Imperialisme budaya
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP41Hillun (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 1 Mei), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Halaman ini terakhir disunting oleh Lylla08 (Kontrib • Log) 3907 hari 993 menit lalu. |
Imperialisme budaya merupakan hegemoni ekonomi, teknologi dan budaya dari negara-negara industri yang akhirnya menentukan arah kemajuan ekonomi dan sosial serta mendefinisikan nilai-nilai budaya di dunia [1]. Dunia menjadi pasar budaya dimana terdapat kesamaan pengetahuan, mode dan musik yang diproduksi, dibeli dan dijual [1]. Selain itu, terdapat kesamaan ideologi, keyakinan politik, pandangan mengenai kecantikan dan makanan di dunia [1]. Teori yang dikemukakan oleh Herb Schiller ini menyatakan bahwa negara-negara Barat mendominasi media di dunia yang kembali memiliki efek powerful pada budaya Dunia Ketiga dengan cara memaksa mereka dengan pandangan-pandangan Barat dan akhirnya menghancurkan budaya asli mereka [2].
Latar Belakang
Negara Barat memproduksi mayoritas dari media, seperti film, berita dan komik [2]. Hal itu bisa dilakukan karena mereka mempunyai uang untuk memproduksinya, sedangkan negara Dunia Ketiga membeli produksi-produksi tersebut karena lebih murah dibandingkan dengan memproduksi sendiri [2]. Oleh karena itu, negara Dunia Ketiga menonton media yang berisi cara hidup, kepercayaan dan pemikiran Barat [2]. Lalu, budaya Negara Dunia Ketiga mulai melakukan hal yang sama dengan Barat dan akhirnya merusak budaya mereka sendiri [2]. Menurut Salwen, isu imperialisme budaya terutama muncul dari literatur komunikasi yang meliputi pembangunan dan ekonomi politik [3]. Imperialisme budaya mengemuka di tahun 1970-an [3]. Teori ini menjadi salah satu konsep utama dibalik pergerakan untuk tatanan informasi dan komunikasi dunia baru, meliputi organisasi internasional seperti UNESCO dan fokus pada arus informasi di antara negara-negara di dunia [3]. Pada saat yang sama, para pelajar mengusulkan pengelompokan berbagai arus dari penelitian kritis dalam komunikasi internasional di bawah imperialisme media [3]. Salah satu di antara mereka adalah J.Oliver Boyd-Barrett yang mendefinisikan imperialisme media sebagai proses di mana kepemilikan, struktur, distribusi atau konten dari media di negara mana pun secara sendiri atau bersama-sama tunduk pada tekanan eksternal dari kepentingan media di negara lain tanpa pengaruh atau balasan serupa oleh negara yang terpengaruh [3]. Asumsi dari imperialisme budaya adalah media memainkan peran utama dalam menciptakan budaya [3]. Asumsi lain menyatakan bahwa teori ini menggunakan pendekatan terpusat untuk pengembangan dan distribusi produk media [3]. Hal ini berarti semua produk media berasal dari negara-negara sentral yang mempunyai motif untuk mendominasi media di negara-negara periferi [3]. Esensi dari imperialisme budaya adalah dominasi oleh suatu negara ke negara lainnya [3]. Hubungan tersebut bisa secara langsung ataupun tidak langsung dan didasarkan pada campuran kontrol politik dan ekonomi [3].
Kritik
Referensi
- ^ a b c (Inggris) Matti Sarmela. "What is Cultural Imperialism?" (PDF). Diakses tanggal 1 Mei 2014.
- ^ a b c d e (Inggris) "Cultural Imperialism". Diakses tanggal 1 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Livingston A. White. "Reconsidering cultural imperialism theory". Diakses tanggal 1 Mei 2014.