasi wajah hukum kita selama ini selama berpuluh-puluh tahun hingga kini.Lebih naif, ada sebuah pengadilan (misalnya) menghadirkan tersangka, pengacara, jaksa dan saksi. Akan tetapi, apa yang terjadi di dalamnya tak lebih dari wacana kepura-puraan. Yang dipentungkan didalam wacana semacam itu bukanlah substansi dan kebenaran hukum. Melainkan kemampuannya menciptakan sebuah citra (image) bahwa aparat hukum telah sungguh-sungguh memeriksa, bahwa Kejaksaan Agung telah serius dalam penyelidikan. Mereka kerap menari-nari diatas tinta pers dan mempermainkan sumber berita. Dengan santainya, tanpa beban apapun manipulasi saksi, bukti-bukti, intimidasi absurb pada institusi. Dan berkolaborasi dengan massa sidang (internal maupun eksternal) dengan cara mempolitisasi.
Berapa waktu lalu ICW pernah menguraikan daftar para pengacara hitam, sebagaiberikut daftar advokat ‘nakal’ versi ICW sebagaimana sumber Tempo, (temp.co, 29 Jul ,2013), sebagai berikut:
Haposan Hutagalung, Nama Haposan mencuat ketika menangani kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan dan kasus suap kepada Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat Kepala Bareskrim Polri. Dalam kasus Gayus, sejumlah nama memang terseret masalah, termasuk jaksa Cyrus Sinaga. Haposan kemudian divonis MA 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta. Lambertus Palang Ama, Seperti juga Haposan, Lambertus diduga terlibat kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Dia divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta.
Ramlan Comel, Pengacara ini diduga korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako US$194.496 atau setara dengan Rp1,8 miliar. Pada 2005, Comel divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pekan Baru. Namun ia kemudian dibebaskan di Pengadilan Tinggi Riau pada 2005 dan Mahkamah Agung pada pada 2006 (Putusan Nomor 153K/PID/2006). “Saya enggak berani jawab karena nanti malah salah. Silakan selidiki dan teliti ke MA atau Pak Denny (Indrayana), ya, silakan,” kata Ramlan soal ini. Ramlan Comel pada tahun 2010 diterima sebagai hakim adhoc tipikor dan ditempatkan di Pengadilan Tipikor Bandung. Pada tahun 2011 dia menyatakan kepada pimpinan MA mengundurkan diri. Waktu itu, Ramlan merupkan satu dari majelis hakim tipikor yang membebaskan Walikota Bekasi Mochtar Mohammad. Hingga kini dia masih berdinas dan mengadili di Pengadilan Tipikor Bandung.
Tengku Syaifuddin Popon. Tengku Syaifuddin mencuat ketika menangani perkara korupsi yang melibatkan gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Ia diduga berupaya menyuap pegawai pengadilan tinggi tipikor sebesar Rp 250 juta. Tengku pun divonis Pengadilan Tinggi tipikor 2 tahun 8 bulan.
Harini Wijoso, Hariani masuk advokat bermasalah setelah dianggap berusaha menyuap pegawai MA dan hakim agung. Suap diduga terkait kasus yang melibatkan pengusaha Probosutejo. Dia akhrinya divonis MA tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Adner Sirait, Adner dituding berupaya menyuap Ibrahim, Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat, melawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada 2010, dia divonis Pengadilan Tipikor 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta.
Mario C. Bernardo, Pemberian uang kepada pegawai MA Djodi Supratman diduga berkaitan dengan kasus yang tengah berada di tingkat kasasi. Dia ditangkap KPK setelah sebelumnya menyerahkan uang Rp 80 juta kepada pegawai MA Djodi Supratman. Saat ini kasus ini masih diusut KPK. Data lain disebutkan oleh Komisi Yudisial menerima 2.046 laporan dari masyarakat terkait perilaku hakim selama 2013. Laporan dugaan penerimaan suap paling banyak disampaikan oleh masyarakat. “Laporannnya jauh lebih banyak dugaan suap, terlepas terbukti atau tidak terbukti,” kata Ketua KY Suparman Marzuki dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (26/12/2013). Selain suap, laporan yang juga banyak disampaikan oleh masyarakat antara lain perilaku hakim yang tidak disiplin sidang dan mengabaikan keterangan saksi yang berkaitan dengan teknis yudusial. “Lalu ketiga, laporan soal perilaku moral. Seperti narkoba dan perselingkuhan,” ujarnya. (sumber, http://www.pa-sintang.go.id, 24 Februari 2014).
