Antonie Aris van de Loosdrecht

misionaris Belanda

Antonie Aris van de Loosdrecht (lahir di Veenendal, Belanda, 21 Maret 1885 - meninggal di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, 26 Juli 1917 pada umur 32 tahun) adalah seorang tenaga pekabar Injil atau Zendeling pertama yang tiba di Tana Toraja.[1] Antonie Aris van de Loosdrecht bekerja sebagai pekabar Injil di Tana Toraja atas utusan Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd, sebuah badan pekabaran Injil yang didirikan di kota Utrecht, Belanda, pada tanggal 6 Februari 1901.[1] Antonie Aris van de Loosdrecht muda mengajukan diri sebagai tenaga pekabar Injil yang siap melakukan pekabaran Injil ke Tana Toraja setelah membaca majalah Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd Alle den Volcke.[1] Majalah Alle den Volcke memuat berbagai informasi mengenai Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd salah satunya mengenai perkembangan pekerjaan di lapangan.[1] Majalah Alle den Volcke yang dibaca Antonie Aris van de Loosdrecht juga memuat informasi bahwa Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd sedang mencari tenaga pekabar Injil atau Zendeling.[1]

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Antonie Aris van de Loosdrecht lahir pada tanggal 21 Maret 1885 di kota kecil Veenendal, Belanda sebuah kota yang saat itu terkenal sebagai tempat penenunan wool dan pabrik rokok.[2] Nama belakang yang disandangnya, "Van de Loosdrecht", sebenarnya bukan berasal dari nama ayah kandungnya.[2] Nama belakang yang disandangnya mengikuti nama belakang seorang pekerja di pabrik wool yang menikahi ibunya karena merasa kasihan terhadap ibu Antonie Aris van de Loosdrecht yang dipanggil gereja di Veenendall untuk menjelaskan kehamilannya yang adalah kehamilan di luar pernikahan.[2]

Antonie Aris van de Loosdrecht pernah kuliah di Fakultas Teologi Universitas Heidelberg, dan untuk itulah Antonie Aris van de Loosdrecht dan istrinya menyempatkan diri untuk mengunjungi Heidelberg dalam perjalanan dari Belanda ke Genoa, Italia meskipun sebenarnya berada di luar jalur mereka.[2] Antonie Aris van de Loosdrecht juga menyelesaikan studinya di Sekolah Zending Rotterdam.[2]

Antonie Aris van de Loosdrecht menikahi Alida Petronella Sizoo atau yang kemudian dikenal sebagai Ida van de Loosdrecht pada tanggal 7 Agustus 1913.[2] Mereka bertemu dalam sebuah kuliah umum yang diberikan oleh seorang lulusan Sekolah Zending di Rotterdam.[2]

Pekerjaan di Tana Toraja

Antonie Aris van de Loosdrecht berangkat dari Belanda pada tanggal 5 September 1913.[1] Antonie Aris Van de Loosdrecht bersama dengan istrinya, Ida van de Loosdrecht, tiba di Hindia Belanda, tepatnya di Batavia pada tanggal 4 Oktober.[3] Di Batavia, Antonie Aris Van de Loosdrecht bertemu dengan Dr. N. Adriani dan konsulat Zending untuk mendapatkan penjelasan sebagai bekal menuju Tana Toraja.[4] [1] Manembu sekaligus menjadi rekan kerja pertamanya.[4] Setelah itu Antonie Aris Van de Loosdrecht dan istrinya melanjutkan perjalanan ke Makassar.[1] Di Makassar, Antonie Aris Van de Loosdrecht bertemu dengan seorang guru bernama Manembu yang bersedia menemaninya dalam perjalanan ke Tana Toraja.[1] Mereka bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Palopo lalu selanjutnya menuju Rantepao.[1] Mereka menginjakkan kaki di Rantepao untuk pertama kalinya pada tanggal 10 Nopember 1913.[1] Setibanya di Tana Toraja, Antonie Aris Van de Loosdrecht langsung bekerja.[1] Pertama-tama Antonie Aris Van de Loosdrecht bersama rekannya menemui para pemuka masyarakat untuk merundingkan berbagai rencana Antonie Aris Van de Loosdrecht, seperti pembukaan sekolah-sekolah Zending.[1] Sekolah Zending tertua yang berhasil didirikan oleh Antonie Aris Van de Loosdrecht adalah sekolah di Balusu, dengan jumlah murid tujuh puluh delapan anak.[3] Sekolah Zending kedua dibangun di Nanggala dengan jumlah murid delapan puluh anak.[3] Tiga bulan kemudian didirikan sekolah Zending di Sa’dan dengan jumlah murid tujuh puluh tujuh anak.[3] Permintaan untuk mendirikan sekolah semakin meningkat, informasi mengenai hal ini didukung sejumlah fakta, seperti surat yang dikirimkan oleh istri Antonie Aris van de Loosdrecht, Ida van de Loosdrecht kepada isteri A. C. Kruyt, J. Moulijn.[5] Surat yang tertanggal 25 Mei 1914 tersebut berisi kesan-kesan pertama Ida van de Loosdrecht mengenai Tana Toraja.[5] Dalam surat tersebut ia juga bercerita bahwa suaminya bepergian ke berbagai tempat di Tana Toraja, bahkan hingga berhari-hari oleh karena banyaknya permintaan untuk membangun sekolah.[5] Oleh karena itu Ida van de Loosdrecht berharap agar Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd mengirimkan lebih banyak lagi Zendeling atau pekabar Injil ke Tana Toraja.[5]


