Ki Ageng Enis

Ayah dari Ki Ageng Pamanahan

Ki Ageng Enis adalah putra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam

Berkas:Ki Ageng Ngenis.jpg
Makam Ki Ageng Enis Sumber [1]

Dalam sejarah Pajang, Pemanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab dapat membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan.[2] Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.

Asal usul

Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).

Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang yang juga murid Ki Ageng Sela. Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.

Berkas:Ngenis-2.jpg
Makam Ki Ageng Ngenis di Laweyan, Surakarta

Kilas tentang Saudagar Laweyan

Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah.

Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).

Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.

Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.

Mitos Laweyan

Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah. Wong laweyan pada jaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo. Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini antara lain,

  1. Eksistensi komunitas dagang Laweyan di jaman Pajang, dialienasikan dalam folklor Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
  2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, beliau diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” (kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.

Kepustakaan

  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Laweyan dan Keris

Didahului oleh:
Ki Ageng Sela
Perintis Kesultanan Mataram
1478-1556
Diteruskan oleh:
Ki Ageng Pemanahan