Kiai Tunggul Wulung

Revisi sejak 25 Maret 2014 06.44 oleh Okkisafire (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox Person | name = Kyai Tunggul Wulung | image = | birth_date = | birth_place = {{negara|Indonesia}} Kediri, Indonesia | death_date = | death_...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Kyai Tunggul Wulung adalah seorang tokoh yang diceritakan dalam Babad Kediri, salah satu abdi dari Raja Jayabaya. Ia dipercaya menjadi penjaga kawah Gunung Kelud untuk mengarahkan lava Kelud agar tidak memakan banyak korban.[1]

Kyai Tunggul Wulung
LahirIndonesia Kediri, Indonesia
MeninggalIndonesia Indonesia

Babad Kediri

Menurut Babad Kediri, Raja Jayabaya yang memerintahkan kerajaan Kediri mempunyai dua abdi bernama Kyai Daha dan Kyai Daka.[1] Pada saat babat alas (lit. "membuka hutan") di pinggir sungai Kediri, banyak warga yang bergabung. Pada saat itu, yang membuka hutan adalah kakak-beradik sakti dan bijaksana Kyai Doho dan Kyai Doko. Pemerintahan Jayabaya membuat tempat tersebut berkembang pesat menjadi sebuah negeri yang diberi nama Kerajaan Doho dan ibukotanya bernama Daka, sementara istananya bernama Mamenang.

Kyai Daha dijadikan patih yang taat berganti nama menjadi Buta Locaya, sementara Kyai Daka dijadikan senopati perang dengan nama Tunggul Wulung. Saat Raja Jayabaya moksa, keduanya juga ikut moksa. Buta Locaya ditugaskan untuk menjaga Selabale (gua Selomangleng), sedangkan Tunggul Wulung diperintahkan untuk menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak banyak merusak desa sekitar, dan memakan banyak korban jiwa. Konon, nantinya Raja Jayabaya akan datang kembali, dan tugas Tunggul Wulung adalah mempersiapkan kedatangan sang raja yang telah muksa.[1][2]

Buku Goenoeng Keloed

Goenoeng Keloed' (1941) adalah buku berbahasa Jawa klasik karya R. Kartawibawa, terbitan Badan Penerbitan G Kolff & Co tahun 1941. Buku ini menceritakan sosok Kyai Tunggul Wulung tidak jauh beda seperti yang dijelaskan dalam Babad Kediri. Ia adalah orang asli Kediri dan merupakan abdi Raja Jayabaya. Dia ditugaskan untuk menjaga Gunung Kelud agar bersahabat dengan manusia dan alas di sekitarnya. Tempat kediaman Kyai Tunggu Wulung berada di lereng Kelud bagian timur laut, dekat dengan kawah. Konon daerah tersebut sangat wingit, banyak orang kerasukan dan menjumpai hal-hal gaib yang tak masuk akal.[1]

Buku ini menjelaskan bahwa Kyai Tunggul Wulung tidak mengganggu manusia, justru melindungi jika ada Marabahaya, misalnya jika tersesat. Namun, jika ia tidak berkenan pada orang yang masuk ke daerahnya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di bagian barat Kelud, kemudian muncul hujan badai, suasana jadi gelap gulita seperti malam. Orang yang mengerti akan terlebih dulu membakar kemenyan sebelum masuk ke Gunung Kelud untuk meminta izin.[1]

Buku tersebut juga dijelaskan, untuk menghindari bahaya saat Gunung Kelud meletus, orang zaman dulu menutup rapat-rapat pintu rumahnya, kemudian memanjat pohon rangon. Dengan demikian, lava, air, pasir, lumpur, dan bebatuan yang mengalir deras dari puncak Kelud tidak mengenai mereka.[1]

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b c d e f Anwar Khumaini. 20 Februari 2014. MERDEKA.COM, Peristiwa. Kisah Kyai Tunggul Wulung, si penjaga kawah Gunung Kelud.
  2. ^ Susanne Schröter. 2010. "Christianity in Indonesia: Perspectives of Power". Berlin: Lit Verlag. ISBN Istimewa:Sumber buku/978-3-643-10798-5.