Sinisme
Sinisisme atau Sinisme(bahasa Yunani: κυνισμός) dalam bentuk aslinya adalah paham yang dianut oleh mazhab Sinis (bahasa Yunani: Κυνικοί, bahasa Latin: Cynic), mazhab filsafat Yunani yang tidak mempunyai cita-cita dan selalu menganggap orang lain lebih buruk; karena itu ia cynic atau sinis.[2][3] Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang.[4] Maka kaum Sinis menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kepamoran.[4] [5]
Sebagai aliran filsafat, Sinisme terutama adalah bagaimana para penganutnya hidup dan berperilaku (bahkan Diogenes Laertuius, yang menghadirkan Sinisme sebagai filsafat, menunjukkan perdebatan apakah Sinisme adalah filsafat atau jalan hidup). Aliran ini tidak pernah menjadi mazhab filsafat formal; juga, tidak pernah mempunyai, dan tidak pernah dapat memiliki, bangunan sekolah filsafat secara fisik; demikian juga tidak akan pernah memiliki doktrin filsafat.[2] Tetapi para filsuf saat itu meyakini bahwa Sinisme memuat semacam proyek filsafat, Plato menjulukinya aliran ini sebagai "Socrates yang gila".[2]
Kata-kata seperti sinis, sinisme, mempunyai konotasi negatif (peioratif) terhadap kemurungan, pesimisme, keraguan, peremehan; penghinaan terhadp pendapat orang lain; tidak yakin akan hal-hal ideal dan kemanusiaan.[6] Sinisme juga dianggap sebagai suatu keyakinan bahwa manusia melulu terpusat pada diri sendiri, munafik, tidak tulus, dan hanya baik kepada diri sendiri.[6]
Sejarah dan Tokoh Mazhab Sinisme
Aliran filsafat Sinis pertama kali didirikan oleh Antisthenes hidup pada 445-365 SM, yang merupakan salah seorang pengikut setia Socrates.[3] [2] Antisthenes dalam bahasa dan logika secara empatis tidak berifat sinis; dan asosiasi langsung antara Diogenes dan Anthistenes secara kronologis agak problematik.[2]
Tokoh sinis yang juga terkenal adalah Diogenes dari Sinope, yang tinggal di dalam sebuah tong.[4][2], yang menurut catatan hidup Cicero (Cic. Tusc. V.92)[6] Diogenes diperkirakan lahir dan mati kira-kira 412/403-324-321 SM, berasal dari Laut Hitam.[2] Ayahnya bernama Herecias, bertugas di tempat pembuatan uang; ia diasingkan; dan dia menghabiskan sisa hidupnya di Athena dan Korintus.[2]
Hubungan antara Antithesnes dan Diogenes tidak terlalu jelas, berdasarkan rekonstruksi yang banyak diyakini sejarawan, Diogenes dan ayahnya dituduh merusak mata uang yang menyebabkan Diogenes diasingkan, dan peristiwa itu terjadi setelah kematian Antisthesnes. Pembuangan itu menjadi katalis perubahan hidupnya yang paling dramatis. Anggapan ini menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara keduanya.[2] Sejarah yang agaknya paling layak dipercaya adalah pertemuannya dengan Alexander Agung.[2]
Suatu hari Diogenes sedang berjemur ketika Alexander Agung, kerena ingin melihat filosof besar ini, mendekatinya dan bertanya apakah ada sesuatu yang dapat ia lakukan untuknya, Diogenes menjawab, "Menyingkirlah dari cahayaku!", karena Alexander menghalangi sinar matahari.[2]
Kehidupan Diogenes memang sangat mengherankan, ia hidup dalam belanga anggur yang sering disebut bak mandi, makan dari dan minum sangat sederhana, minun dari air dingin pegunungan, tidak minum anggur, tidak makan sayur kacang-kacangan, tidak memakai sepatu, hanya memakai dua lapis baju saat musim dingin tanpa jubah.[2] Barang-barang miliknya ia dapatkan dari hasil mencuri, bercocok tanam dan mengemis.[2] Ia menunjukkan semua aktivitas di depan publik: makan, minum, kencing, berak, masturbasi, dan hubungan seksual, khususnya di agora, tempat sakral di luar batas aktivitas keduniawian. Intinya, ia dijuluki doggish karena kelakuannya yang tidak tahu malu.[2]
