Marga Raja Basa (Pesisir) adalah marga yang berada di wilayah lereng gunung Raja Basa, Lampung Selatan. Sejarah marga ini diketahui sudah terbentuk sejak era kolonial Portugis abad ke-16. Saat itu masyarakat dari pulau Jawa menggunakan istilah orang Sabrang untuk menyebut orang Lampung.

Kepala Marga

Marga Raja Basa dikepalai oleh Kepala Marga (Belanda : Marga Hoofd). Kepala Marga berdasarkan aturan adat Marga Raja Basa, seperti halnya adat istiadat di nusantara, dipilih berdasarkan garis keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki tertua dalam bahasa Lampung disebut Penyimbang Tua. Biasanya Penyimbang Tua otomatis terpilih sebagai Kepala Marga.

Pangeran Cecobaian

Menurut riwayat, dahulu pulau ini berada dibawah kekuasaan Sultan Banten. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang Meranai (Pemuda) Lampung dari Desa Damaian (Kedamaian, Bandar Lampung) datang ke gunung Sepan dan mendirikan sebuah kampung.

Sang Pemuda juga datang ke Pulau Sebesi dan Gugusan Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan memberikan pemuda tersebut gelar Pangeran Cecobaian (ejaan dalam arsip Belanda : Pangeran Tjetjobaian / Pangeran Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu Kesultanan Banten belum pernah memberikan gelar Pangeran kepada orang Sabrang (sebutan untuk orang Lampung pada masa itu). Selain gelar Pangeran tersebut, diberikan pula hak kepemilikan atas Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, dan Gugusan Krakatau kepadanya [1].

Karena keahliannya dalam menguasai berbagai bahasa, maka nama kampung tersebut dinamai kampung Khaja Basa (Raja Basa) yang berarti Raja Bahasa [2].

Pangeran Singa Brata ( ..... - 1883 )

Pangeran Singa Brata (Pangeran Singa Branta) adalah kepala marga Raja Basa berikutnya yang tercatat. Setelah Pangeran Cecobaian wafat, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi ini pada akhirnya diwariskan pada Pangeran Singa Brata, yang juga menjabat sebagai Kepala Marga Raja Basa. Pangeran Singa Brata adalah keturunan ke-18 dari Pangeran Cecobaian. Ia juga merupakan salah satu pejuang kemerdekaan daerah Lampung yang turut membantu Raden Inten II berjuang melawan Belanda [3]. Sempat terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sebesi dan Sebuku antara Pangeran Singa Brata dengan seorang penduduk Teluk Betung yang bernama Haji Abdurrachman bin Ali. Haji Abdurrachman bin Ali mengajukan permintaan tertanggal 17 Juli 1848 kepada Civiele en Militaire Gezaghebber agar diperbolehkan menanam di Pulau Sebesi dan Sebuku. Hal ini diduga dilakukan untuk melemahkan perjuangan Pangeran Singa Brata terhadap tentara Belanda. Pangeran Singa Brata pun mengajukan keberatan pada pihak pemerintah. Lalu pemerintah Hindia - Belanda melakukan penyelidikan terhadap status hukum Pulau Sebesi dan Sebuku. Dari hasil investigasi diketahui bahwa Pangeran Singa Brata adalah pemilik yang sah atas Pulau Sebesi dan Sebuku. Namun pada tahun yang sama Pangeran Singa Brata tertangkap oleh tentara Belanda dan dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Untuk mengakhiri konflik, maka hak kepemilikan Pangeran Singa Brata atas pulau ini disahkan melalui Besluit (Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia - Belanda tahun 1864. Selama masa pengasingan Pangeran Singa Brata ke Manado, pemerintahan Marga Raja Basa dan pengelolaan tanah adat ditangani oleh para famili dari Pangeran Singa Brata, antara lain Pangeran Warta Manggala I (saudara kandung), Raden Tinggi (keponakan / anak dari Pangeran Warta Manggala I), dan Dalom Mangku Minggar (tetua dalam marga Raja Basa)[4].

Tahun 1879, atau 23 tahun setelah menjalani pengasingannya, Pangeran Singa Brata dipulangkan ke Raja Basa atas permintaan 14 kepala kampung di pesisir dengan jaminan bahwa Pangeran Singa Brata tidak akan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun 4 tahun setelah kepulangannya, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1883, Krakatau meletus dengan dahsyat yang memporak-porandakan wilayah pesisir gunung Raja Basa. Pangeran Singa Brata pun ikut tewas dalam bencana ini tanpa meninggalkan keturunan[4].

Pangeran Minak Putra (1884 - 1927 )

Tahun 1884, Minak Putra (kepala kampung Rajabasa) yang juga merupakan adik mendiang Pangeran Singa Brata menjadi kepala marga pengganti mendiang Pangeran Singa Brata. Hal ini dikarenakan mendiang Pangeran Singa Brata tidak memiliki keturunan sebagai penerusnya. Maka berdasarkan aturan dan tata cara adat, Minak Putra diangkat menjadi Pangeran dan meneruskan tahta sebagai kepala Marga (penyimbang tua) Raja Basa dan mewarisi hak atas kepemilikan P. Sebesi, P. Sebuku, dan Gugusan Krakatau. Peristiwa pengangkatan dan peralihan hak atas kepulauan ini juga disetujui oleh Sultan Banten Maulana Mohammad Shafiuddin (yang saat itu sedang menjalani masa pembuangannya di Surabaya) dan Pemerintah Hindia Belanda, dengan syarat pendirian marga tidak boleh lagi memakai nama Raja Basa. Maka Pangeran Minak Putra pun memilih menggunakan nama Marga Pesisir. Kemudian hal ini dikuatkan oleh Staatsblad tahun 1885 ketika Pangeran Minak Putra menyewakan P. Sebuku kepada Mr. Barzal.

