Imperialisme budaya

dominasi budaya dalam imperialisme

Imperialisme budaya merupakan hegemoni ekonomi, teknologi dan budaya dari negara-negara industri yang akhirnya menentukan arah kemajuan ekonomi dan sosial serta mendefinisikan nilai-nilai budaya di dunia [1]. Dunia menjadi pasar budaya dimana terdapat kesamaan pengetahuan, mode dan musik yang diproduksi, dibeli dan dijual [1]. Selain itu, terdapat kesamaan ideologi, keyakinan politik, pandangan mengenai kecantikan dan makanan di dunia [1]. Teori yang dikemukakan oleh Herb Schiller ini menyatakan bahwa negara-negara Barat mendominasi media di dunia yang kembali memiliki efek powerful pada budaya Dunia Ketiga dengan cara memaksa mereka dengan pandangan-pandangan Barat dan akhirnya menghancurkan budaya asli mereka [2].

Imperialisme

Latar Belakang

Negara Barat memproduksi mayoritas dari media, seperti film, berita dan komik [2]. Hal itu bisa dilakukan karena mereka mempunyai uang untuk memproduksinya, sedangkan negara Dunia Ketiga membeli produksi-produksi tersebut karena lebih murah dibandingkan dengan memproduksi sendiri [2]. Oleh karena itu, negara Dunia Ketiga menonton media yang berisi cara hidup, kepercayaan dan pemikiran Barat [2]. Lalu, budaya Negara Dunia Ketiga mulai melakukan hal yang sama dengan Barat dan akhirnya merusak budaya mereka sendiri [2]. Menurut Salwen, isu imperialisme budaya terutama muncul dari literatur komunikasi yang meliputi pembangunan dan ekonomi politik [3]. Imperialisme budaya mengemuka di tahun 1970-an [3]. Teori ini menjadi salah satu konsep utama dibalik pergerakan untuk tatanan informasi dan komunikasi dunia baru, meliputi organisasi internasional seperti UNESCO dan fokus pada arus informasi di antara negara-negara di dunia [3]. Pada saat yang sama, para pelajar mengusulkan pengelompokan berbagai arus dari penelitian kritis dalam komunikasi internasional di bawah imperialisme media [3]. Salah satu di antara mereka adalah J.Oliver Boyd-Barrett yang mendefinisikan imperialisme media sebagai proses di mana kepemilikan, struktur, distribusi atau konten dari media di negara mana pun secara sendiri atau bersama-sama tunduk pada tekanan eksternal dari kepentingan media di negara lain tanpa pengaruh atau balasan serupa oleh negara yang terpengaruh [3]. Asumsi dari imperialisme budaya adalah media memainkan peran utama dalam menciptakan budaya [3]. Asumsi lain menyatakan bahwa teori ini menggunakan pendekatan terpusat untuk pengembangan dan distribusi produk media [3]. Hal ini berarti semua produk media berasal dari negara-negara sentral yang mempunyai motif untuk mendominasi media di negara-negara periferi [3]. Esensi dari imperialisme budaya adalah dominasi oleh suatu negara ke negara lainnya [3]. Hubungan tersebut bisa secara langsung ataupun tidak langsung dan didasarkan pada campuran kontrol politik dan ekonomi [3].

Kritik

  • Komponen ekonomi dari imperialisme media dapat dinyatakan dalam statistik, tetapi komponen budaya jauh lebih sulit untuk diukur [3].
  • Teori ini tidak memahami kemampuan khalayak untuk memproses informasi dan menginterpretasikannya berdasarkan latar belakang masing-masing individu [3].

Referensi

  1. ^ a b c (Inggris) Matti Sarmela. "What is Cultural Imperialism?" (PDF). Diakses tanggal 1 Mei 2014. 
  2. ^ a b c d e (Inggris) "Cultural Imperialism". Diakses tanggal 1 Mei 2014. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Livingston A. White. "Reconsidering cultural imperialism theory". Diakses tanggal 1 Mei 2014.