Diogenesis memiliki seorang penerus bernama Crates.[3] Crates berasal dari Boeoti, dari Thebes, yang menolak kemakmurannya, dan bergabung dalam aliran Sinis.[3] Dia tampak lebih bergembira dari pada Diogenes; menurut beberapa laporan, setiap rumah di Athena terbuka untuknya, dia bahkan dijuluki pembantu rumah tuhan.[3] Yang mengherankan, Crates menjalani hidup dengan menikah, yaitu dengan Hipparchia, yang seolah bertentangan dengan prinsip anti-kemapanan Sinisme Diogenesis, ia bahkan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja menenun.[3] Persamaannya dengan Diogenesis adalah bahwa keduanya juga menekankan hidup bahagia dalam kecukupan diri, dan semua itu membutuhkan praktik asketisme.[3] Dia berpendapat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat berbahagia jika kebahagiaan diukur dari keseimbangan antara kesenangan dan penderitaan, jika kita memulai tahap-tahap hidup kita dari sana, kita hanya akan merasa menderita ketimbang bahagia.[3]
Bukti Mazhab Sinisme
Menurut John Moles, tidak ada bukti teks-teks Sinisme yang selamat, kecuali pada tulisan-tulisan tokoh-tokoh filsafat lainnya, yang terbanyak ditulis para tokoh Stoa, Epikuros, dan dari pidato Kaisar Romawi Julian (4 M), dan sejumlah kiasan Kristen tentang Sinisme, serta tradisi Satirik.[2] Tokoh Diogenesis oleh beberapa tokoh, misalnya Epictetus menghilangkan bagian yang tak senonoh dari mazhab Sinis.[2]
Gagasan Mazhab Sinisme
Gagasan utama adalah bahwa Sinisme memiliki tujuan hidup kebaikan dan kebijaksanaan. Sinisme adalah jalan hidup yang membuat klaim filsafat (tidak memisahkan filsafat dan jalan hidup).[2] Klaim filsafat didasarkan pada kriteria yang diterima secara praktis oleh semua filsafat Kuno, yaitu hidu sesuai dengan [alam]].[2] Diogenes memberikan tafsir "primitiv kaku" karena ia tetap memilih binatang, manusia primitif, kaum barbar yang tidak beradab (yang belum terkontaminasi oleh peradaban) dan dewa-dewa sebagai standar moral, ia mewakili jalan hidup Sinisme di abad Emas.[2]
Aku tidak membutuhkan harta materi (atau apa saja)," ia tidak mengatakan, "aku tidak membutuhkannya tetapi aku berhak memilikinya," atau, ia tidak mengatakan, "aku tidak membutuhkannya namun engkat berhak memilikinya (karena engkau memiliki perspektif berbeda yang sah)" Ia mengatakan, "barang-barang ini buruk dan mencegah pencapaian kebaikan."
Sinisme mengklaim "kemandirian", "kebebasan", "dan hidup tanpa nafsu", dan menggambarkan cara hidupnya sebagai sederhana karena bersifat alami dalam pengertiannya yang paling ekstrim, "mudah" karena sepenuhnya anti-intelektual, "sulit" karena tuntutan fisiknya banyak.[2] Oleh karenanya bangsa Sparta yang hebat itu menghormati Diogenes. Sinisme sebagai ejekan tampak pada ajaran yang tidak menyukai kalangan elit dan mapan, menganggap para pemikir sebagai sia-sia, jika tanpa praktik.[2] Pola hidup aneh yang dipraktikan Diogenes diyakini tersusun dari beragam elemen, dan sebagian besar memboikot gaya hidup konvensional, mengikuti tradisi, pengikut ajaran konstitusi dan masyarakat ideal.[2] Sinisme merupakan tradisi bijak yang menjanjikan kebahagiaan atau penyelamatan; dan berbagai tradisi humor (praktek melawak dan humor verbal); Komedi Tua yang terus terang kasar; kejenakaannya serio-cosmic Socrates.[2]
Sinisme dan Politik
Jelas bahwa Sinisme hidup anti politik, dalam arti tidak ingin terlibat dalam urusan sistem pemerintahan, mereka melawan norma, standar sosial, kebiasaan, tradisi, aturan, hukum, dan pendidikan formal. Kesepakatan, kebiasaan, dan milik masyarakat diabaikan atau dipandang rendah.[6] Alhasil, para penganut aliran ini memprovokasi oposisi baik dalam masyarakat Yunani maupun Romawi. Pada umumnya kaum Sinis adlaah orang-orang asketis, anti-intelektua, non-akademis, non-sistematism dan individualistis.[6]