Tahun 1888 Pangeran Minak Putra selaku kepala kampung Raja Basa bersama Haji Djamaludin (kepala kampung Kalianda) dan Hadji Mohamad Said (penduduk kampung Kalianda) dipanggil oleh Pemerintah Banten di Anyer untuk menerima penghargaan masing-masing berupa bintang Perak untuk Pangeran Minak Putra dan Hadji Mohamad Said, serta bintang Emas untuk Haji Djamaludin. Penghargaan ini didapat setelah mereka berhasil menumpas perompak.

Tahun 1896 Pangeran Minak Putra menjual Pulau Sebesi dan Sebuku kepada Haji Djamaludin.[5] Lalu pada tahun 1913 gugusan Krakatau dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Pangeran Minak Putra seharga f. 10.000 untuk ditetapkan sebagai kawasan cagar alam berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.83 Stbl 392 tanggal 11 Juli 1919 Jo.No.7 Stbl 392 tanggal 5 Januari 1925 dengan luas 2.405,10 ha.[2] [6]

Pangeran Warta Manggala II ( 1927 - 1938 )

Pangeran Warta Manggala II menjabat sebagai kepala marga Pesisir/Rajabasa (Pesirah van Pesisir) mulai tahun 1927. Di masa Pangeran Warta Manggala II inilah marga Pesisir dikenal luas tak hanya di wilayah nusantara, namun juga hingga negeri Belanda. Cukup banyak catatan yang menceritakan eksistensi Pangeran Warta Manggala II yang masih terdapat di arsip KITLV Belanda. Masa pemerintahan marga oleh Pangeran Warta Manggala II dikukuhkan oleh Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten tertanggal 24 Juli 1928.

Berbagai koran berbahasa Belanda yang terbit di nusantara maupun negeri Belanda juga mencatat peristiwa-peristiwa gugatan hukum yang diajukan oleh Pangeran Warta Manggala II.

Catatan Kaki :

  • Nama Warta Manggala berasal dari nama gelar yang disandang oleh ayah dari Pangeran Minak Putra, yaitu Pangeran Warta Manggala I. Namun pada zaman kolonial, para pencatat biasanya menulis nama Manggala dengan ejaan Menggala (mengacu pada penulisan nama salah satu Residen di Lampung). Kekeliruan penulisan itu mengakibatkan kesalahan tafsir terhadap silsilah keluarga besar Manggala. Ada beberapa pihak yang mengait-ngaitkan bahwa keluarga Manggala berasal dari Menggala. Padahal nama Manggala berasal dari bahasa sansekerta yang berarti Orang Yang Sakti Mandraguna. Gelar ini berkaitan dengan nama Raja Basa yang berarti orang yang serba bisa (dalam hal bahasa).

Pangeran Marzuki Manggala ( 1938 - 1981 )

Sepeninggalan Pangeran Warta Manggala II, maka posisi sebagai kepala marga Pesisir digantikan oleh Pangeran Marzuki Manggala. Hal ini dikuatkan oleh surat keputusan resmi pemerintah saat itu [7] [8] [9]

Di masa ini kedudukan pasirah atau kepala marga dalam pemerintahan secara resmi dihapuskan oleh pemerintah Jepang dan digantikan oleh Camat. Sejak saat itu juga kedudukan kepala marga hanya berkisar dalam lingkungan adat - istiadat / keluarga.

Pangeran Warta Manggala III ( 1981 - 2012 )

Pangeran Warta Manggala III menjabat sebagai kepala marga Pesisir mulai tahun 1981 hingga ia wafat pada tahun 2012.

.

Klaim

Diluar keturunan Minak Putra, ada 2 kelompok keluarga yang mengklaim sebagai keturunan yang sah dari mendiang Pangeran Singa Brata. Namun setelah dilakukan uji materiil di pengadilan, kedua pihak tersebut tidak terbukti sebagai keturunan Singa Brata.

Referensi

  1. ^ Helfrich, O.L. : "Adatrechtbundels XXXII : Zuid-Sumatra", hlm. 233-241. 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1930.
  2. ^ a b Perbatasari, RG : "Bandakh Marga Raja Basa". Pesisir Kalianda Lampung Selatan, 2012.
  3. ^ Weitzel, A.W.P : "Schetsen uit het oorlogsleven in Nederlandsch Indië: de Lampongs in 1856". J. Noorduijn, 1863.
  4. ^ a b Nederlands-Indië. 1864. Besluiten van den Gouvernement 6 April 1864. Staatblad No. 54. 1864
  5. ^ Proatin Kalianda, Putusan No. 25. Tertanggal 5 Juli 1906.
  6. ^ Besluiten van den Gouvernement Nederlands-Indië No. 83, Staatblad No.. 392 tanggal 11 Juli 1919, jo. No. 7 Staatblad No. 392 tanggal 5 Januari 1925.
  7. ^ Nederlands-Indië. 1938. Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten No. 200, 2 April 1938.
  8. ^ Nederlands-Indië. 1941. Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten, J. van Bodegom. 11 Oktober 1941.
  9. ^ Nederlands-Indië. 1942. Keputusan Taicho Dono daerah Lampoeng No. 42/M, K. Yonezawa. 13 Sjitsi-Gats 2602 (1942 M), Tandjoeng Karang.

Daftar Pustaka

  • Pernamasari, Rieke. 2006. "Adu Besi Di Pulau Sebesi", Teknokra : Pulau Inji Benyak, No. 208, hlm. 24 - 42. Juli - September. Lampung, Universitas Lampung.

Pranala Luar