Di Poso

Di tengah keberhasilan pembangunan sekolah, Antonie segera menghadapi masalah utamanya: persoalan bahasa dan tidak adanya literatur untuk mendukung proses belajar mengajar serta tidak adanya guru.[1] [4] Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, pada bulan Desember 1913 Antonie berangkat bersama istri dan tiga orang pemuda Toraja menuju Poso untuk belajar bahasa Toraja dari ahli bahasa N. Adriani.[1] Di Poso, terciptalah sebuah buku yang akan dipakai sebagai bahan bacaan para murid.[4] [1] Judul buku tersebut adalah “Iate Soera’ dinii melada’ mbasa soera’”, sebuah buku yang dirintis oleh Antonie Aris van de Loosdrecht dan N. Adriani dalam bahasa Toraja.[4] Setelah itu menyusul buku lain juga dalam bahasa Toraja yang berjudul “Boenga’ lalan, Soera’ Pembasan”, yang juga disusun oleh Antonie Aris van de Loosdrecht.[4]

Kembali ke Tana Toraja

Pada tanggal 9 Mei 1914 mereka kembali ke Toraja, ikut bersama dengan mereka dua orang guru, Runtuwene dan Abraham.[1] Setelah itu Antonie Aris van de Loosdrecht menghadapi masa-masa yang sulit, karena kurangnya minat orang Toraja terhadap ajaran Kekristenan yang dengan giat diperkenalkan oleh Antonie.[1] Namun demikian, Antonie tetap bersemangat masuk keluar kampung untuk memberitakan Injil.[1] Pada tahun 1914, ada 900 orang Toraja yang telah tercatat sebagai murid di sekolah-sekolah Zending yang didirikan oleh Antonie Aris van de Loosdrecht.[1] Oleh karena pentingnya bahasa sebagai metode penginjilan, Antonie Aris van de Loosdrecht mengusulkan kepada Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd agar segera dikirimkan ahli bahasa ke Toraja.[4] Ia mengusulkan sendiri nama seorang ahli bahasa yang sudah menyelesaikan promosinya di Belanda, Hendrik van der Veen.[4] Pada bulan Mei 1997, tepatnya pada hari Pentakosta, Antonie Aris van de Loosdrecht membaptis dua puluh sembilan orang, sebelas diantaranya adalah orang dewasa.[5] Baptisan tersebut dilakukan di rumah Antonie.[5] Antonie terlebih dahulu membacakan Firman Allah, lalu kemudian membaptis satu persatu keduapuluhsembilan orang tersebut.[5] Setelah itu Antonie membacakan formulir baptisan kepada orang-orang dewasa, lalu mereka menjawab sesuai pertanyaan.[5] Formulir yang dipakai Antonie kemungkinan formulir berbahasa Melayu, yang dapat dilihat dalam Mazmoer dan Tahlil, karangan C. Ch. J Schroder, sebuah formulir yang disadur dari Bahasa Belanda.[5]