Sinisme Diogenes menyerang monarki dan tirani dengan sangat keras.[2] Mazhab ini meluapkan ketidakpuasan mereka terhadap hukum-hukum negara yang tak kunjung memberi rasa aman dan kebebasan bagi masyarakatnya. Klaim Diogenesis tentang hidup berpolitik tampak dalam karya Diogenesis Laertius tentang sentimen kosmopolitan.[2] Di sana, ia menyatakan, "tanyalah dari mana dia, ia berkata: "Aku adalah warga alam semesta.[2] Berikut kutipan-kutipan yang mencerminkan pandangan politik Sinisme[2],
- Ia berkata bahwa segala hal milik orang bijak,.... "Segala sesuatu milik dewa; Dewa adalah sahabat orang bijak; Milik para sahabat dipakai bersama; Karena segala sesuatu milik orang bijak."[2]
- Sehubungan dengan hukum (nomos), ia berpandangan bahwa di sana tidak mungkin ada pemerintahan politik (politeusthai) tanpa hukum, karena itu ia berkata, "Tanpa kota tidak ada manfaat dalam sesuatu yang dijadikan beradab; Dan kota adalah beradab; Tanpa hukum tidak ada manfaat dalam sebuah kota; Karena itu hukum adalah sesuatu yang beradab.[2]
- Ia akan mengejek kelahiran yang baik dan reputasi dan semua jenis hal-hal semacam itu, dengan mengatakan bahwa semuanya adalah ornamen dari perbuatan jahat (prokosmemata kakias).[2]
- Dia dia berkata bahwa satu-satunya negara-kota (polis) yang benar adalah hanya satu di dalam semesta (kosmos)
- Bahwa wanita sebaiknya dimiliki bersama, mengakui tidak ada perkawinan, tetapi ia mengatakan bahwa laki-laki yang mengajak harus pergi dengan wanita yang mengajak.[2] Dan karena ini ia berpendapat bahwa anak-anak juga harus dimiliki bersama.[2]
Salah satu pandangan Crates yang sinis mengejek kondisi kota-negara kala itu dituangkan dalam sebuah puisi “Pera”, sebuah puisi Homerik yang menampilkan daya tarik spoudaiogeoion (spoidaion: serius dan geloion: lucu) Cynic menuturkan,[2]:
Ada sebuah kota, Knapsach, di tengah-tengah lautan ilusi
Adil dan makmur, dikelilingi oleh lumpur, tidak memiliki apa-apa
Di dalamnya tak ada parasit bodoh
Pun tak ada si rakus yang senang dalam pantat pelacur
Tetapi kota ini menghasilkan tanaman pengharum makanan, bawang, ara, dan roti
Karena itu mereka tidak saling berkelahi satu sama lain demi barang-barang ini
Pun tak mengangkat senjata demi uang, atau demi kejayaan…
Bebas dari perbudakan dan penyiksaan
Mereka mencintai persahabatan abadi dan kebebasan
Catatan kaki
- ^ Christopher H. Hallett, (2005), The Roman Nude: Heroic Portrait Statuary 200 BC–AD 300, page 294. Oxford University Press
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag Christoper Rowe, Malcolm Schofield, Simon Harrison, and Melissa Lane., Sejarah Pemikiran Politik Yunani Romawi, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Hal. 490-512 Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Rowe et al" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c d e f g h (Inggris) Robert Audi., The Cambridge Dictionary of Philosophy, Edinburg: Cambridge University Press, 1995, Hal. 174-175
- ^ a b c Cynics – The Internet Encyclopedia of Philosophy
- ^ David Mazella, (2007), The Making of Modern Cynicism, University of Virginia Press. ISBN 0-8139-2615-7
- ^ a b c d e (Indonesia)Lorens Bagus., Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, Hal. 1012
Pranala luar
- Cynicism di In Our Time di BBC. (listen now)
- Cynics, from The Dictionary of the History of Ideas
- Was Jesus a philosophical Cynic?, article by Bruce W. Griffin.
- Cynic School of Philosophy in the 1913 Catholic Encyclopedia..
- Cynics, article by Giannis Stamatellos