Tak heran kita menyaksikan jika ada Puluhan warga Bali berunjuk rasa ke kantor pengadilan Negeri Denpasar, mereka menuntut pencopotan oknum hakim nakal yang dinilai merusak citra penegak hukum. Oknum hakim nakal tersebut kerap mengeluarkan vonis yang janggal dan tidak adil. (sumber, http://wartatv.com, 06 maret 2014).
Kemudian ada seorang Fatma Watih Mamonto (43) warga Girian nampak berteriak-teriak keras dengan menggunakan megaphone didepan kantor Pengadilan Negeri (PN) Bitung menerikan unek-uneknya kepada seorang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bitung, Senin kemarin. Fatma bersama puluhan warga kota Bitung melakukan aksi unjuk rasa menuntut pemecatatan kepada seorang hakim di PN Bitung bernama Sugianto yang tidak benar memimpin sidang perdata gugatan kepemilikan tanah dengan mengeluarkan putusan verstek dengan nomor 130/Pdt.G/2013/PN.Btg atas gugatan kepemilikan yang berada dibelakang lapangan Maesa Bitung. (sumber manado.tribunnews.com , 27 januari 2014).
Demikian juga tahun 2013 unjuk rasa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa Hukum Indonesia (GMHI) merupakan aliansi dari mahasiswa-mahasiswa hukum di Jakarta, menyatakan sikap dengan tegas BERANTAS PENGACARA HITAM dan HAKIM HITAM keakar-akarnya karena merusak penegakan hukum di Indonesia.
Para Hakim berserta penegak hukum lainnya berkerja harus secara professional dan praktek-praktek mafia hukum di pengadilan. Meraka berunjuk rasa karena melihat banyak keganjilan-keganjilan secara kasat mata melihat sikap majelis hakim yang tidak adil, tidak jujur, tidak bertanggung jawab, tidak professional dan arogan angkuh sombong,, mereka aksi unjuk rasa pada proses sidang tahap REPLIK, dimana ada penggantian kuasa hukum (pengacara) bernama Manuarang Manalu, SH meruapakan kawan tim hukum saudara Taripar Simanjuntak, SH diganti dengan kuasa hukum bernama Mangapul Sitorus, SH, kemudian diganti lagi oleh Marbun SH dan mereka berempat tersebut merupakan staf hukum dan pengacara bermitra kepada kantor hukum Rudy Lontoh & Partners di daerah Menteng Jakarta pusat, demikian juga pada saat yang bersamaan ada juga penetapan penggantian Ketua Majelis Hakim dan angota-anggotanya, Anggota Majelis yang baru susunan anggota adalah Sigit Hariyanto, SH. MH dan Julien Mamahit, SH serta Ketua Majelis Harijanto, SH, MH.
Ironis sekali, di Indonesia kebenaran hukum erat hubungan dengan kekuasaan. Kebenaran hukum membutuhkan pembenaran (justifikasi) kekuasaan. Dalam konteks sebuah sistem hukum yang tidak bebas dari pengaruh eksekutif, kebenaran hukum akhirnya dipegang penguasa. Akibatnya, semakin dekat tersangka pada pusat kekuasaan, semakin besar pula kebenaran hukum untuk terhindar dari jerat hukum.Di negeri ini beberapa pengacara kerap meniupkan seruling kemanusiaan (humanis), namun mereka menjadi pengacara hitam yang sangat loyal sekali membela para koruptor dan pelaku-pelaku praktek KKN. Kemudian sederetan beberapa pengacara berbicara tentang demokrasi, sekarang menjadi pengacara hitam yang oportunis dan arogan.
Dalam kondisi demikian, pencarian kebenaran dan keadilan dinegeri ini menjadi laksana sebuah pencarian di sebuah lorong gelap. Wajah hukum kita sarat berjuta-juta parasit, virus dan topeng-topeng. Sulit mengembalikan keasliannya. Supremasi hukum hanya kepura-puraan dan menambal borok-borok hukum dengan berbagai kepalsuan (oportunis). Akhirnya, lihatlah para pengacara hitam mencari kesenangan fana. Mereka menari-nari diatas pelangi nan jauh di langit biru, tanpa pernah ingin turun kebumi. Ironis sekali !