Surat-surat Antonie Aris Van de Loosdrecht

Pada bulan Januari 1914, Antonie Aris Van de Loosdrecht menulis surat kepada para Pengurus Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd.[5] Surat tersebut dimuat dalam majalah Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd, Alle den Volcke, tahun 1914 [5] Melalui surat tersebut, Antonie Aris Van de Loosdrecht menulis pandangannya mengenai hubungan antara Pemerintah dan Zending atau badan pekabaran Injil.[5] Ia memulai tulisannya dengan menceritakan agama suku yang dianut oleh masyarakat di Tana Toraja. [5] Ia berpendapat bahwa agama suku tersebut berusaha untuk dibasmi oleh pemerintah sampai ke akar-akarnya, termasuk ritual-ritualnya.[5] Dalam banyak hal, pemerintah hadir hanya memberi instruksi dan tidak membuka ruang diskusi dengan para leluhur orang Toraja.[5] Bahkan dalam beberapa kasus, diadakan pengadilan bagi beberapa orang yang dianggap penyihir.[5] Selain itu, pemerintah juga menggagas penghapusan sistem budak, yang dalam masyarakat Toraja merupakan bagian dari sistem kehidupan mereka.[5] Antonie Aris Van de Loosdrecht mengkritik tindakan-tindakan pemerintah karena dianggap sebagai tindakan yang instan.[5] Antonie Aris Van de Loosdrecht saat itu lebih memilih untuk melakukan usaha pekabaran Injil melalui sekolah-sekolah yang didirikannya.[5] Surat Antonie van de Loosdrecht yang lain, yang juga dimuat dalam majalah Alle den Volcke menceritakan tentang metode pekabaran Injil yang ia gunakan.[5] Pertama-tama ia mengajak para ketua adat Toraja berbincang-bincang dengan suasana santai sambil mengisap rokok.[5] Percakapan dimulai dari keadaan sehari-hari penduduk hingga Antonie van de Loosdrecht menyelipkan sedikit demi sedikit kisah-kisah yang ada di Alkitab, seperti kisah Adam dan Hawa di Taman Eden.[5] Melalui cerita-cerita tersebut, Antonie Van de Loosdrecht menegaskan bahwa pada dasarnya nenek moyang semua orang sama, dan oleh karena itu semua orang harus menyembah Allah yang sama.[5] Cerita-cerita tersebut kemudian menarik perhatian orang-orang Toraja.[5] Pada periode selanjutnya, Anotnie van de Loosdrecht juga melancarkan kegiatannya dengan menjadikan pasar sebagai salah satu sasaran pekabaran Injil.[5] Suku Toraja saat itu menghadiri pasar tradisional pada hari-hari tertentu dan jumlah orang yang hadir mencapai ribuan.[5] Untuk menarik perhatian mereka, Antonie van de Loosdrecht mengerahkan murid-murid yang belajar di sekolah Zending.[5] Setelah selesai sekolah, murid-murid tersebut diajak ke pasar, mereka diatur menjadi dua barisan lalu berjalan ke pasar sambil bernyanyi.[5] Pada masa itu, orang Toraja juga memiliki kebiasaan adu kerbau, sehingga ribuan orang yang hadir dalam pasar itu memusatkan perhatiannya pada adu kerbau tersebut.[5] Untuk menanggulangi hal ini, Anotnie van de Loosdrecht sekali lagi memanfaatkan muri-muridnya untuk mencari perhatian.[5] Para murid diatur sedemikian rupa dalam berbagai permainan yang dapat menjadi hiburan bagi orang-orang dewasa.[5] Setelah permainan tersebut selesai, Antonie van de Loosdrecht mulai mengajak orang-orang yang menonton untuk mendekat padanya.[5] Pada awal usaha ini, Antonie van de Loosdrecht berhasil mengumpulkan sekitar lima ratus orang untuk mendengarkan khotbahnya dan kebanyakan di antara mereka adalah para perempuan.[5]

Akhir Hidup

Pada tanggal 26 Juli 1917, Antonie Aris van de Loosdrecht sedang berada di rumah salah seorang guru di Bori' ketika tiba-tiba sekelompok orang tiba-tiba muncul di depan rumah dan menombak dirinya.[1] Dalam kelompok tersebut salah satu yang ikut adalah ne’Malandong.[2] Antonie Aris van de Loosdrecht sempat berdoa namun hanya sebentar saja lalu ia meninggal di tempat.[1] Pada hari Sabtu, 28 Juli 1917, iring-iringan duka yang besar terlihat di Rantepao, mengantarkan jenazah Antonie Aris van de Loosdrecht untuk dikuburkan.[3] Antonie Aris van de Loosdrecht meninggalkan istrinya, Ida van de Loosdrecht dan kedua anak mereka yang masih kecil, serta satu orang anak yang masih dalam kandungan.[3]

Kontribusi

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v J. A. Sarira. 1975. Benih yang Tumbuh 6 - Gereja Toraja. Jakarta: LPS DGI dan BPS Gereja Toraja. Hal. 18-23.
  2. ^ a b c d e f g h Anthonia A. van de Loodrecht. 2005. Dari Benih Terkecil, Tumbuh Menjadi Pohon. Jakarta: BPS Gereja Toraja.
  3. ^ a b c d e f W. Bieshaar. 1926. 1901-1925 De Gereformeerde zendingsbond na 25-jaren. Den Haag: Gedrukt ter drukkerij van s. s korthuis. Hal. 117-131.
  4. ^ a b c d e f g h Yesaya Todingbua' Manampa'. 1983. Injil dan Kebudayaan.Jakarta.hal.173-178
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag Th. van den End. 1994. Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja Toraja 1901-1961. Jakarta: BPK Gunung Mulia.