Hamim Tohari Djazuli

ulama
Revisi sejak 6 April 2014 04.04 oleh BP79Pandu (bicara | kontrib) (+kategori)

Hamim Tohari Djazuli, akrab dipanggil Gus Miek (lahir di Kediri, Jawa Timur 17 Agustus 1940 - meningggal di Surabaya, 5 Juni 1993 pada umur 52 tahun[1] adalah pendiri amalan dzikir Jama'ah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan sema'an (mendengarkan) al-Qur'an Jantiko Mantab.[2] Ia adalah putra dari K.H. Jazuli Utsman, pengasuh Pondok Pesantren Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur.[3] Ia terkenal sebagai seorang wali (kekasih Allah) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar Pesantren untuk berdakwah.[4][5]

Berkas:K.H. Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek).jpg
K.H. Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek)

Biografi

Masa Kecil

Gus Miek adalah putra ketiga dari enam bersaudara dari pasangan K.H Djazuli Utsman dan Nyai Rodhiyah.[2][3] Amiek (panggilan masa kecil Gus Miek) lahir dan besar di Kediri.[2] Ia tinggal di lingkungan bekas kantor penghulu yang telah ditebus orang tuanya dengan biaya 71 golden.[2] Gus Miek kecil adalah sosok yang pendiam dan suka menyendiri, berbeda dengan saudara-saudaranya dan teman sebayanya yang lebih senang dekat ibunya atau kepada para santri.[2] Hal ini dapat dilihat bila seluruh keluarga berkumpul, ia selalu mengambil tempat yang paling jauh.[2] Ketika kecil ia juga terkenal memiki suara yang merdu dan fasih pada saat membaca al-Qur'an.[2]

Pendidikan

Pendidikan awal ia tempuh dengan masuk di Sekolah Rakyat (SR), namun tidak sampai selesai karena sering membolos.[6] Dalam pendidikan belajar membaca al-Qur'an, Gus Miek dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian ia diserahkan kepada Ustadz Hamzah.[2] Sedangkan dalam pendidikan belajar kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar langsung oleh ayahnya.[2]. Pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah K.H. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk memintanya belajar di Pondok Pesantren asuhan K.H. Mahrus Ali tersebut.[2] Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.[6] Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah karena ia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, ia membuktikan kepada orang tuannya dengan cara menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di Pondok Pesntren Ploso.[2] Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab kepada para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar), Fatkhul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh), Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf).[2]

Referensi

  1. ^ Biografi Gus Miek (KH. Hamim Tohari Djazuli). Diakses 6 April 2014
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Muhammad Nurul Ibad (2001). Perjalanan dan Ajaran Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-32-1.  Halaman 111-133.
  3. ^ a b www.tokohtokoh.com: KH. Hamim Djazuli. Diakses 6 April 2014.
  4. ^ Muhammad Nurul Ibad (2010). Dhawuh Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-30-5.  Halaman vii.
  5. ^ Muhammad Nurul Ibad (2012). Suluk Jalan Terabas Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-31-3.  Halaman vii.
  6. ^ a b www.nu.or.id: Gus Miek, dari Khataman ke Tempat Perjudian. Diakses 6 April 2014