Abdul Halim dari Majalengka

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 11 April 2014 16.23 oleh BP79Pandu (bicara | kontrib) (+isi)

Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir 26 Juni 1887, di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat - meninggal 7 Mei 1962, di Majalengka pada umur 75 tahun) adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antarulama tradisional dan pembaharu.[1]

Berkas:K.H. Abdul Halim.jpg
K.H. Abdul Halim
Untuk mantan Perdana Menteri Indonesia dengan nama yang sama, lihat: Abdul Halim.

Kehidupan awal dan pendidikan

Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Abdul Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.[1] Ayahnya meninggal ketika Kiai Abdul Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya.[1] Sejak kecil Kiai Abdul Halim tergolong anak yang gemar belajar.[1] Terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan.[1] Ketika berumur 10 tahun Kiai Abdul Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri.[1] K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka.[1] Sebagai penggemar ilmu, Abdul Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak.[1] Hal itu terlihat ketika Kiai Abdul Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.[1]

Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Abdul Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat.[1] Di antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Abdul Halim adalah :[1]

Pada umur 21 tahun, Kiai Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri Kiai Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka).[1] Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.[1] Setelah pernikahannya tersebut Kiai Abdul Halim tidak lantas berhenti belajar.[1] Ia memutuskan untuk pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.[1] Di Mekah, Kiai Abdul Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram.[1] Selama menuntut ilmu di Mekah, Kiai Abdul Hakim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasyim Asy’ari meninggal pada tahun 1947.[1] Kedekatan Abdul Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuat Kiai Abdul Halim terkenal sebagai ulama yang amat toleran.[1]


Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r H.M. Bibit Suprapto (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia. ISBN 979-98066-1114-5.  Halaman 20-25.